Inisiatif dan kepemimpinan perempuan dalam wilayah konflik tampak nyata, bukan isapan jempol belaka.Telah banyak upaya nyata yang dilakukan oleh banyak perempuan di wilayah-wilayah konflik untuk menyusun puing-puing perdamaian dan menatanya kembali demi perdamaian yang mereka dambakan. Perempuan-perempuan dari berbagai Negara ini mengajarkan pada kita bahwa tidaklah mustahil untuk merajut perdamaian.

Menjadi perempuan di wilayah konflik tidak menyurutkan semangat Shreen Abdul Saroor (pemenang N-Peace Award 2011) untuk tetap survive dan bergerak untuk membangun perdamaian. Pengalamannya terusir dari tanah kelahirannya di Mannar, Srilanka pada tahun 1990 oleh kelompok militan Tamil yang bergerak untuk memisahkan diri telah membuatnya kembali ke tanah asalnya untuk bangkit dan bergerak untuk menciptakan perdamaian lewat kelompok perempuan. Ia pun mendirikan Federasi Pembangunan Perempuan Mannar (The Mannar Women’s Development Federation) dan Perempuan Mannar untuk Hak Asasi Manusia dan Demokrasi (Mannar Women for Human Rights and Democracy) untuk membangun perdamaian dan menyatukan kelompok Tamil dan Muslim yang berkonflik. Lewat program mikro kredit dan pendidikan untuk perempuan, Shreen juga telah menemukan ruang yang bisa menyatukan kembali para perempuan yang terpisah karena konflik.

Senada dengan Shreen, konflik Afganistan tidak hanya menyisakan luka, dan menghilangkan ribuan nyawa, namun juga telah mengakibatkan meningkatnya kelompok disabilitas akibat perang, ini memberi inspirasi bagi Amina Azimi (pemenang N-Peace Award 2012 dari Afganistan) untuk memberdayakan para penyandang disabilitas. Usia Azimi baru 11 tahun saat ia kehilangan kaki kanannya karena granat yang jatuh dan meledakkan rumahnya. Kini ia telah berusia 29 tahun dan bekerja untuk menghilangkan diskriminasi bagi para perempuan kelompok disabilitas. Sejak tahun 2007 telah bekerja untuk membantu kelompok penyandang disabilitas dalam mengatasi tantangan sosial dan menjadikan mereka kelompok yang kembali produkstif dalam masyarakat lewat lembaganya Women with Disabilities Advocacy Committee(WAAC). Ia memberikan konseling kepada ratusan perempuan dan anak perempuan, kebanyakan dari mereka masih menyembunyikan diri di dalam rumah bertahun-tahun lamanya. Amina adalah salah satu tokoh kunci dalam mendorong perlindungan hak-hak perempuan disabilitas lewat rancangan undang-undang tentang disabilitas di Afganistan. Mendirikan EWD/Empowering women with Disability pada 2011 ia telah melatih perempuan disabilitas dan keluarganya. Ia juga bekerja untuk Afghan Landmine Survivors (ALSO) sebuah organisasi akar rumput yang menghimpun para korban ranjau darat di Afganistan. Kini ia mempromosikan hak-hak penyandang disabilitas lewat Radio Qahir e-Qahraman dan telah menghasilkan lebih dari 300 program radio dengan mengangkat profil para perempuan disabilitas.

Resolusi PBB 1325 Dorong Perempuan Jadi Agen Perdamaian

Sayangnya, dalam banyak proses rekonsiliasi, rekonstruksi dan penanganan korban, perempuan jarang dilihat sebagai bagian integral baik dari pengalaman, kehadiran, maupun perjuangan. Mereka diabaikan dalam proses pengambilan keputusan, bahkan dalam penetapan keputusan dan kebijakan pasca konflik. Salah satu contohnya adalah pada kasus Poso, di mana dalam proses perdamaian formal hanya ada empat perempuan yang dilibatkan dalam Deklarasi Malino. Kasus-kasus serupa juga ternyata terjadi di hampir semua negara yang mengalami konflik. Untuk itulah resolusi PBB 1325 tentang Perempuan, Perdamaian dan Keamanan hadir.

Resolusi 1325 ini mengamanatkan pentingnya peran dan partisipasi perempuan dalam pencegahan, pemeliharaan, promosi perdamaian dan keamanan, perlindungan, pemulihan dan pengambilan keputusan dalam resolusi konflik dan membangun perdamaian. Resolusi ini dilahirkan pada tahun 2000 sebagai dokumen resmi dan legal yang pertama kali dihasilkan Dewan Keamanan PBB untuk memastikan bahwa dalam situasi konflik, penting untuk menghormati hak-hak perempuan dan mendukung partisipasi mereka dalam perundingan perdamaian dan rekonstruksi pasca-konflik.

Sayangnya, 10 tahun setelah Resolusi 1325, belum ada hasil maksimal yang dilahirkan di berbagai negara yang tengah berkonflik maupun yang tengah merajut perdamaian pasca konflik[i]. United Nations Development Programme Regional Asia Pasific Centreatau UNDP APRC melalui pertemuan para stakeholder pada tahun 2010 di Bangkok dihadiri berbagai Negara konflik di Asia, diantaranya Indonesia, Sri Lanka, Timor-Lestedan Nepal, merefleksi sejauhmana resolusi ini dilaksanakan. Forum ini kemudian menghasilkan komitmen untuk saling berjejaring antar negara untuk memperkuat pelaksanaan UNSCR 1325, serta untuk memberikan penghargaan kepada para perempuan yang telah melakukan upaya perdamaian di berbagai negara.

N-Peace Network : Jejaring Promosi Perdamaian

Forum dan komitmen berjejaring inilah yang kemudian melahirkan N-Peace Network (Engage for Peace, Equality, Access, Community and Empowerment), jaringan yang –aktif dalam Perdamaian, Kesetaraan, Akses, Komunitas dan Pemberdayaan). JaringanN-Peace yang merupakan inisiatif UNDP APRC ini merangkul Search for Common Ground dan the Institute for Inclusive Security, dan didukung oleh Australian AID.

Kini jaringan ini aktif di Nepal, Sri Lanka, Timor-Leste, Indonesia, Filipina dan Afghanistan. Keanggotaannya mewakili masyarakat sipil, pemerintah, organisasi non-pemerintah, akademisi, badan PBB, kelompok agama, media dan lain-lain. Aktivitas jaringan N-Peace ini memainkan 4 (empat) peran kunci. Pertama, menyediakan ruang dialog antara masyarakat sipil dan pemerintah terkait kebijakan Perempuan, Perdamaian dan Keamanan. Kedua, N-Peace juga bekerja untuk membangun kapasitas di antara perempuan pendukung perdamaian sehingga mereka dapat mendorong penguatan isu-isu perempuan, perdamaian dan keamanan, dan memperluas jaringan di masing-masing negara untuk melakukan advokasi mengenai isu ini. Ketiga, menjadi media untuk berbagi pengetahuan tentang kebijakan dan pelaksanaan UNSCR 1325. Dan keempat, mendorong keterlibatan perempuan dalam proses perdamaian dan keamanan, serta mengangkat cerita-cerita sukses para perempuan pemimpin perdamaian.

Satu tahun setelah didirikan, pada tahun 2011 N-Peace memulai pemberian penghargaan untuk mengakui kepemimpinan perempuan dalam membangun perdamaian, memberdayakan komunitas dan mencegah konflik. Pada saat itu baru empat negara yang tergabung, yaitu Indonesia, Nepal, Sri Lanka dan Timor-Leste. Terpilihlah empat perempuan hebat dari negara-negara tersebut, yaitu Electronita Duan (Indonesia), Purna Shova Chitrakar (Nepal), Shreen Abdul Saroor (Sri Lanka) dan Filomena Barros dos Reis (Timor Leste) melalui penjurian khusus dan juga keterlibatan masyarakat dan komunitas dengan memilih kandidat melalui voting di media sosial Facebook. N-Peace Awards 2011 telah mengangkat cerita-cerita inspiratif dari 140 pendukung perdamaian di Asia dan telah secara resmi mengakui upaya tak kenal lelah dari para penerima N-Peace Awards dalam pencegahan, penyelesaian dan pemulihan konflik.

Beberapa nama perempuan pegiat perdamaian dari Indonesia juga pernah menerima penghargaan N-Peace Award ini. Pada tahun 2011, Electronita Duan (Eton), sebagai sosok yang berhasil meredam konflik di Halmahera, Maluku Utara melalui penguatan ekonomi bagi Muslim dan Kristen pasca kerusuhan. Upayanya menjadi media efektif menyatukan kelompok Muslim dan Kristen dalam mencapai tujuan pembangunan perdamaian. Sementara pada tahun 2012, Suraiya Kamaruzzaman seorang aktivis pejuang hak-hak perempuan yang mendirikan lembaga Flower Aceh juga menerima N-Peace Awards karena perjuangannya untuk hak-hak perempuan korban kekerasan seksual.

Pada tahun 2012, N-Peace Awards juga mendapat liputan media yang cukup signifikan dan mengumpulkan dukungan dari lebih dari 55.000 orang melalui kampanye online. N-Peace Awards juga menerima penghargaan tertinggi dari Presiden Filipina, Benigno S. Aquino III, yang memimpin upacara penyerahan N-Peace Awards 2012 di Manila, Filipina. {} Leli Nurrohmah
________________
Sumber Tulisan :

Ten-year Impact Study on Implementation of UN Security Council Resolution 1325 (2000) on Women, Peace and Security in Peacekeeping, sebagaimana dikutip dari http://www.un.org/en/peacekeeping/documents/10year_impact_study_1325.pdf

www.n-peace.net

Similar Posts:

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here