Oleh: Nur Achmad, MA

Begitu banyak dan pentingnya ajaran tentang kemuliaan umat manusia, sehingga banyak ayat  maupun hadis yang mengatur tentang apa yang seharusnya, yang sebaiknya, yang boleh dan yang tidak boleh dalam ber-muamalah/berinteraksi. Sedemikian mulianya, bahkan sehingga manusia tersebut meninggal dunia atau wafat, kemuliaan tersebut harus tetap dipelihara, tidak boleh dicela, dan sebagainya. Nabi pun berpesan, “La tasubbul-amwat” (janganlah kalian mencela orang-orang yang telah meninggal).  Walaupun dimuliakan, manusia tidak boleh merasa bangga atau menyombongkan diri yang bisa merusak kemuliaan tersebut, seperti kesombongan iblis yang mengantarkannya menjadi makhluk yang dimurkai Tuhan.

Dengan kelebihan dan kemuliaan itulah, seungguhnya manusia berpotensi dapat membangun budaya dan peradaban sejak zaman prasejarah hingga zaman kini. Peradaban manusia mengalami kemajuan yang sangat pesat yang dapat dilihat dalam model manusia dalam perkembangan metode produksi, distribusi dan konsumsi dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Semakin hari semakin maju dan canggih. Semua itu tidak lepas dari peran akal yang Allah amanahkan kepada manusia, bukan kepada makhluk yang lain.

Dalam rangkaian menjaga kemuliaan manusia yang dipinjamkan Tuhan kepadanya, sejumlah aturan, hak dan kewajiban diatur di dalam agama. Inilah yang kemudian diproses oleh peradaban modern menjadi norma-norma, undang-undang, peraturan (tertulis/tak tertulis, serta menjadi hak dan kewajiban manusia sebagai individu maupun sebagai anggota kehidupan sosial.

Menjaga Kehormatan Manusia termasuk Misi Agama
Imam al-Ghazali dalam Kitabnya, al-Mustashfa min ‘ilmi al-Ushul menuliskan tentang 5 misi dasar agama, yaitu melindungi jiwa, akal, keturunan, agama, dan hak milik. Karenanya, semua tindakan atau usaha manusia untuk memelihara kelima prinsip tersebut disebut maslahat/kebaikan dan semua tindakan yang merusak/mengganggu kelima hal tersebut dinilai sebagai mafsadat (keburukan) serta semua usaha menolak keburukan tersebut adalah tindakan maslahat yang harus diperjuangkan. Teori ini yang kemudian dikembangkan oleh para ulama sesudahnya seperti Ibnu Khaldun dalam kitabnya Muqaddimah ketika menyinggung faktor-faktor bangun-hancurnya kerajaan/bangsa, Imam al-Syatibi dalam Kitab al-Muwafaqat, dan kemudian ulama-ulama kontemporer seperti Abdul Wahhab Khallaf dalam kitab Ushul Fiqh,  dan sebagainya.

Sesuai dengan misinya, melindungi kemanusiaan dalam lima aspek pokok di atas, agama mengatur pola hubungan sesama manusia dalam semua bidang sosial, ekonomi, politik, budaya, termasuk di dalamnya pola-pola hubungan antara laki-laki dan perempuan dalam masa anak-anak, remaja, dewasa. Juga dalam masa pranikah hingga masuk ke masa pernikahan/membina rumah tangga. Diaturnya hal-hal tersebut dalam menjaga dan memelihara kemuliaan (karamah) manusia itu sendiri yang sejak semula dititipkan Tuhan kepadanya. Karenanya dalam hubungan kemanusiaan tersebut harus berlangsung dengan dilandasi nilai-nilai kebenaran, kebaikan, kejujuran, kasih sayang, penghormatan, gotong-royong, kerjasama, toleransi, dan sebagainya. Sebaliknya, tidak dibenarkan terjadi hubungan yang saling menindas, menzalimi, merugikan, melecehkan, merendahkan, dan menafikan satu sama lainnya. Pedoman inilah yang menjadi dasar dalam membangun akhlak dan muamalah antarmanusia.

Seiring dengan fitrah umat manusia sebagai makhluk social yang memiliki kecenderungan untuk bersosialisasi atau berinteraksi yang dalam bahasa Al-Quran disebut ta’aruf. Ta’aruf dari kata dasar ‘arafa yang berarti mengenal, mengetahui, mengerti. Dalam bentuk turunannya, ta’aruf bermakna saling mengenal, mengetahui, dan mengerti satu sama lain dalam realitas kemajemukan atau kebhinnekaan umat manusia. Allah berfirman:

يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَىٰ وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا ۚ إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ

Artinya:
“Wahai manusia, sungguh Kami menciptakan kalian dari benih laki-laki dan perempuan dan Kami menjadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kalian saling mengenal/mengerti. Sungguh yang paling mulia di antara kalian adalah yang paling bertakwa. Sungguh Allah Maha Mengetahui dan Maha Mengabarkan. “(QS. Al-Hujurat  : 13)

Karena interaksi kemanusiaan, ta’aruf, dan berkenal-kenalan adalah bagian dari fitrah kemanusiaan, maka Islam menilai penting ta’aruf untuk dilakukan berdasarkan akhlak utama/etika luhur. Hal demikian selaras dengan misi kerasulan Nabi sebagai penyempurna akhlak mulia. Akhlak karimah dalam Islam mengajarkan pentingnya menjaga sikap batin yang utama seperti syukur, sabar, kasih sayang, kedermawanan, keberanian, kesantunan, mengutamakan orang lain, toleran, dan sebagainya. Sikap-sikap demikian akan mendorong manusia sebagai pribadi dan dalam kehidupan sosial terjadinya interaksi kemanusiaan yang saling menghargai, membesarkan, mengayomi, dan peduli antar sesama.

Taaruf, dalam konteks ayat di atas berlaku umum bahwa manusia pada dasarnya adalah memiliki kecenderungan saling berinteraksi, berkomunikasi, dan sebagainya termasuk kemudian menikah yang terkadang berakibat pada percampuran budaya dan adat-istiadat. Dalam konteks nikah, ta’aruf menjadi pendahulu bagi khitbah atau meminang/melamar. Karenanya, ta’aruf menjadi penting agar calon suami dan calon istri (termasuk keluarga besar dari keduanya) menjadi  saling mengenal, khususnya latar belakang keluarga, aspek akhlak, dan budaya masing-masing. Jangan sampai terjadi ketidaktahuan akibat tidak ada ta’aruf tadi berdampak pada kondisi buruk di kemudian hari. Misalnya, setelah menikah diketahui bahwa sang suami atau istri ternyata adalah pecandu narkoba atau memiliki sifat tidak jujur. Seharusnya hal demikian tidak terjadi, jika sejak awal keduanya saling mengenal. Inilah barangkali maksud Rasulullah memerintahkan salah seorang sahabat yang akan menikah untuk “melihat”, yakni memahami dan mengenal, siapa yang akan manjadi istrinya. Tentu ini juga berlaku juga bagi calon istri untuk melihat atau mengenal lebih jauh siapa calon suaminya. Rasulullah bersabda:

Artinya:
Dari Abi Hurairah ra. berkata: aku sedang di sisi Nabi saw. kemudian ada seorang laki-laki yang datang kepada beliau dan mengabarkan bahwa ia akan menikah dengan seorang perempuan dari Kaum Anshar. Kemudian Rasulullah bertanya: “Apakah engkau sudah melihatnya?” Ia berkata: “Belum”. Lalu Nabi bersabda: “Pergilah dan lihatlah ia, karena ada sesuatu di mata kaum Anshar!” (HR. Muslim, no. 3550).

Di dalam pengantar bab hadis ini, Imam Muslim menjelaskan bahwa yang dianjurkan dilihat adalah wajah dan kedua telapak tangan. Hal ini untuk lebih mendorong kedua pasangan semakin yakin dengan langkah menuju pernikahan. Tentu anjuran ini tidak boleh disalahgunakan untuk tujuan yang bertentangan dengan ajaran agama. Walaupun proses ta’aruf adalah manusiawi dan tidak bertentangan dengan fitrah kemanusiaan, namun dalam ta’aruf tidak boleh terjadi hal-hal yang dapat merugikan, mengancam, menyakiti, atau bahkan menistakan salah satu pihak, khususnya perempuan.

Hal lain yang perlu dipenuhi dalam mematuhi rambu-rambu pergaulan dalam masa ta’aruf  adalah tidak membiarkan diri  untuk  berdua-duaan dengan calon pasangan, karena sejatinya laki-laki dan perempuan dalam masa ta’aruf  adalah bukan mahram. Dan upaya ini melakukan kontrol diri ini diperlukan agar tidak terjadi relasi yang dapat menyebabkan salah satu pihak menjadi korban kekerasan,  khususnya kekerasan seksual dalam masa perkenalan.  Disebutkan dalam hadis Rasulullah saw.
Janganlah seorang laki-laki di antara kalian berkhalwat dengan seorang perempuan, karena yang ketiganya adalah syetan (HR. Tirmidzi dan Ahmad)

Dalam realitas yang ada, banyak diberitakan kasus-kasus yang merusak dan menistakan kemuliaan manusia yang mayoritas korbannya adalah perempuan yang tidak lain adalah “saudara kandung” laki-laki. Nabi menyebutkan:
Dari Aisyah ra. berkata bahwa Rasulullah bersabda: “Perempuan tidak lain adalah saudara kandung laki-laki.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, dan Tirmizi). [al-Suyuti, Jami’ al-Sagir dalam al-Munawi, Faid al-Qadir, juz. 2, h. 713].

Karenanya, bagi laki-laki, menghargai dan memuliakan perempuan adalah sebuah keniscayaan yang tidak bisa ditawar. Demikian pula sebaliknya, bagi perempuan, menghargai dan memuliakan laki-laki adalah juga kemustian. Mengingat keduanya adalah sama-sama hamba Allah dan berasal dari jenis yang sama (nafsin wahidah) dan kandungan yang sama, Ibunda Siti Hawa.

Terkait menjaga akhlak mulia tersebut, tulisan ini lebih fokus pada penegasan tentang pandangan Islam tentang tindak penistaan dan kekerasan terhadap perempuan, khususnya pada masa perkenalan. Pada prinsipnya, semua bentuk penistaan dan kekerasan tidak dibenarkan dalam agama. Demikian pula, Islam sangat melarang terjadinya pola hubungan kemanusiaan yang mengarah pada penistaan, perendahan martabat, dan kekerasan dalam berbagai bentuknya, yakni kekerasan fisik, psikis, seksual, dan juga kekerasan yang mengakibatkan hilangnya hak-hak sosial-ekonomi-budaya.

Salah satu pernyataan yang sangat mendasar dari Rasulullah saw yang disampaikan pada saat Haji Wada’ di Padang Arafah terkait pentingnya memelihara eksistensi dan kelangsungan umat manusia adalah:

Artinya:
Sungguh, darahmu, hartamu, dan kehormatanmu adalah dilindungi (dihormati) seperti dilindunginya harimu ini, di negerimu ini, dan di bulanmu ini.” (HR. Bukhari, no. 1739).

Hadis di atas menegaskan pentingnya dilindunginya jiwa raga, kehormatan, dan hak milik manusia dalam konteks muamalah bainan-nas (interaksi antarumat manusia) agar tidak sampai ada pihak-pihak yang dirugikan atau dizalimi.

Dalam konteks melindungi manusia dari tindakan penistaan dan kekerasan, khususnya terhadap perempuan, jika terjadi perselisihan atau perbedaan pandangan antara kedua belah pihak, harus diselesaikan dengan musyawarah dan komunikasi yang baik. Perlu dihindari penggunaan kekerasan apapun bentuknya, psikis atau fisik dan sebagainya, untuk mengatasi masalah. Kekerasan justru akan melahirkan masalah baru yang lebih besar lagi.

Dalam konteks negara, undang-undang yang dijalankan oleh pejabat negara harus mewadahi aspirasi warga dan melindungi mereka yang menjadi korban kekerasan. Alhamdulillah, Indonesia sudah memiliki perangkat hukum yang melindungi korban, yaitu UU Penghapusan Kekerasan dalam Tumah Tangga (PKDRT), namun sayangnya belum memiliki perangkat hukum yang cukup untuk menindak kekerasan dalam di ruang publik,  yang  mungkin juga dapat mencakup soal kekerasan dalam pacaran. Namun, yang perlu disadari, siapa pun yang siapapun yang menjadi korban ketidakadilan/kekerasan atau setidaknya melihat praktik kekerasan, seharusnya berani menghentikan kekerasan karena bertentangan dengan agama, norma hukum, dan norma sosial. Jika perlu, menggunakan jalur hukum dengan meminta bantuan atau dampingan kepada pihak-pihak yang peduli masalah kemanusiaan.

 

Baca Juga:

Dirasah Hadis 2: Menjaga Kebaikan antara Kedua Belah Pihak

Similar Posts:

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here