Lelaki bernama lengkap Irwan Martua Hidayana ini lahir di Jakarta, 16 Mei 1962. Peneliti dan Dosen yang juga bergiat di Pusat Kajian Gender dan Seksualitas FISIP UI ini, menekuni bidang Antropologi semenjak S1 di FISIP UI maupun S2-nya di Universitas Ateneo, Manila, Philipina hingga jenjang S3 yang mengantarkannya meraih gelar Doktor bidang Antropologi Medis di Universitas Amsterdam, Belanda. Dalam kajiannya di bidang tersebut, isu-isu kesehatan, gender, seksualitas, dan kesehatan reproduksi menjadi bidang yang tak pernah lepas dari perhatiannya. Menikah dengan Agnes (tahun 1995), Irwan kini juga menjadi Bapak dari dari Marselino, putra semata wayang mereka yang kini duduk di kelas 2 SMA. Selain mengajar di kampusnya, ia banyak melakukan penelitian di akar rumput serta melakukan advokasi bersama rekan-rekannya di organisasi non pemerintah yang bergerak pada persoalan gender dan seksualitas. Salah satu upaya yang dilakukannya bersama rekan-rekannya sesama sivitas akademika, adalah mencoba untuk mebuat Pokja Pengarusutamaan Gender di Universitas di Kota Depok. Berikut wawancara AD.Kusumaningtyas dari Swara Rahima dengan antropolog yang ditemui di kantornya di Gedung C FISIP UI di lingkungan kampus UI asri.
Bagaimana pengertian ‘seksualitas’ menurut Anda ?
Seksualitas itu menyangkut hakikat hidup manusia, sehingga cakupannya luas. Bila kita mau melihat seksualitas, maka hal itu tidak bisa terlepas dari hasrat, keinginan, persoalan identitas, maupun hal-hal lain yang terkait berbagai aspek kehidupan manusia. Menurut saya, seksualitas itu bukan semata-mata hal yang bersifat aspek biologis atau hal-hal yang fisik saja dari manusia, namun juga menyangkut aspek-aspek psikologis, sosiologis dan budaya terkait dengan identitas seksual yang dimiliki seseorang. Maka, tadi saya katakan seksualitas itu terkait dengan motif, hasrat, keinginan kita sebagai manusia seperti kepada siapa kita tertarik atau punya hasrat, dengan siapa kita ingin membangun keluarga, ataupun dari siapa kita ingin punya anak. Di sisi lain juga seksualitas terkait dengan identitas seperti bagaimana kita melihat seseorang sebagai sexy woman atau laki-laki yang ’macho, oleh karena itu pengertiannya benar-benar luas. Tapi yang jelas, seksualitas adalah sesuatu hal yang hakiki dan merupakan hak dasar manusia. Bagaimanapun, ketika kita lahir ke dunia ini pasti identitas yang pertama kali ingin yang dilihat orang pada diri kita adalah seks (jenis kelamin)-nya.
Apa saja yang diperbincangkan dalam ruang lingkup seksualitas ?
Tadi saya sudah menyebutkan bahwa seksualitas menyangkut aspek fisik dan aspek sosiologis. Dari sisi biologis ada penis, vagina maupun organ seksual yang lain. Namun bukan sekedar itu, mengingat tubuh manusia juga merupakan aspek biologis dari seksualitas yang penting. Ketika berbicara tentang seksualitas dari segi fisik, ini tidak hanya sekedar alat kelamin atau organ seksual, tetapi seksualitas tubuh kita yang lain sebagai manusia. Seksualitas juga terkait hal psikologis, ada hasrat, keinginan, motif secara individual . Aspek-aspek lain dalam seksualitas manusia juga penting, karena kita hidup di masyarakat yang menyakini bahwa seksualitas mencakup pula aspek sosial dan budaya. Misalnya dengan siapa kita menikah dan dengan siapa yang tidak boleh menikah? Lalu seringkali di masyarakat, misalnya jodoh seseorang itu bukan ditentukan oleh individu, tetapi oleh keluarga. Itu kan contoh lain. Lalu contoh lain misalnya bagaimana masyarakat memandang soal hubungan seks di luar pernikahan? Belum lagi terdapat konstruksi budaya masyarakat misalnya mengenai soal keperawanan, poligami, dan lain-lain. Sebenarnya, secara umum kita bisa melihat ada 4 (empat) aspek besar dalam seksualitas.
Bagaimana masyarakat Indonesia mengkonstruksikan seksualitas? Seksualitas yang seperti apa?
Dalam konteks Indonesia yang beragam secara etnis maupun agama, mungkin agak sulit melihat ini. Tetapi secara umum melihat konstruksi seksualitas di masyarakat kita seks itu dilihat sebagai hal yang tabu. Dalam arti tabu dibicarakan secara publik. Walaupun sekarang seringkali seks dibicarakan secara terbuka lewat media, akan tetapi banyak orang masih sering melihat seksualitas dari sisi yang lebih normatif. Lalu bagaimana masyarakat mengkonstruksi seksualitas? Di sini saya melihat ada semacam double standart, dimana seksualitas perempuan cenderung lebih dikekang, disorot, diatur daripada seksualitas laki-laki karena laki-laki dianggap lebih banyak mempunyai kebebasan secara seksual. Secara umum, saya melihatnya seperti itu. Namun, ini tidak bisa dikatakan sebagai generalisasi pandangan masyarakat Indonesia yang beragam.
Bila tak dapar dikatakan sebagai generalisasi, bisakan dielaborasi beberapa contoh mengenai bagaimana budaya kita mengkonstruksi seksualitas ini ?
Sebenarnya menarik jika membicarakan budaya dalam konteks Indonesia. Di beberapa suku bangsa di Indonesia, konstruksi budaya mengenai seksualitas itu melihat bahwa seksualitas adalah urusan laki-laki dan perempuan. Namun, dalam berbagai diskusi juga sering diangkat tentang bagaimana masyarakat Bugis, Sulawesi Selatan yang melihat bahwa kategori gender itu tidak bisa terlepas dari ‘seksualitas’. Di sana ada 5 kategori yaitu : a)laki-laki, b)perempuan, c) calalai (perempuan yang berpenampilan laki-laki atau tomboy), d)atau sebaliknya calabai(laki-laki cenderung berpenampilan feminin, keperempuanan), dan kemudian e)ada kategori bissu (orang atau individu yang dianggap mempunyai maskulin dan feminin yang seimbang di dalam dirinya). Itu contoh bagaimana masyarakat Bugis mengenal kategori itu.
Kita juga mengenal hal serupa di masyarakat lain di daerah Sumbawa, di sana ada kategori gender laki-laki dan perempuan. Dalam konteks kesenian, seperti ludruk atau wayang orang, kita dapat melihat bagaimana para pemeran laki-laki seringkali memerankan perempuan atau sebaliknya perempuan memerankan laki-laki. Yang saya tahu, di wayang orang perempuan sering memerankan tokoh Arjuna, laki-laki yang dianggap memiliki pembawaan halus. Atau menjadi tokoh Srikandi, perempuan yang gagah berani. Dengan demikian, konstruksi seksualitas dalam budaya di Indonesia sebenarnya cukup beragam.
Dapatkah dijelaskan pengertian dan perbedaan beberapa istilah seperti seks, seksualitas, orientasi seksual, dan perilaku seksual ?
Ada istilah ’seks’, yang intinya adalah soal jenis kelamin yang ditandai dengan ’penis’ dan ’vagina’. Namun dalam penggunaan sehari-hari ketika berbicara tentang seks maka hal ini tidak mengacu pada aspek fisik saja. Kalau ada istilah ’nonton film seks’, maka dari kata ’seks’ itu kalau isi film itu bukan menceritakan soal hubungan seksual semata-mata, tetapi juga bagaimana film itu memandang tentang ’seksualitas’. Sementara ’seksualitas’ sendiri sebenarnya mengacu tidak hanya pada aspek fisik maupun biologi saja. Secara sederhana ’seksualitas’ berarti segala hal dalam kehidupan manusia yang berkaitan denga seks. Otomatis, bila kita membicarakan segala hal dalam kehidupan manusia yang terkait dengan seks, maka dia mencakup dengan apa yang disebut dengan ’perilaku seksual’-nya, ’orientasi seksual’-nya, ’identitas seksual’-nya, dan ’ekspresi gender’-nya. Jadi seksualitas itu adalah satu kesatuan yang utuh dari berbagai macam aspek kehidupan manusia.
Pembicaraan tentang ’orientasi seksual’ terkait dengan ketertarikan kita secara seksual maupun secara erotis kepada gender yang lain maupun pada seks yang sama. Itu bagian dari seksualitas. Sementara ’perilaku seksual’ berkait dengan apakah seseorang berganti ganti pasangan seksual, atau dia setia, atau dia melakukan hubungan seks di luar pernikahan. Begitupun halnya mengenai ’identitas seksual’, terkait dengan bagaimana seseorang menyebut dirinya sebagai laki-laki, gay, waria atau sebagai lesbian. Kesemuanya itu juga bagian dari seksualitas.
Dapatkah dijelaskan lebih detail mengenai ‘orientasi seksual’ tadi?
Secara kajian akademis, orientasi seksual terdiri dari beberapa macam. Pertama, ‘hetero seksual’ dimana dipandang ada ketertarikan terhadap lawan jenis. Kedua, ada juga ‘homoseksual’ atau ketertarikan terhadap sesama jenis. Ketiga, ada ‘biseksual’ atau ketertarikan kepada keduanya, kepada perempuan dan juga laki-laki. Secara umum, dalam kajian akademis semua ini dianggap sebagai orientasi seksual. Kenyataannya seringkali tidak sederhana itu. Bahkan ada orang-orang yang tidak bisa memastikan atau menyebutkan apa sebenarnya orientasi seksualnya.
Apakah masing-masing terminologi terkait satu sama yang lain dan bersifat linear? Misalnya, seseorang orientasi seksualnya sesama jenis, dia pasti selalu ‘gay’, dan selalu akan berhubungan seksual sesama jenis (laki-laki juga). Akankah selalu seperti itu ?
Seringkali dalam pandangan umum seolah-olah seperti itu. Karena saya ‘heteroseksual’ dan saya laki-laki, maka saya tertarik kepada lawan jenis (perempuan). Dan orang kemudian berpikir pasti saya mencari perempuan dan melakukan hubungan seksual dengan perempuan. Sebaliknya bila dia Gay, laki-laki tertarik dengan laki-laki, sepanjang hidupnya dia berhubungan dengan laki-laki. Kenyataannya tidak seperti itu juga. Orientasi seksual tidak selalu berhubungan secara linear dengan ‘identitas seksual’-nya. Bisa aja orientasi seksual saya ’homoseksual’, saya tertarik dengan sesama jenis tetapi saya tidak pernah mengaku diri saya sebagai gay atau sebagai homo. Saya mengaku diri sebagai hoteroseksual, karena saya menikah dengan seorang perempuan dengan perilaku saya berhubungan seks dengan perempuan, sama dengan mereka yang heteroseksual. Bisa jadi juga tidak sepanjang hayatnya seseorang berhubungan dengan lawan jenis. Pengertian tentang ‘orientasi seksual’, ‘perilaku seksual’, ‘identitas seksual’, seringkali merupakan sesuatu yang kompleks. Hal itu tergantung pada banyak faktor seperti lingkungan, ekonomi dan lain-lain. Sehingga, kalau kita lihat perilaku seksualnya, seolah-olah seseorang adalah homo padahal belum tentu. Kalau ketika ditanya, dia jawab “Saya hetero. Karena alasan pekerjaan lah, saya lakukan ini”.
Bagaimana Anda melihat berbagai kebijakan negera yang terkait pandangan mereka mengenai seksualitas, khususnya terhadap kaum perempuan ?
Bila berbicara tentang kebijakan negara atau produk hukum yang dibuat oleh negara terkait dengan perempuan, secara umum harus kita akui bahwa banyak kebijakan negara yang mengatur soal seksualitas perempuan dimana mereka hanya dilihat dari tubuhnya. Dapat kita contohnya, misalnya bagaimana Perda tentang Larangan Pelacuran, tentang Penggunaan busana muslimah di beberapa Kabupaten, semuanya diarahkan kepada perempuan. Sebenarnya, secara implisit itu menunjukkan bahwa negara mempunyai konstruksi tertentu tentang seksualitas perempuan yang melihat bahwa semua itu merupakan hal yang perlu dibatasi, diatur, dan dikekang dari berbagai macam aturan. Negara juga menilai bahwa urusan perempuan sebagai ‘bukan persoalan-persoalan kami’, dan program-programnya ’seksualitas perempuan sebatas pada soal ’reproduksi’, dimana ’hak reproduksi’ itu pun merupakan tanggung jawab perempuan.
Contoh lain mengenai bagaimana negara melihat seksualitas perempuan adalah pada Undang-undang Perkawinan yang mengizinkan laki-laki berpoligami. Artinya, negara melihat bahwa laki-laki dianggap wajar kalau dia memiliki lebih dari satu pasangan seksual. Ini dapat dimaknai sebagai pengakuan negara, karena selama ini negara tidak menolak dan mempersilakan laki-laki punya pasangan seksual lebih dari satu. Konstruksi negara tentang seksualitas ini memandang bahwa hasrat seksual laki-laki seolah-olah tidak bisa dibatasi, sementara pada perempuan harus dibatasi. Demikian cara melihatnya?
Bagaimana pendapat Anda melihat perilaku pejabat publik yang justru cenderung menyalahkan perempuan yang menjadi korban kekerasan seksual ?
Para pejabat di negeri ini, bila membincangkan seksualitas pasti selalu mengkeitkannya dengan soal moralitas. Dan pembicaraan tentang moralitas bila dikaitkan dengan seksualitas, akan selalu mengarah kepada tubuh perempuan daripada laki-laki. Makanya tidak heran bila kemudian pejabat publik memberikan komentar misalnya tentang pelecehan seksual di tempat umum, itu karena perempuan memakai pakaian mini di tempat kerja dan segala macam. Bila mereka mencoba melihat persoalan seksualitas dikaitkan dengan isu moral, lagi-lagi yang diatur adalah perempuan daripada laki-laki. Di situ akan nampak pandangan yang melihat perempuan seolah-olah makhluk berbahaya, menjadi setan, iblis yang menggoda laki-laki. Di sisi lain, ada pandangan yang menganggap bahwa karena itu laki-laki tidak bisa menahan hasrat seksualnya. Bagaimana cara supaya laki-laki mengendalikan hasrat seksualnya? Patriarkhi kemudian melihat bahwa untuk mengubahnya perempuan mesti menjadi ‘korban’ yang perlu diatur dari berbagai aspek. Dalam berbagai kajian mengenai hal itu, terjadi apa yang disebut dengan moral panics (kepanikan moral).
Bagaimana dampak dari cara pandangan terhadap perempuan, terutama terkait dengan kebebasan untuk memilih sendiri hal-hal terkait dengan seksualitasnya ?
Saya pikir persoalannya terletak pada kebijakan atau pandangan pejabat publik maupun masyarakat yang mengontrol satu pihak yaitu perempuan. Ini tidak menguntungkan perempuan karena mereka akan selalu dilihat sebagai objek seksual. Mengingat, paling gampang pejabat publik tentu akan mengatur cara berpakaian dan bagaimana jika keluar malam. Perempuan pasti akan merasa bahwa oleh masyarakat (terutama kaum laki-laki) dia dipandang sebagai objek seksual. Sehingga agak mengherankan juga pandangan para pejabat publik dalam melihat pelecehan seksual pada perempuan, misalnya pada kasus-kasus perkosaan yang menimpa perempuan yang memakai pakaian tutup sama sekali. Kasus-kasus perkosaan yang terjadi pada TKI, TKW tidak pernah menjadi refleksi untuk mengubah pandangan mereka sehingga tidak berpikiran seperti itu. Tetap saja, ketika ada persoalan selalu dikaitkan dengan moralitas dan seksualitas perempuan. Ini karena mereka menganggap perempuan seolah-olah jenis kelamin kedua (the second sex).
Banyak peristiwa yang mengesankan bahwa kini ruang publik tak lagi aman bagi perempuan, contohnya kasus-kasus kekerasan seksual di ruang publik yang menimpa perempuan. Mengapa?
Peristiwa itu terjadi akibat dari aspek yang saling berkaitan. Pertama, cara pandang laki-laki terhadap perempuan, kita tidak lepas dari nilai, norma gender yang diterima keluarga dari masyarakat. Termasuk masih banyak laki-laki yang melihat perempuan sebagai obyek seksual. Kedua, hal itu terjadi bukan saja karena masyarakat kita tidak mendapatkan pendidikan seksualitas (masih agak terlalu jauh), tidak mempunyai ruang dalam keluarga atau sekolah untuk bisa bicara mengenai seksualitas secara terbuka. Pernah saya bertanya kepada mahasiswa kelas saya ketika membahas tentang seksualitas ini, ketika mereka (mahasiswa laki-laki) pertama kali mengalami mimpi basah, setelah itu kemudian mereka bicara dengan siapa. Tak seorang pun yang mengatakan ia bicara dengan ayahnya atau orang tuanya. Rata-rata nggak. Ini menunjukkan bahwa dari keluarga sendiri pun mereka masih sulit untuk mendapatkan informasi serta berbicara tentang seksualitas.
Karena sulit membicarakan hal itu ketika di dalam keluarga atau di bangku sekolah mengingat tidak tersedia ruang untuk itu, maka seseorang kemudian mencari channel atau ruang lain. Akhirnya persoalan itu muncul di ruang publik, entah di angkutan umum, kereta atau apa saja sehingga terjadi pelecehan seksual. Di samping hal lain terkait dengan negara atau pemerintah yang masih belum mampu menyediakan angkutan umum atau ruang-ruang publik yang aman khususnya bagi perempuan. Menurut saya, persoalannya adalah cara pandang laki-laki terhadap perempuan, norma atau gender yang belum disosialisasikan dalam keluarga, serta tidak adanya ruang yang memadai untuk berbicara tentang seksualitas di dalam kehidupan kita.
Bagaimana Anda melihat hadirnya perda diskriminatif yang selain terkait dengan isu moral juga tidak terlepas dari isu agama?
Pembicaraan mengenai seksualitas akan hampir selalu dikaitkan dengan moralitas, dimana moralitas seringkali tidak bisa dilepaskan dari soal agama. Agama dianggap sebagai sumber moral, baik buruk, benar atau salah, dari sisi lain terkait dengan unsur kehidupan manusia. Terkait dengan seksualitas, agama selalu dianggap sebagai faktor atau unsur yang mengontrol seksualitas secara ketat, dan bagaimana cara pandang agama terhadap seksualitas akan tercermin pada akhlak kita. Merea yang membuat Perda diskriminatif melihat bagaimana agama memandang seksualitas lalu mengkaitkannya dengan tujuan untuk menjaga moralitas masyarakat atau moralitas bangsa.
Saya sih lebih melihat agama (terutama di Indonesia) sering dijadikan sebagai alat untuk tujuan-tujuan yang tidak ada kaitannya dengan tujuan agama itu sendiri. Agama banyak digunakan untuk tujuan yang sifatnya politis atau ekonomis. Dalam konteks pembuatan perda-perda ini agama memang lebih ’digunakan’. Yang saya tahu, Islam selalu melihat seksualitas secara positif, namun penafsiran yang seperti apakah yang melihat seksualitas terkait dengan hal-hal yang positif ? Bila dikaitkan dengan perda-perda diskriminatif di wilayah Indonesia, agama cenderung dijadikan alat untuk melalui justifikasi aturan-aturan atau regulasi terkait dengan seksualitas. Saya masih percaya, sebetulnya cukup banyak anggapan berbeda-beda yang mempunyai pandangan positif terhadap seksualitas manusia dari pada apa yang digambarkan oleh perda-perda ‘atas nama’ berbasis pada ajaran agama itu.
Bagaimana pendapat Anda tentang pandangan masyarakat mengenai ‘identitas gender’ yang tidak sesuai dengan harapan mereka? Ini karena mereka cenderung reaktif melihat perilaku perempuan yang cenderung kelaki-lakian atau sebaliknya laki-laki yang cenderung seperti perempuan ?
Secara umum, masyarakat kita memahami identitas itu kalau nggak laki-laki, ya perempuan. Lalu, mereka menemukan kenyataan di masyarakat bahwa dari aspek gender, yang punya ekespresi penampilan ‘laki-laki’ diharapkan berpenampilan dan berbicara dan berperilaku sebagai laki-laki, bukan sebagai perempuan. Namun, ada pula individu, dia laki-laki, namun dia mengekspresikan dirinya tidak sesuai dengan harapan masyarakat. Di sini kita mesti memahami bahwa persoalan gender bukan hanya laki-laki atau perempuan, tapi juga laki-laki yang keperempuanan dan perempuan kelaki-lakian. Sementara, masyarakat cenderung melihat banyak hal dalam kehidupan selama ini secara dikotomis. Ada siang dan malam. Padahal ada sore, ada petang, ini wilayah abu-abu. Nah, ketika berbicara tentang seksualitas, masyarakat berpikir bahwa ketika seorang laki-laki lahir mempunyai penis maka dia harus menjadi laki-laki, dan pengertian laki-laki sesuai dengan pemahaman masyarakat ya begitu. Begitu juga dengan perempuan. Kesannya begitulah kenyataan biologis, padahal sebenarnya tidak sederhana itu. Bisa jadi mereka tidak mengenal ada yang namanya ’interseks’, kalau istilahnya Dr. Sultana MH.Faradz dari UNPIP mendapatkan Bakrie Award, menyebutkan sebagai ’kerancuan kelamin’ atau ’interseks’ .
Justru menurut saya, masyarakat mungkin belum menyadari bahwa sesuatu yang wajar bila mereka menemukan bahwa ada orang-orang yang mempunyai identitas gender atau seksual agak ambigu. Yang terpenting adalah bagaimana memberi informasi yang lebih memadai dan lebih banyak kepada masyarakat; sehingga tidak menjadikan konstruksi seksualitas sebagai yang diharuskan dan menganggap bahwa hadirnya kenyataan ini dianggap sebagai sesuatu hal yang salah, setelah itu lari dan menghakimi bahwa menurut agama itu dosa atau segala macam. Mengingat secara secara biologis pun sebenarnya ada variasi. Ketika sebagian masyarakat mengatakan bahwa ada yang mengatakan bahwa jenis kelamin terdiri laki-laki dan perempuan saja, namun secara sosial sebenarnya juga terdapat beragam contoh-contoh seperti di Masyarakat Bugis atau Masyarakat Sumbawa yang mengenal beragam gender, itu menjadi penting. Dan dengan contoh dengan kesenian rakyat kita bisa menjelaskan bagaimana budaya mengenal laki-laki dan perempuan, serta melihat persoalan gender itu sebagai sesuatu yang dinamis dan cair.
Bagaimana caranya menjelaskan bahwa gender itu sebenarnya beragam dan sangat dinamis?
Kita perlu menyadari bahwa memang masyarakat atau budaya tengah berubah. Dan kita juga perlu memperkenalkan bahwa Indonesia ini yang sangat beragam, termasuk suku bangsa, budaya masyarakat, termasuk gendernya. Saya pernah nonton film yang dibuat oleh National Geographic yang dibuat oleh beberapa antropologi tentang persoalan ini tentang persoalan gender dan lainnya. Mereka mengatakan semakin modern sebuah masyarakat, semakin kaku pandangan mereka terhadap gender, dalam arti melihat gender itu sebagai laki-laki dan perempuan saja dibandingkan melihat bahwa di dalam masyarakat banyak budaya yang bervariasi. Seperti orang-orang India di Amerika yang mengenal gender bukan saja relasi perempuan dan laki-laki seperti itu. Jadi justru semakin modern masyarakat maka mereka semakin kaku dalam melihat gender dan mereka akan sensitif sendiri.
Tapi itu harus dibarengi dengan informasi yang lebih khas dan komprehensif di masyarakat tentang bahwa gender adalah sesuatu yang dinamis, yang tidak bisa sederhana kita kategorikan sebagai laki-laki dan perempuan saja. Dan pendidikan seksualitas menjadi hal yang penting ke depannya.
Apa saran Anda untuk melakukan penyadaran di masyarakat ?
Pertama, peran media penting karena kita tahu masyarakat kita media oriented, justru lewat media itu tugas juga pemerintah dan masyarakat sipil memberikan informasi yang komprehensif ke mereka. Kedua, mungkin agak sulit bagi generasi tua, tetapi untuk generasi muda perlu diberikan pendidikan seksualitas yang akurat. Tidak hanya cukup di sekolah, tetapi di keluarga perlu diciptakan ruang keluarga dimana dalam keluarga, orang tua bisa berbicara tentang seksualitas dengan anak-anaknya.
Jadi sekali lagi, menjadi penting bagaimana media harus dididik agar ’melek seksualitas’, karena kita perlu banyak tahu dari media mengenai berita dan informasi yang benar. Lalu sekolah, sebenarnya kepada keluarga, bagaimana kita (termasuk para orang tua) menciptakan komunikasi dengan anak-anak, karena sebelum masuk ke sekolah, awalnya dia harus tahu terlebih dahulu. {} AD.Kusumaningtyas