Maesur Zaky, SHI, MA, saat ini menjabat sebagai Direktur Eksekutif PKBI Yogyakarta. Lelaki yang dilahirkan di Banyumas 26 Mei 1980 ini, telah cukup lama malang melintang  menekuni  isu kesehatan reproduksi dan seksualitas pada  Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI). Yakni sejak  ia masih berada di semester 8  pada 2001  ketika aktif sebagai relawan hingga posisi terakhir yang kini dijabatnya. Zaki, demikian panggilan akrabnya, menamatkan pendidikannya pada S1 Jurusan Jinayah Siyasah Fak Syari’ah IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta (1998-2004) dan mendapatkan gelar Masternya pada jenjang S2 di program Center For Religious and Cross Cultural Studies  atau CRCS UGM (2004 – 2006). Menikah dengan Rif’atul Ilmiyah, S.S  yang juga alumni IAIN Sunan Kalijaga. Berikut sajian wawancara redaksi dengan ayah dua putri, Laras Aika Tazkia (5 th) dan  Kayla Kasyfa Tazkia (2th) itu:

Saat ini, fenomena kekerasan seksual di kalangan remaja cenderung meningkat.  Bagaimana pendapat Anda?
Pertama, saya ingin melihat ini dari sisi struktural. Fenomena ini menunjukkan belum seriusnya negara melindungi remaja untuk mendapatkan rasa aman dari segala bentuk kekerasan, termasuk kekerasan seksual. Tata hukum  dan perundangan (content of law) untuk menjerat pelaku kekerasan sebenarnya sudah ada. Akan tetapi, perangkat penegak hukum (structure of law) seringkali belum memiliki sensitivitas yang cukup dalam membela korban. Yang terjadi, berdasar pengalaman pendampingan yang dilakukan oleh PKBI DIY, remaja yang menjadi korban justru distigma “penggoda” yang akhirnya dapat membebaskan, minimal, meringaankan tindak pelaku.

Kedua, dari sudut pandang sosio-kultural, saya melihat bahwa posisi remaja berada dalam posisi yang rentan terhadap kekerasan. Hal ini dikarenakan belum dibukanya kesempatan pendidikan bagi mereka untuk memahami lebih dalam mengenai tubuh dan bagaimana menjaga serta mempertahankan diri dari ancaman dan risiko kekerasan. Kemampuan mendeteksi lebih awal terhadap tindak kekerasan dan bagaimana mereka melakukan proteksi, belum menjadi sebuah materi yang diajarkan secara formal di jenjang sekolah. Ini saya kira menjadi agenda penting pendidikan ke depan bagi remaja untuk dapat mencegah terjadinya kekerasan, baik mencegah sebagai korban atau pelaku, ditambah dengan pemahaman tentang reproduksi dan seksualitas yang lebih komprehensif.

Data di Pengadilan Agama, menunjukkan bahwa cukup banyak kasus permohonan dispensasi  menikah untuk calon mempelai yang  berada di bawah usia minimum perkawinan. Banyak kasus, permohonan ini terjadi karena ’Married by Accident’ (MBA) yang di antaranya terjadi karena KdP. Bagaimana tanggapan Anda?
Dalam situasi kehamilan remaja akibat kekerasan dalam pacaran, saya kira remaja perempuan tersebut telah menjadi korban ganda. Pertama, korban dari kekerasan yang dilakukan oleh pasangannya. Kedua,  korban dari sistem hukum keluarga di Indonesia yang membuka peluang bagi perempuan untuk terpapar risiko reproduksi karena mereka “terpaksa” menikah di usia dimana organ reproduksi, khususnya leher rahim, belum matang. Jika ini terjadi, maka akan semakin besar risiko bagi perempuan tersebut untuk terpapar virus HPV(Human Papiloma Virus) yang menyebabkan kanker leher rahim (serviks).

Ini belum termasuk, misalnya, risiko psikologis yang tertekan atau depresi jika ternyata remaja perempuan tersebut tidak menghendaki kehamilannya. Tanpa pengetahuan dan pendampingan yang serius, mereka sangat mungkin terjatuh pada risiko reprodusi selanjutnya, yakni tindakan aborsi yang tidak aman, yang bisa saja berujung pada kesakitan bahkan kematian.

Apa tanggapan Anda mengenai salah satu pasal dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang membenarkan terjadinya pernikahan dalam kondisi mempelai perempuan tengah hamil? Bagaimana pendapat Anda bila kehamilan itu terjadi karena KdP?
Jika logika jawaban di pertanyaan di atas (no. 2) digunakan, maka alasan untuk membenarkan pernikahan karena telah terjadi kehamilan pada remaja menjadi gugur. Hal ini karena pernikahan tersebut justru akan membawa dampak lebih buruk bagi perempuan untuk lebih berisiko terkena kanker leher rahim atau risiko reproduksi lainnya akibat belum matangnya organ reproduksi. Dan apalagi jika kehamilan tersebut terjadi karena proses paksaaan atau bahkan kekerasan.

Maka, dalam situasi ini, mencegah terjadinya dampak buruk harus lebih dikedepankan daripada usaha untuk mencari kebaikan dari pernikahan akibat kehamilan, misalnya untuk menutupi aib atau menjaga nama baik (dar’u l al- mafasid muqaddamun ‘ala jalbi al-mashalih).

Peran apa yang bisa dilakukan oleh orang tua, guru, sekolah, peer-groups dan masyarakat dalam mengantisipasi terjadinya kasus KdP?
Pertama, saya kira perlunya sikap saling terbuka tentang seksualitas remaja. Dengan keterbukaan ini, relasi-relasi yang terjadi di sekitar remaja, misalnya pacaran, lebih mudah untuk dipahami dan dipantau. Sikap tertutup yang mentabukan relasi-relasi di sekitar remaja justru akan membuka peluang bagi remaja bereksplorasi dan bereksperimentasi tanpa kontrol yang dapat meningkatkan risiko terjadinya kekerasan atau perilaku berisiko lainnya. Dalam situasi semacam ini, yang akan menjadi korban seringkali adalah remaja perempuan.

Kedua, keterbukaan sikap perlu difasilitasi oleh sebuah sistem yang dapat melindungi remaja dari tindak kekerasan. Sistem terdekat tentu saja sistem pendidikan di level formal atau sekolah. Harus ada program atau layanan bagi remaja yang memungkinkan terjadinya proses saling belajar antar pihak tentang perkembangan seksual dan reproduksi remaja serta hubungan-hubungan yang menyertainya, semisal pacaran. Catatan pentingnya, sistem ini hanya bisa berjalan ketika pendidikan kesehatan reproduksi dan seksual yang komprehensif bagi remaja telah menjadi bagian integral dalam kurikulum pendidikan.

Bentuk dukungan apa saja yang semestinya diberikan oleh pihak-pihak tersebut bila mereka menghadapi atau mendampingi kasus KdP?
Ketika terjadi kasus KdP, minimal para pihak tersebut tidak menstigma korban, itu sudah baik. Seakan hal ini gampang, tapi pada prakteknya tidak semudah yang dibayangkan. Selalu saja muncul stigma yang masih saja teralamatkan pada korban. Untuk kesana, memang perlu pendidikan bagi para pihak untuk lebih dapat memahami seluk beluk KdP.

Akan lebih ideal, tentu saja para pihak dalam memberikan dukungan psikososial lewat konseling bagi korban untuk dapat berdaya dalam menghadapi kasus kekerasan, dan dapat menentukan pilihan yang terbaik, termasuk keberanian melaporkan pelaku ke penegak hukum. Untuk kesana, para pihak di atas sudah semestinya dipahamkan mengenai skema dan alur advokasi kasus KdP yang dapat diakses remaja.

Apa harapan Anda kepada remaja sehingga kasus-kasus KdP bisa diminimalkan bahkan dihapuskan?
Saya berharap remaja dapat saling belajar lewat organisasi yang dibangun oleh, dari dan  untuk remaja tentang hak-hak mereka yang dapat mereka tuntut ke negara. Tak terkecuali, hak mereka untuk terlindung dari kasus kekerasan dan juga hak mendapatkan pendidikan tentang reproduksi dan seksualitas yang komprehensif.

Dengan pemenuhan hak remaja ini, diharapkan akan muncul satu situasi di dalam hubungan antar sebaya  remaja yang, di satu sisi, menguatkan remaja untuk tidak menjadi korban kekerasan, dan di lain sisi, meminimalisasi potensi remaja untuk menjadi pelaku tindak kekerasan dalam pacaran.

Apa harapan Anda terhadap pemerintah sehingga memberikan perhatian yang lebih banyak dalam pemenuhan hak-hak remaja atas kesehatan reproduksi dan seksualitas?
Komitmen yang tinggi bagi pemerintah sangat diharapkan dalam pemenuhan hak kesehatan reproduksi dan seksualitas remaja. Pertama, pemerintah perlu diyakinkan bahwa isu ini bukanlah sesuatu yang tabu, yang jika diajarkan akan menyebabkan remaja lebih bebas sebebas-bebasnya. Justru dengan pemenuhan hak kesehatan reproduksi dan seksualitas, remaja akan lebih memiliki sikap dan tindak yang lebih bertanggungjawab.

Kedua, pemerintah perlu diyakinkan bahwa orientasi pendidikan semata ke peningkatan skill-skill operasional untuk karir masa depan tidak lah cukup. Remaja perlu dibekali dengan kecakapan hidup dalam kaitannya dengan soal reproduksi dan seksualitas. Bukan semata dalam mengurangi risiko reproduksi dan seksual di masa ini, akan tetapi juga persiapan bagi kehidupan remaja di masa mendatang, terlebih bagi mereka yang memilih untuk berkeluarga.

Upaya apa saja yang dapat dilakukan agar isu kesehatan reproduksi dan seksualitas ini menjadi perhatian bersama, terutama di kalangan pemerintah, lembaga pendidikan seperti sekolah dan pesantren, komunitas agama dan peer groups di kalangan remaja sendiri?
Kita perlu terus menggempur negara dan segenap lapisan masyarakat sipil dengan bukti-bukti tentang efektifitas pendidikan kesehatan reproduksi dan seksual dalam mengurangi risko reproduksi dan seksual. Tunjukkan fakta-fakta itu.

Kemudian, kita perlu terus memfasilitasi dan menguatkan remaja untuk dapat menyuarakan kebutuhan mereka atas pendidikan ini kepada semua stakeholder. Hal ini  dilakukan dengan penguatan organisasi remaja di semua lini. Tunjukkan bahwa ini adalah kebutuhan dan hak remaja yang harus dipenuhi negara.

Sembari berjalan kedua strategi di atas, dialog-dialog yang memungkinkan terjadinya penyelarasan antara nilai pendidikan kesehatan reproduksi dan seksual dengan nilai pendidikan lainnya, khususnya agama, harus terus dibangun. Dialog ini ditujukan untuk mereduksi “kepanikan moral” (moral panic) terhadap fenomena remaja yang seringkali berangkat dari kacamata moral yang sempit. Kita harus dapat meyakinkan bahwa nilai dan moralitas yang terkandung dalam pendidikan kesehatan reproduksi dan seksualitas itu dapat bersandingan dengan nilai dan moralitas berbasis keagamaan atau kebudayaan nusantara.{} AD. Kusumaningtya

Similar Posts:

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here