Persoalan prostitusi di Indonesia sangat unik. Di satu sisi, masyarakat memegang nilai bahwa hubungan seksual di luar ikatan pernikahan adalah immoral dan “haram’. Namun di sisi lain, prostitusi selalu tumbuh dimana-mana dan tidak pernah mati. Mengingat, prostitusi bekerja sesuai hukum ekonomi ”ada permintaan, ada barang”.
Kompleksitas persoalan ini mendorong Aliansi Satu Visi (ASV) dan PKBI DIY mengadakan Simposium Nasional dengan tema “Pendekatan HAM, Seksualitas dan Gender dalam Penanggulangan HIV & AIDS dan Trafficiking : Mengelola Perbedaan Ideologi dan Menyelaraskan Strategi dalam isu HIV & AIDS, Trafficking dan Pekerja Seks.” Acara dilaksanakan di kantor kelurahan Sosromenduran, di kawasan Pasar Kembang (Sarkem) yang merupakan salah satu tempat prostitusi terkenal di propinsi DIY.
Kegiatan yang berlangsung 29 – 31 Januari 2013 ini memiliki tiga tujuan pokok, yaitu :
- Menyelaraskan cara pandang gender dan seksualitas dan HAM tentang prostitusi atau jasa seksual,
- Merancang bangunan gerakan perlindungan dan pemenuhan HAM bagi Pekerja Seks dalam konteks Penanggulangan HIV&AIDS dan Traficking,
- Merumuskan landasan yuridis dan strategis untuk pemenuhan HAM bagi Pekerja Seks. Sejumlah kalangan dari berbagai daerah di Jawa dilibatkan dalam acara ini. Mulai dari anggota Aliansi Satu Visi (ASV), aktivis, pemerhati, akademisi dan juga perwakilan para pekerja seks sendiri.
Secara umum, acara terbagi menjadi tiga kegiatan pokok. Paparan pra wacana, orientasi kancah dan diskusi. Dalam paparan pra wacana, disajikan informasi dari 3 narasumber dari latar belakang yang berbeda. Pertama, Drs Inang Winarso, dalam makalahnya “Kriminalisasi Pembeli Seks: Mencari Bab yang Hilang”, membedah tentang sejarah prostitusi di Indonesia. Kedua, Ignatius Pratoraharjo (Gambit), dalam presentasinya mengenai “Pekerja Seks dalam Penanggulangan AIDS” mengajak peserta untuk melihat kembali definisi Kerja Seks dan Pekerja Seks, selain mengulas beberapa gerakan untuk menanggulangi AIDS pada pekerja seks yang dilakukan di berbagai negara. Sementara, pembicara ketiga Sarmi, perwakilan dari PS yang juga ketua P3SY menyampaikan makalah berjudul “Menolak Dilemahkan, Menuntut Perlindungan: Pekerja Seks dalam Tantangan HIV &AIDS dan Trafficking”.
Sarmi membuka kenyataan bahwa tak seorang pun di dunia ini yang bercita-cita atau membayangkan untuk menjadi Perempuan Pekerja Seks (PPS). Namun, hidup seringkali tidak bisa ditebak dan sesuai dengan harapan seseorang. Hasil temuannya di Sarkem pada tahun 2012 menyebutkan hampir 61,3% PPS pernah mengalami kekerasan mulai dari kekerasan fisik, psikis, seksual dan ekonomi. Sedangkan para pelaku kekerasan adalah pembeli seks, aparatus pemerintah (saat razia), pasangan PPS (yang seringkali memperlakukan PPS seperti mesin ATM). Dengan kondisi seperti ini, Sarmi memberikan dua rekomendasi penting yang nantinya bisa ditindak lanjuti : (1) Kebijakan yang memuat perlindungan tempat kerja yang aman. (2) Menolak kriminalisasi laki-laki pembeli seks.
Dalam simposium ini, para peserta juga diajak untuk melakukan kunjungan lapangan untuk memahami realitas kehidupan para pekerja seks. Saya sendiri tergabung dalam kelompok yang berkesempatan mengunjungi kawasan Ngebong, sebuah tempat di pinggir rel kereta api yang tidak begitu jauh dari Sarkem. Tepatnya sekitar 200 m di bagian barat stasiun Tugu. Di Ngebong. Kami diterima di warung sederhana milik Ibu Yayuk, Ketua ADS (Arum nDalu Sehat) sebuah organisasi yang dimotori oleh PPS dan mantan PPS dan memiliki 98 orang anggota, Namun jumlah itu belum mencakup semua PPS yang bekerja di Ngebong.
Menurut pengurus ADS, PPS sering juga mendapatkan pelatihan-pelatihan yang meningkatkan skill, seperti Tataboga dan menyulam. ADS juga membantu mensosialisasikan pentingnya penggunaan kondom, sehingga tingkat kesadaran penggunaan kondom sangat bagus. Di tiap-tiap warung dan di depan kamar disediakan kondom secara gratis, dan kondom ini merupakan sumbangan dari KPA. ADS secara rutin mengajak anggotanya untuk melakukan screening kesehatan setiap bulan sekali, sehingga HIV & AIDS dan IMS dapat ditekan.
Melalui simposium diharapkan dapat disepakati dokumen yang berisi penyelarasan cara pandang dan strategi perlindungan HAM bagi perempuan, termasuk mereka yang terlibat dalam prostitusi atau jasa seksual. Forum ini juga mengajak kita untuk menghormati HAM dan menyatakan Stop Kekerasan pada semua kalangan. {} Nihayatul Wafiroh