Beragam konflik dan peperangan seringkali dikaitkan dengan perempuan, sehingga terdapat peribahasa yang menyatakan bahwa ‘harta, tahta, dan wanita’ adalah ujian dalam kehidupan. Secara turun temurun cerita rakyat terkait itu disampaikan, salah satu yang cukup popular adalah cerita mengenai Perang Bubat di Tatar Sunda.
Perang Bubat terjadi pada tahun 1279 Saka atau 1357 M di masa pemerintahan Raja Majapahit, Hayam Wuruk. Peristiwa Perang Bubat diawali dari niatan Prabu Hayam Wuruk yang ingin memperistri putri Dyah Pitaloka Citraresmi dari Negeri Sunda. Konon ketertarikan Hayam Wuruk terhadap putri tersebut karena beredarnya lukisan sang putri di Majapahit; yang dilukis secara diam-diam oleh seorang seniman pada masa itu yang bernama Sungging Prabangkara. Namun, versi lain menyatakan bahwa pernikahan dengan Dyah Pitaloka itu didorong oleh alasan politik untuk mengikat persekutuan dengan Negeri Sunda, akibat desakan Patih Gajah Mada yang ingin memenuhi Sumpah Palapa yang dibuatnya sebelum Hayam Wuruk naik tahta.[5]
Singkat cerita, terjadilah kesalahpahaman yang diakibatkan dua motivasi yang saling bertolak belakang ini. Gajah Mada mendesak agar Raja Sunda yang hadir ke Bubat bersama iring-iringan pengantin dan sedikit prajurit yang mengawalnya segera memberikan pernyataan takluk dan mengakui superioritas Majapahit atas Sunda di Nusantara. Ketidaksepahaman ini kemudian berlanjut kepada pertikaian bahkan peperangan yang juga menewaskan Dyah Pitaloka yang memilih bunuh diri untuk mempertahankan kehormatan bangsa dan tanah airnya. Nilai-nilai ini dipandang sebagai simbol kepahlawanan dan keberanian yang kini diwarisi oleh masyarakat dalam kebudayaan Bali melalui tradisi ’puputan’, yaitu menjalani pertempuran hingga mati yang dilakukan para kaum lelaki disusul ritual bunuh diri yang dilakukan kaum perempuannya.
Kisah di atas hanya salah satu gambaran bagaimana situasi perempuan dikaitkan dengan konflik. Namun, yang pasti konflik bersenjata senantiasa menyumbangkan kerentanan akan kekerasan yang potensial dialami oleh perempuan, baik kekerasan fisik, psikis maupun seksual. Mereka akan senantiasa dihadapkan dalam situasi seperti: (1) perempuan sebagai identitas kelompok yang selalu menjadikannya sebagai sasaran kekerasan kelompok yang bertikai, (2) Perempuan sebagai tameng bagi tiap kelompok yang bertikai, (3) Perempuan menjadi objek kekerasan seksual, (4) Perempuan akan menanggung beban ganda, (5) Perempuan didesak untuk menjadi pelaku kekerasan terhadap perempuan lain dari kelompok yang bertikai, dan (6) perempuan yang seharusnya dapat menjadi peace maker sering dilupakan perannya.[6]
Situasi perempuan dalam peperangan dan konflik tentu sangat beragam. Sejarah Indonesia mencatat bahwa perempuan juga mengangkat senjata seperti yang dilakukan oleh Tjoet Njak Dhien dan Laksamana Malahayati dari Aceh, Nyi Ageng Serang dari Mataram, Martha Christina Tiahahu dari Maluku. Sementara, pada masa pendudukan Jepang, gadis-gadis dikerahkan dalam perkumpulan perempuan yang disebut Fujinkai. Mereka ini ditugaskan di garis belakang untuk mengelola dapur umum, merawat korban perang, menanam pohon kapas, jarak, dan padi serta berbagai pekerjaan yang erat kaitannya dengan kegiatan kaum wanita. Mereka juga dilatih baris-berbaris. Bahkan juga bermain senjata seperti pedang dan bambu runcing. Organisasi ini dilibatkan dalam kegiatan semi militer.[7] Selain itu, banyak perempuan yang dipaksa menjadi Jugun Ianfu atau perempuan penghibur untuk menjadi pemuas kebutuhan seksual tentara Jepang yang ada di Indonesia dan juga di negara-negara jajahan Jepang lainnya pada kurun waktu tahun 1942-1945.[8]
Pada masa konflik 1965 atau yang lebih dikenal pemerintah Orde Baru sebagai peristiwa G 30/S PKI, perempuan dicitrakan sebagai pihak yang terlibat sebagai pelaku pembunuhan para jendral setelah para jendral itu diculik dan diasingkan ke daerah Lubang Buaya. Organisasi perempuan penentang poligami yang dinilai sangat progresif pada masa itu, dikenal dengan nama Gerwani, dicitrakan sebagai pihak yang biadab mempertontonkan tari telanjang yang diistilahkan dengan”Tarian Harum Bunga” sambil melakukan mutilasi alat kelamin para jendral. Sebuah peristiwa yang meragukan sekaligus mengundang kritik dari para sejarawan.[9] Tidak mustahil, kisah-kisah ini sengaja diekspose untuk tujuan demoralisasi yang akhirnya melemahkan spirit perjuangan kaum perempuan.
Sementara itu, di masa Orde Baru ketika masyarakat Aceh hidup dalam DOM, perempuan Aceh mengalami masa kelam. Kejahatan kemanusiaan yang tak bisa dilupakan sejarah. Dalam buku Dari Maaf ke Panik Aceh, Otto Syamsudin Ishak menulis perempuan Aceh menjadi korban pembunuhan, penyiksaan, pemerkosaan, dan pelecehan seksual oleh militer Orde Baru. Terjadi penelanjangan perempuan di depan umum. Ada yang diperkosa secara bergiliran, bahkan kemaluan disetrum.[10] Sebenarnya, selama masa konflik perempuan juga berjuang dan memainkan peran strategis untuk mempertahankan diri, keluarga dan komunitas mereka. Pun pada masa perdamaian, para perempuan Aceh, baik pada level komunitas maupun level sosial-politik aktif berjuang memberdayakan diri mereka serta berkontribusi bagi pembangunan perdamaian. Sayangnya, peran strategis perempuan ini seringkali tidak dihargai bahkan diabaikan. Bahkan dalam proses perumusan konsensus politik penyelesaian konflik Aceh yang akhirnya berbuah Kesepakatan Damai di Helsinki, perempuan tidak dilibatkan secara aktif. Kendati kesepakatan itu sukses, perspektif dan agenda perempuan Aceh tidak mendapat tempat yang signifikan.[11]
Baca Juga:
Fokus 1: Kepemimpinan Perempuan di Wilayah Konflik
Fokus 3: Perempuan sebagai Agen Perdamaian
Fokus 4: Kepemimpinan Perempuan dalam Transformasi Konflik
Fokus 5: Agama dan Ikhtiar Membangun Perdamaian