Tepat 14 Pebruari lalu, ketika banyak remaja sibuk merayakan Valentine’s Day, di kawasan Monas sekelompok aktivis perempuan tengah mengadakan ’flash-mob’ (menari bersama) sebagai kampanye One Billion Rising (OBR) untuk mengakhiri tindak kekerasan terhadap perempuan. Di tengah keramaian aktivitas OBR itu, Redaksi menemui Nur Hidayati Handayani, Koordinator Nasional Aliansi Remaja Independen (ARI), sebuah organisasi yang berkonsentrasi pada pendidikan seksual dan kesehatan Reproduksi komprehensif bagi remaja agar mereka tahu tentang diri dan tubuhnya. Gadis bungsu dari 2 bersaudara ini lahir di Jakarta, 29 November 1988. Anak perempuan dari pasangan ’blasteran’ -Ibu (Flores) dan Bapak (Mandailing)- ini telah menamatkan kuliahnya di Jurusan Bimbingan Konseling Universitas Negeri Jakarta (UNJ). Berikut sajian hasil wawancara Redaksi dengan Handa :
Apakah ARI itu dan apa saja kegiatan-kegiatan yang dilakukan ?
ARI adalah organisasi dari remaja dan untuk remaja yang bergerak dalam advokasi Hak-hak Kesehatan Seksual dan Reproduksi, Akses Pendidikan dan Pekerjaan dengan dampak terburuk bagi remaja. Kegiatan yang dilakukan ARI adalah membuat penelitian, seminar, pelatihan, kampanye dan rapat advokasi dengan pembuat kebijakan terkait dengan isu ARI.
Bagaimana pandangan Anda mengenai pacaran di kalangan remaja?
Menurut saya, pacaran adalah hal yang lumrah terjadi di kalangan remaja di masa pubertas terutama yang baru mengalami munculnya dorongan seksual. Namun, hal ini tidak dibarengi dengan adanya akses informasi seputar seksualitas kepada remaja sehingga remaja seringkali terjebak dalam mitos cinta dan pacaran, salah satunya adalah terjebak dalam hubungan yang abusif ini. Setiap remaja sebenarnya bisa bertanggung jawab kepada dirinya asalkan semua informasi mereka dapat tanpa harus ditutup-tutupi atau tabu.
Bagaimana ARI melihat kasus Kekerasan dalam Pacaran (KdP) dalam perspektif kesehatan reproduksi dan seksualitas remaja?
Kalau berbicara kekerasan dalam masa pacaran, kita tidak bisa menyalahkan remaja itu sendiri. Mengingat, remaja ini merupakan bentukan dari orang tuanya, lingkungan sekitar dan juga sekolah. Kalau mengenai kekerasan dalam pacaran, kebanyakan remaja ini mengikuti apa yang sudah diajarkan. Misalnya, bila korbannya perempuan, banyak yang mengajarkan bahwa perempuan itu harus mengikuti apa maunya laki-laki. Dan hal itu mereka mulai terapkan dalam masa pacaran itu sendiri sehingga bila si perempuan ini tidak menginginkan atau tidak menuruti apa maunya laki-laki maka dia akan mendapatkan kekerasan.
Selain itu kita mesti melihat juga banyak faktor. Di media, di TV, ketika membahas masalah cinta, mereka membahas masalah ’kepemilikan’. Dimana ketika remaja ini berpacaran dengan seseorang, lalu kemudian dia dipandang bahwa dia sesungguhnya adalah milik orang itu. Selain itu, dalam budaya kita sebenarnya tidak diajarkan bahwa seseorang memiliki hak kebebasan memilih, kebebasan tubuh, maupun kebebasan untuk menentukan apa yang diinginkan.
Seperti apakah bentuk-bentuk kekerasan dalam masa pacaran yang biasa atau sering Anda temui ?
Sebenarnya bentuknya beragam mulai dari psikis, mulai dari membentak, memarahi, memaki sampai kekerasan fisik. Begitu juga kekerasan ekonomi biasanya ini terjadi pada si laki-laki, biasanya si perempuan meminta laki-laki kalau pacaran harus membayari segala macam. Kemudian sampai pada kekerasan seksual yang terjadi dalam pacaran anak muda.
Secara spesifik, kekerasan seksual yang terjadi seperti apa?
Ketika mereka melabelkan ”Kalau ’Lu cinta gue, lu harus menyerahkan apa yang lu punya”. Yang dia punya berarti adalah tubuhnya. Misalnya dia diajak untuk saling cium-ciuman, sampai berhubungan seks.
Apa saja faktor-faktor penyebab kekerasan dalam pacaran?
Faktor lingkungan, budaya, pendidikan sama faktor dari si remajanya. Kebanyakan, kita tidak belajar antar tim, sehingga menjadi tidak asertif ketika si remajanya keenakan sama pacarnya. Padahal ketika dia merasa tidak nyaman, pengaruhnya dia merasa tidak enak. Selain dari masalah lingkungan sesama remaja itu, di lingkungan keluarga sendiri ketika dia melihat bahwa kekerasan itu terjadi dalam keluarganya, dalam hubungan orang tua dengan si anak dan dia mendapati hal itu biasa-biasa saja.Ternyata nggak apa-apa lho, orang tua gue saja sering begitu. Ibu sering memukul ayahnya atau sebaliknya ayah sering marah-marahi ibunya, dan menganggap bahwa ternyata pola itu adalah hal yang normal, maka kalau diaplikasikan dalam hubungan pacaran juga akan menjadi biasa saja.
Sementara kalau dilihat dari sistem pendidikan sendiri, kita lihat kekerasan banyak terjadi di sekolah. Baik yang terjadi antara murid kepada murid yang lain, guru ke muridnya, lagi-lagi ini kekerasan dinormalkan jadi si remajanya mengikuti saja. Yang terakhir adalah karena seringkali kita tidak asertif.
Berdasarkan pengalaman ARI, berapa banyak kasus kekerasan dalam pacaran yang pernah ditangani atau ditemui oleh ARI?
Untuk upaya mendampingi ARI tidak melakukannya secara langsung. Akan tetapi ARI biasanya berupaya untuk memasukkan informasi-informasi ini, misalnya ke dalam pelajaran-pelajaran sekolah mengenai upaya mencegah berbagai bentuk kekerasan. Namun, bila kita amati dari ’curhat’ para remaja ketika ARI datang ke penyuluhan di sekolah-sekolah dalam lingkup kelompok kecil jumlahnya lumayan. Biasanya peserta yang banyak itu kami bagi satu kelompok terdiri dari 20 orang satu kelompok. Dan dari setiap sekompok, sekitar setengahnya pernah mengalami kekerasan.
Dari sekitar 20 orang tadi, paling banyak di antaranya pernah mengalami kekerasan psikis, misalnya dia dilarang macam-macam. Selain itu juga mengalami kekerasan fisik, kekerasan seksual dan juga kekerasan ekonomi. Kekerasan psikis ini terjadi baik di kalangan remaja laki-laki maupun perempuan. Misalnya, dia tidak boleh bergaul dengan lawan jenisnya, dia dilarang untuk mengikuti kegiatan. Misalnya dengan mengatakan, ”Nanti Lu pulangnya kemalaman”. Selain itu dia juga dilarang-larang oleh pacarnya, misalnya untuk ikut ekskul juga nggak boleh.
Dari berbagai kasus kekerasan yang pernah diceritakan kepada Anda tadi, kasus mana yang membuat Anda merasa sangat terkesan? Dapatkahdiceritakan lebih detail salah satunya?
Kasus yang paling berkesan yang pernah saya tangani adalah ketika sahabat saya sendiri mengalami kekerasan dalam pacaran dan membutuhkan waktu lebih dari 4 tahun untuk lepas dari kondisi itu. Meskipun terkadang merasa sedikit lelah karena harus terus mendampingi dan menguatkan sahabat saya, namun pada akhirnya ia bisa terlepas dari pacarnya dan mendapatkan pasangan yang tidak melakukan kekerasan.
Bagaimana cara ARI mengintegrasikan tema-tema ataupun materi-materi seperti ini ke dalam kurikulum sekolah?
Sebenarnya materi ini bisa masuk ke dalam Pendidikan Seksualitas yang Komprehensif dimana di dalamnya remaja diajarkan untuk mengenali apa itu kekerasan dalam pacaran, sikap asertif, kemudian bagaimana ia bertanggung jawab terhadap dirinya dan meminta pertolongan jika ia terjebak ke dalam kekerasan dalam pacaran.
Bagaimana Anda melihat dampak kekerasan dalam pacaran, terutama kepada remaja perempuan ?
Sangat miris terhadap si perempuan. Misalnya saya punya tiga sahabat yang sangat dekat. Dua dari tiga di antaranya mengalami kekerasan dalam pacaran. Dampaknya adalah pada teman yang pertama, yang berada dalam hubungan yang agresif, dia tetap memberikan kepercayaan pada pasangannya. Sementara teman yang satu lagi dia justru addict dengan kekerasan yang dialaminya. Kami menyebutnya co-dependent. Dia seperti ketagihan. Misalnya si laki-laki melakukan kekerasan, setelah itu dia nangis-nangis, meminta maaf dan berjanji akan berubah. Si perempuan percaya bahwa pasangannya akan berubah. Namun ternyata si laki-laki itu tidak juga berubah.
Selain dampak fisik, ada juga dampak psikis dari orang itu. Dia percaya dirinya rendah, sayangnya dia tidak bisa memiliki kesempatan seperti yang orang lain miliki, misalnya dia ingin mengikuti kegiatan dia tidak bisa.
Bagaimana komentar Anda mengenai upaya penanganan kasus kekerasan dalam pacaran ?
Lagi-lagi dari refleksi pengalaman pribadi. Begini, ketika kita memberitahu kepada orang itu, tetapi kalau dari dirinya dia tidak mampu (tidak ada kemauan) untuk melawan, maka dia tidak akan lepas dari kekerasan. Jadi di samping kita memberikan informasi, maka dia harus memutuskan bahwa dia tidak akan menjadi korban dan tidak akan melakukan tindak kekerasan itu.
Bagaimana pandangan Anda mengenai kasus siswi hamil, dia korban KDP tetapi justru di keluarkan dari sekolah ?
ARI sendiri sangat menentang isu itu. ARI benar-benar melakukan advokasi dengan cara mengirimkan email ke salah satu staff yang menangani Pendidikan Menengah Kemendikbud mengenai kasus kekerasan seksual yang dialami oleh siswa, diskriminasi kepada siswa hamil atau yang sudah menikah, namun belum direspon. Sikap ini kami tegaskan karena setiap orang harus mendapat akses pendidikan, apapun latar belakangnya, apapun masalahnya. Jadi, ketika sekolah mengeluarkan dia, hal ini justru malah menambah bentuk kekerasankepadanya dalam bentuk yang lain.
Apa saran Anda kepada remaja, sehingga tidak terjadi kekerasan dalam pacaran ?
Ketika remaja mencintai dirinya sendiri, dia harus berani, dan tegas bahwa dia tidak boleh menyakiti dirinya, siapapun termasuk pacarnya. Ketika dia sudah mencintai dirinya maka dia akan sanggup untuk mencintai orang lain. {} AD. Kusumaningtyas