Beranda Informasi Resensi Membentuk Mitsaqan Ghalidza

Membentuk Mitsaqan Ghalidza

0
1169

Oleh: Wakhid Nur Effendi

Judul: Buku Panduan Konseling untuk Konselor BP4: Perspektif Kesetaraan
Penulis: Drs. H. Tulus,  Dra. Hj.Fadilah Ahmad, MM, Drs. H. Najib Anwar, MH,
Dra.Hj.Nurhayati Djamas, MA, Prof. Dr. Aliyah Hamka, MM, Dra.Hj.Zubaidah Muchtar, Dra.Radhiya Bustan,M.Psi., Drs.H.Kadi Sastrowirjono
Editor: Ida Rosyidah, MA, Dr. Kunthi Tridewiyanti, MA
Penerbit: Rahima, Desember 2012
Tebal:  xx, 283 hlm.

Keluarga adalah unit lembaga paling kecil dalam masyarakat. Dalam Islam, fungsi ini dilakukan oleh pasangan laki-laki dan perempuan, yang berjanji untuk membentuk ikatan pernikahan atas dasar cinta dan kerelaan untuk menyalurkan kasih sayang hingga hasrat seksual, mengembangkan keturunan dan menjaganya. Harapannya unit-unit itu senantiasa dapat berkembang saling bertaut, dan menciptakan visi indah kehidupan, dan (tentunya)  juga membentuk karya-karya kemanusiaan.

Pernikahan disebutkan dalam QS. 4: 21 sebagai “mitsaqan ghalizha” (perjanjian yang kokoh). Sebuah pesan tentang betapa agungnya Allah swt. menisbahkan ikatan perkawinan ini. Sekalipun demikian, pernikahan sendiri bukanlah “sekumpulan kisah manis” tentang kehidupan semata, karena di dalamnya juga banyak terdapat onak dan duri yang menghalangi lestarinya pernikahan itu sendiri.

Bisa jadi, ikatan berkeluarga (pernikahan) tidak pecah, namun relasi menjadi dingin, hambar. Bisa pula pasangan telah pisah ranjang, namun secara formal masih terikat dalam ikatan pernikahan. Bisa pula ikatan pernikahan berada di tepian jurang, yang memang berpotensi untuk kandas. Gagalnya para pengarung mahligai rumah tangga tak lepas dari soal seperti perselingkuhan, daya toleransi menenggang perbedaan mengenai asal-usul dan pola sosialisasi dalam keluarga, pendidikan, adat-kebiasaan pasangan, dsb. Soal-soal yang selama ini banyak dianggap sebagai masalah sederhana seperti pembagian peran antar pasangan,  semestinya dilakukan dengan tetap mengacu pada asas keseimbangan, keadilan, kesetaraan dalam mengasuh anak, peran domestik dan publik, serta kehendak untuk saling memahami.

Mengingat begitu pentingnya fungsi keluarga, Negara pun merasa perlu untuk terus memfasilitasi, bahkan mengakomodasi agen-agen yang berjuang melawan  putusnya ikatan tali pernikahan. Salah satunya adalah BP4 yang kini merupakan kepanjangan dari Badan Penasihatan Pembinaan dan Pelestarian Perkawinan. Badan yang berdiri pada 8 Juli 1961 dan telah mengalami beberapa perombakan-penyesuaian ini, memang memiliki peran dalam penguatan tali perkawinan. Kelebihan dari BP4 adalah struktur organisasinya yang telah menjangkau hingga tingkat kecamatan, di seluruh Indonesia, sehingga boleh dikatakan, daya pelayanannya menyapa masyarakat secara langsung dan luas.
Namun demikian, di samping kelebihan BP4 sebagai struktur yang komplit dan berdaya jangkau luas, ada tanda-tanda kelembaman yang secara natural dialami oleh lembaga yang sudah berdiri lama, yakni jebakan rutinitas. Pergolakan institusional pun tak jarang membuat “kelambatan” dalam hal merevitalisasi struktur, mengakses wacana kontemporer yang kompatibel dengan tantangan zaman, juga penyiapan serta sumber daya insani pendukung eksistensi lembaga (Bab 1, hlm. 1-7, dan Bab II, hlm. 9-30).

Berangkat dari hipotesis tersebut, Rahima, yang dikenal sebagai LSM pembela hak-hak maupun pemberdaya kaum perempuan yang pengusung pendekatan kesetaraan dan keadilan gender, dalam kerangka akademik-ilmiah-islami, memfasilitasi beberapa seri pertemuan dengan BP4. Bermula dari sebuah proyek pemetaan kebutuhan mengenai peran BP4 dalam membentuk keluarga sakinah yang temuannya didiskusikan dalam lokakarya terbitnya Buku Panduan Konseling untuk Konselor BP4 Perspektif Kesetaraan diharapkan dapat menjawab salah satu kebutuhan tersebut. Buku yang disusun dari kumpulan tulisan dan sharing pengalaman para aktivis BP4 Pusat ini nantinya diharapkan dapat menjadi bekal para konselor BP4 di berbagai daerah yang sehari-hari berhadapan langsung dengan para klien yang membutuhkan nasihat perkawinan.

Selain petunjuk penggunaan modul maupun pengenalan terhadap institusi B4   sebagaimana disebut dalam pengantar di atas,  berikut  sekilas informasi mengenai isi buku panduan  yang keseluruhannya terdiri dalam 8  bab ini.  Pada Bab III mengenai Perkawinan Ditinjau dari Hukum Islam, Drs. H. Najib Anwar, MH, mengelaborasi  beberapa tema perkawinan sebagaimana diatur dalam UU Nomor 1 tahun 1974, juga PP No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan UU No. 1 Tahun 1974 maupun aturan khusus bagi pemeluk agama Islam,  sebagaimana tertuang secara khusus dalam Inpres No. 1 tahun 1979 tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI). Bab IV mengenai Penguatan Ketahanan dan Keluarga yang Sakinah Mawaddah Wa Rahmah. Sesuai judulnya, Dr. Hj. Nurhayati Djamas, MA memberi bekal bagaimana  pasangan suami istri berupaya untuk ketahanan keluarga serta mengantisipasi agar persoalan dijadikan dinamika penyegar dan bukan menjadi faktor penghancur pernikahan.  Pada Bab V, Keluarga dalam Islam: Tinjauan Psikologi Keluarga, makalah Prof. Dr. Hj. Aliyah Hamka, MM, menjelaskan pandangan Islam tentang relasi suami-istri dan anak dari sisi hak dan kewajiban masing-masing. Diharapkan, pembinaan jiwa agama dalam keluarga akan membawa bahtera keluarga itu menuju pada kebahagiaan.

Pada Bab VI, Dra Hj. Zubaidah Muchtar, memapar Konflik dalam Keluarga. Bahasan di sini coba memindai, apa saja persoalan keluarga dalam era modernitas ini, yang memicu ke arah konflik. Ada konflik yang mematangkan relasi pasangan, namun tak sedikit pula yang memuara pada pecahnya kongsi, bahkan memunculkan KDRT. Informasi ini penting diberikan mengingat kekerasan baik fisik, psikis, verbal, ekonomi maupun seksual tak jarang menimbulkan efek trauma bagi para korbannya.  Pada Bab VII, Konseling Perkawinan dalan Teori dan Praktik, Radhiya Bustan, M.Soc., Sc, ilmuwan muda BP4, mengetengahkan teknik, proses, pendekatan serta etik konseling, serta penanganan dalam kasus pernikahan. Dan Bab VIII, yang dipapar oleh Drs. H. Kadi Sastrowirjono, menutup bahasan dengan pengalaman lapangan. Selain memapar kiat pelanggengan pernikahan, ia juga memapar cara-cara menangani kasus sebagaimana yang  pernah dilaporkan kepada BP4 Pusat seperti tentang  Hak Pengasuhan Anak; Poligami; Pembagian Harta Waris; Perceraian; Pertengkaran karena Perselingkuhan.
Beragam tulisan yang disajikan oleh tokoh senior maupun tokoh muda BP4 di atas menjanjikan “kesegaran” bagi penanganan masalah keluarga. Elaborasi atas nilai-nilai luhur agama –pesan Alquran, hadis, fikih munakahah— juga teori dan wacana keilmuan kontemporer, adalah upaya merelevansikan dan tambahan amunisi bagi para konselornya dalam menasihatkan dan membela pentingnya mitsaqan ghalidza, atau buhul kuat ikatan perkawinan. Oleh karenanya, relevansi agama pada penanganan masalah keluarga kembali ditantang dalam kaitannya sebagai fungsi penyembuhan (kuratif); pencegahan (preventif); dan pembinaan (konstruktif).

Sebagai  sekedar pengenalan bagi para konselor perkawinan, adanya tip maupun teknik-teknik konseling tentu sangat bermanfaat. Namun muatannya masih perlu diperbanyak, baik dalam bentuk simulasi kasus ataupun pengolahan informasi hasil pendampingan. Selain buku panduan ini,  keberadaan pelatihan untuk para konselor  tentu juga masih sangat diperlukan. {}

Similar Posts:

TIDAK ADA KOMENTAR

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here