Hingga kini, kesadaran masyarakat tentang adanya kekerasan dalam pacaran (KDP) belum setinggi kesadaran tentang adanya kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Pacaran pada umumnya diasumsikan sebagai hubungan penuh kasih sehingga kata kekerasan dianggap tidak masuk dalam kamus pacaran. Faktanya tidaklah demikian. Kekerasan dalam pacaran bisa sampai tahap membahayakan seperti ancaman, pemukulan, hingga pembunuhan. Kekerasan dalam pacaran mempunyai hubungan paralel dengan kekerasan dalam rumah tangga. Sayangnya banyak orang sudah menyadari pacarnya pelaku kekerasan tetapi nekad melanjutkan ke jenjang perkawinan dengan harapan sikap tersebut akan berubah.  Padahal mengubah kebiasaan berprilaku kasar tidaklah mudah sehingga kekerasan dalam pacaran pun hampir pasti berlanjut menjadi KDRT setelah perkawinan. Kekerasan baik pada masa pra maupun pasca perkawinan, baik dilakukan dalam ruang domestik maupun publik adalah perbuatan sewenang-wenang yang tidak boleh dibiarkan.

Kekerasan dalam pacaran mengandung pelanggaran beberapa prinsip relasi antar manusia dalam Islam. Beberapa di antaranya adalah pertama, perlakuan pada manusia secara tidak bermartabat yang bertentangan dengan firman Allah pada al-Isra/17:70 sebagai berikut:

 

وَلَقَدْ كَرَّمْنَا بَنِي آدَمَ وَحَمَلْنَاهُمْ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ وَرَزَقْنَاهُمْ مِنَ الطَّيِّبَاتِ وَفَضَّلْنَاهُمْ عَلَى كَثِيرٍ مِمَّنْ خَلَقْنَا تَفْضِيلًا

Artinya :
Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezeki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan.

Ali ash-Shabuni dalam Sofwat at-Tafasir mengatakan bahwa manusia dimuliakan oleh Allah atas makhluk lainnya karena mereka dikaruniani akal, ilmu, kemampuan bicara, dan kemampuannya memilih (memanfaatkan) semua yang ada di alam semesta.  Manusia tidak layak menerima tindakan kasar seperti tendangan, pukulan, jambakan, dan tindakan kekerasan fisik lainnya dalam pacaran. Manusia adalah makhluk berakal yang hanya pantas disikapi dengan cara-cara yang santun. Tindakan kekerasan hanya pantas dilakukan oleh sesama hewan yang harus berebut makanan, bahkan saling memakan satu sama lain untuk bertahan hidup. Dengan kemampuan khusus yang dimilikinya, manusia semestinya dapat bertahan hidup tanpa tindakan kekerasan.

Kedua, tindakan mendekati hingga melakukan zina. Komitmen pacaran maupun pinangan tidak mempunyai implikasi hukum apapun. Oleh karena itu, perbuatan yang masuk dalam kategori kekerasan seksual dalam pacaran seperti rabaan, ciuman, dan kontak seksual lainnya dalam masa pacaran termasuk perbuatan yang mendekati zina atau bahkan zina itu sendiri jika sampai terjadi hubungan seksual. Hal ini dilarang oleh Allah swt dalam al-Isra/17:32:  َلَا تَقْرَبُوا الزِّنَا إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيلًا  Artinya : (Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk). Menurut Ibnu Katsir, maksud kata ‘mendekati zina’ adalah hal-hal yang bisa menyebabkan atau mengundang perbuatan zina.  Zina adalah tindakan berhubungan seksual di luar nikah, sedangkan tindakan mendekati zina adalah foreplaynya meliputi ciuman, rabaan, dan seterusnya yang mengantarkan orang berhubungan seksual di luar nikah.

Di samping melarang hubungan seksual di luar nikah, dan hal-hal yang menyebabkannya, Islam juga melarang keras tindakan memaksa (ikroh) untuk melakukannya. Dalam surat an-Nur/24:33 Allah swt melarang untuk memaksa budak perempuan untuk berzina dengan imbalan tertentu ketika mereka menghendaki kesucian padahal dalam sistem perbudakan yang ada ketika turunnya alquran hal seperti itu lazim. Jika Allah swt melarang melakukan pemaksaan terhadap budak, maka apalagi terhadap perempuan merdeka seperti sekarang ini. Ayat tersebut tidak hanya terkait dengan larangan perdagangan manusianya, melainkan juga terkait dengan larangan memaksa hubungan seksual yang tidak diperbolehkan.

Ketiga, tindakan kedzaliman yaitu tindakan aniaya atau celaka terhadap diri sendiri atau orang lain dengan cara-cara bathil yang keluar dari jalur syariat Agama Islam. Ayat alquran banyak menyebut kata ini misalnya larangan untuk berbuat dzalim dan didzalimi sebagaimana terjadi pada riba (al-Baqarah/2:279) dan ancaman bagi mereka yang berbuat dzalim sebagaimana disebutkan dalam asy-Syura/42:42:

إِنَّمَا السَّبِيلُ عَلَى الَّذِينَ يَظْلِمُونَ النَّاسَ وَيَبْغُونَ فِي الْأَرْضِ بِغَيْرِ الْحَقِّ أُولَئِكَ لَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ

Sesungguhnya dosa itu atas orang-orang yang berbuat lalim kepada manusia dan melampaui batas di muka bumi tanpa hak. Mereka itu mendapat azab yang pedih.

Dalam kitab tafsir Maroh Labid, Syekh Nawawi al-Bantani menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan orang-orang yang berbuat dzalim pada ayat ini adalah orang-orang yang memulai tindakan tidak adil, maupun orang-orang yang melakukan aksi balas dendam.  Semua tindakan kekerasan dalam pacaran baik fisik, seksual, emosional atau psikhis, maupun ekonomi termasuk dalam kategori tindakan tidak adil atau dzalim.

Tindakan-tindakan kekerasan baik pada masa pacaran, pinangan, maupun perkawinan masuk dalam kategori perbuatan yang dzalim dan juga munkar karena bertentangan dengan ajaran agama. Oleh karena itu, kekerasan ini harus dicegah secara bersama-sama. Rasulullah saw memberikan cara untuk mencegah kedzaliman dan kemungkaran dalam riwayat-riwayat berikut ini:

عَنْ أَنَسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «انْصُرْ أَخَاكَ ظَالِمًا أَوْ مَظْلُومًا» قَالُوا: يَارَسُولَ اللَّهِ، هَذَا نَنْصُرُهُ مَظْلُومًا، فَكَيْفَ نَنْصُرُهُ ظَالِمًا؟ قَالَ: «تَأْخُذُ فَوْقَ يَدَيْهِ» (رواه البخاري)

Dari Anas ra berkata; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: ‘Tolonglah saudaramu yang berbuat zhalim (aniaya) dan yang dizhalimi”. Mereka bertanya: “Wahai Rasulullah, jelas kami faham menolong orang yang dizhalimi tapi bagaimana kami harus menolong orang yang berbuat zhalim?” Beliau bersabda: “Pegang tangannya (agar tidak berbuat zhalim) “.

عن أَبي سَعِيدٍ قال: سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: «مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ، وَذَلِكَ أَضْعَفُ الْإِيمَان (رواه مسلم)

Dari Abi Said ra dia berkata: saya mendengar Rasulullah saw bersabda: “Barangsiapa diantara kamu yang melihat kemungkaran, hendaklah ia merubah/mencegah dengan tangannya (kekuasaan) jika ia tidak mampu, maka dengan lidahnya (secara lisan), dan jika tidak mampu, maka dengan hatinya (merasakan tidak senang dan tidak setuju). Dan itu adalah selemah-lemah Iman” (HR Muslim)

Kekerasan sebagai sebuah tindakan dzalim di mana korban maupun  pelakunya harus ditolong. Bentuk pertolongan kepada pelaku kekerasan bukanlah dengan membantunya melakukan kekerasan itu sendiri, melainkan dengan mencegahnya berbuat kekerasan.  Kekerasan juga merupakan perbuatan munkar yang harus dicegah dengan segala cara mulai dari penolakan di dalam hati, dengan lisan, maupun dengan perbuatan.

Berdasarkan kedua hadis di atas, ada beberapa hal yang bisa dilakukan untuk mencegah setiap bentuk kekerasan termasuk kekerasan dalam pacaran. Pertama, penyikapan hati dengan cara menciptakan kesadaran bagi setiap individu tentang adanya bentuk-bentuk kekerasan dalam pacaran sehingga mampu mengambil sikap tidak setuju pada tindakan tersebut dan mengambil posisi mencegah dirinya sendiri dari menjadi pelaku maupun korban. Kedua, penyikapan lisan dengan cara sosialisasi secara lisan (maupun tulisan) tentang bahaya kekerasan dalam pacaran sehingga timbul kesadaran untuk menciptakan lingkungan keluarga, pergaulan, sekolah, pekerjaan yang tidak memberi ruang bagi terjadinya kekerasan dalam pacaran. Ketiga, penyikapan melalui kekuasaan atau otoritas. Misalnya dengan melakukan perlindungan hukum. Meskipun tidak ada aturan perundangan tentang kekerasan dalam pacaran secara spesifik, namun penting untuk mengidentifikasi bentuk-bentuk kekerasan dalam pacaran yang membahayakan seperti pemukulan, pemaksaan hubungan seksual, dan lainnya ke ranah hukum yang telah ada sehingga pelaku dapat menerima sanksi yang sepadan dan korban pun dapat perlindungan yang layak. Dalam skala yang lebih kecil, peraturan khusus terkait kekerasan ini juga dapat dilakukan di lingkup sekolah. Misalnya adanya larangan tegas pada siswa, guru, pimpinan maupun lainnya di sekolah untuk melakukan tindakan kekerasan dan konsekuensi yang harus diterima oleh pelakunya. (Wallahu a’lam).

Baca Juga:

Tafsir Alquran 1: Pacaran dalam Wacana Islam

________________________
Daftar Literatur
Al-Bantani, Muhammad bin Umar Nawawi al-Jawi, Maroh Labid li Kasyfi Ma’na al-Qur’an al-Majid, Beirut, Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1417 H.
Al-Bukhari, Muhammad bin Isma’il bin Ibrahim bin Al-Mughirah bin Bardizbah al-Jufi, Al-Jami’ al-Musnad al-Sahih al-Mukhtasar min umuri Rasulillahi Sallallahu ‘alaihi wa sallama wa sunanihi wa ayyamihi,  Dar Thauq an-Najah, 1422 H.
Al-Hijazi, Muhammad Mahmud, At-Tafsir al-Wadlih, Beirut, Dar al-Jil al-Jadid, 1413 H.
Al-Khasyt, Muhammad Utsman, Fiqih Wanita Empat Madzhab, Penerjemah Abu Nafis Ibnu Abdurrohim, Bandung, Khazanah Intelektual, 2010.
An-Naisaburi, Abu Al-Husain Muslim bin Al-Hajjaj bin Muslim bin Kausyaz Al-Qusyairi, Al-Musnad Al-Mukhtashar min As-Sunan bi An-Naql Al-‘Adl ‘an Al-‘Adl ‘an Rasulillah saw, Beirut, Dar Ihya’i at-Turats al-Arabi.
Ash-Shabuni, Muhammad Ali, Shafwat at-Tafasir, Mesir: Dar ash-Shabuni li ath-Thiba’ah wa an-Nasyri wa at-Tauzi’, 1997.
Az-Zuhaili, Wahbah bin Musthofa, At-Tafsir al-Munir fi al-Aqidah, wa asy-Syariah, wa al-Manhaj, Damaskus: Dar al-Fikr al-Ma’ashir, 1418 H.
Ibnu Katsir, Abul Fida’, Imaduddin Ismail bin Umar bin Katsir al-Qurasyi al-Bushrawi ad-Dimasyqi, Tafsir al-Qur’an al-Adzim, Dar ath-Thoyyibah li an-Nasyri wa at-Tauzi’.

Similar Posts:

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here