Ada yang menarik setiap kami menyimak isian Pre Test para peserta Pelatihan Sensitivitas Gender yang selama ini dilaksanakan oleh Rahima sebelum mereka mengikuti proses belajar bersama di forum pelatihan. Untuk mendapatkan pemahaman awal mengenai perbedaan antara ‘kodrat’ dan ‘gender’; biasanya dalam kuesioner kami cantumkan pertanyaan : apa yang Anda pahami mengenai istilah ‘Seks’. Dan spontan biasanya mayoritas menjawab : hubungan suami istri,  hubungan seksual antara laki-laki dan perempuan, jima’,  bersetubuh, dan istilah lain yang memiliki makna yang sejenis. Sangat jarang di antara mereka yang menerjemahkan istilah ‘seks’ sebagai  ciri-ciri dan perbedaan biologis antara laki-laki dan perempuan; yang di antaranya berupa alat kelamin laki-laki (penis) dan alat kelamin perempuan (vagina).

Makanya, tak heran bila ada anekdot  mengenai  cara si Si Fulan  mengisi formulir ketika dia hendak  mengurus paspor untuk  pergi ke luar negeri pertama kalinya. Di formulir itu terdapat kolom isian  tentang ‘sex’ (jenis kelamin), yang semestinya diisi dengan kata ‘male’ atau ‘female’. Namun Fulan menjawabnya dengan rangkaian kata ‘three times in a week’;  karena ia salah persepsi mengartikan pertanyaan tersebut  dengan ‘berapa kali Anda biasa melakukan hubungan suami istri?’

Fenomena masyarakat yang naïf, lucu, dan lugu  dalam memahami seksualitas ini muncul karena perbincangan mengenai hal tersebut selama ini dipandang sebagai hal tabu. Namun, ironisnya, akibat minimnya informasi yang benar dan tepat mengenai hal ini justru menghadirkan banyaknya mitos-mitos seputar seksualitas yang berkembang di masyarakat. Melakukan hubungan seksual hanya sekali tidak akan menyebabkan kehamilan, melompat-lompat dapat menghentikan kehamilan, makan nanas muda dapat mengakibatkan keguguran, mengkhayalkan hubungan sejenis akan membuat orientasi seksual berubah, banyak melakukan masturbasi akan mengakibatkan ‘dengkul kopong’, perawan atau tidaknya seorang perempuan dapat dilihat dari bentuk pinggulnya, dan sebagainya. Kenapa mitos-mitos ini hadir dan berkembang? Apa sebenarnya seluk beluk isu ‘seksualitas’ ini?

Memahami Pengertian di Seputar Seksualitas

Istilah seksualitas sering disederhanakan pengertiannya hanya untuk hal-hal yang mengacu pada aktivitas biologis yang berhubungan dengan organ kelamin baik laki-laki maupun perempuan. Padahal, lebih dari sekedar soal hasrat tubuh biologis, seksualitas adalah sebuah eksistensi manusia yang mengandung di dalamnya aspek emosi, cinta, aktualisasi, ekspresi, perspektif dan orientasi atas tubuh yang lain. Dalam konteks ini seksualitas merupakan ruang kebudayaan manusia untuk mengekspresikan dirinya terhadap yang lain dengan arti yang sangat kompleks. [i]  Menurut Irwan M. Hidayana,  seksualitas sangat terkait dengan kehidupan kita sebagai manusia  yang memiliki beragam hasrat seperti kepada siapa kita memiliki rasa ketertarikan, dengan siapa kita ingin  berkeluarga, dan dari siapa kita ingin mempunyai anak.  Selain itu, seksualitas juga memiliki keterkaitan dengan identitas  mengenai bagaimana masyarakat melihat seseorang sebagai sexy woman, atau sebagai laki-laki yang ’macho’. Sehingga pengertian seksualitas ini sangatlah luas. [ii]Sementara, menurut Sri Kusyuniati perbincangan mengenai seksualitas juga semakin luas semenjak hadirnya International Conference on Population and Development (ICPD) pada Kairo tahun 1998 yang memperkenalkan pembahasan soal Hak dan Kesehatan Reproduksi . [iii] Semenjak saat itulah, perbincangan mengenai seksualitas juga senantiasa dikaitkan dengan persoalan ‘hak’, terutama hak-hak reproduksi.

Seksualitas dapat ditinjau dari berbagai dimensi. Yaitu dimensi biologis, dimensi psikologis, dimensi sosial, dan dimensi kultural atau budaya.  Seksualitas dari dimensi biologis berkaitan dengan organ reproduksi dan alat kelamin, termasuk bagaimana menjaga kesehatan dan memfungsikan secara optimal organ reproduksi dan dorongan seksual. Seksualitas dari dimensi psikologis erat kaitannya dengan bagaimana menjalankan fungsi sebagai mahluk seksual, identitas peran atau jenis.  Dari dimensi sosial dilihat pada bagaimana seksualitas muncul dalam hubungan antar manusia, bagaimana pengaruh lingkungan dalam membentuk pandangan tentang seksualitas yang akhirnya membentuk perilaku seks. Dimensi perilaku menerjemahkan seksualitas menjadi perilaku seksual, yaitu perilaku yang muncul berkaitan dengan dorongan atau hasrat seksual. Dimensi kultural menunjukkan perilaku seks menjadi bagian dari budaya yang ada di masyarakat. [iv]

Beragam pengertian yang termasuk dalam ruang lingkup seksualitas diantaranya adalah seks atau jenis kelamin yang mengacu pada ciri-ciri fisik atau biologis  sehingga seseorang disebut ‘laki-laki’ atau ‘perempuan’. Namun, belakangan juga terdapat katagori ketiga yang disebut dengan ‘interseks; yaitu (seseorang memiliki karakteristik jenis kelamin laki-laki dan perempuan). [v]  Sedangkan ‘orientasi seksual’ adalah rasa ketertarikan secara emosi dan seksual pada orang lain berdasarkan jenis kelamin tertentu. [vi]  Secara umum, ada tiga  kategori   terkait dengan ‘orientasi seksual’. Yakni : pertama, ‘hetero seksual’  atau perasaan ketertarikan terhadap lawan jenis. Lalu kedua, ‘homoseksual’ atau ketertarikan terhadap sesama jenis, baik  laki-laki kepada laki-laki maupun perempuan kepada perempuan. Dan ketiga ada ‘biseksual’, yaitu ketertarikan kepada keduanya,  kepada perempuan dan juga laki-laki. [vii]  Dalam konteks pandangan dominan masyarakat yang heteroseksual, ketertarikan seksual harus diarahkan kepada lawan jenis. Oleh karena itu, orang harus menampilkan secara jelas identitas gendernya. Sehingga, dalam banyak ajaran di masyarakat didengungkan bahwa laki-laki harus macho, gagah, kuat dan sebagainya untuk mengukuhkan identitasnya sebagai laki-laki. Perempuan harus lemah lembut dan feminin, sehingga mereka dilarang menyerupai laki-laki. Secara ekstrem, bahkan ada yang beranggapan bahwa memakai celana panjang untuk perempuan itu pun harus dilarang untuk menghindarkan dirinya ’bertingkah laku seperti laki-laki’. Dewan Fatwa Malaysia bahkan pernah mengeluarkan fatwa agar perempuan tidak mengenakan pakaian yang biasa dikenakan oleh kaum laki-laki dan berpenampilan tomboy, dengan alasan untuk menghindari praktik homoseksual dan lesbian. [viii] Bahkan belakangan, Pengadilan Tinggi Malaysia menolak gugatan warganya atas undang-undang Islam Malaysia yang menyatakan bahwa seorang pria dilarang mengenakan busana perempuan. [ix]

Selain pengertian di atas, ada pula yang disebut dengan ‘perilaku seksual’, yaitu tindakan yang dilakukan dalam rangka memenuhi dorongan seksual untuk mendapatkan kepuasan seksual. [x] Menurut Sarlito Wirawan Sarwono, bentuk-bentuk perilaku ini bermacam-macam, mulai dari perasaan tertarik, berkencan, bercumbu  hingga bersenggama. Siapa yang menjadi obyek seksual? Bisa orang (baik sejenis maupun lawan jenis), orang dalam khayalan, atau diri sendiri. Sebagaimana pemaparan Irwan Hidayana, ekspresi dari perilaku seksual ini juga sangat terkait dengan situasi sosial budaya yang ada di masyarakat.

Dalam kultur yang patriarkis, nilai-nilai seksualitas pada laki-laki dan perempuan sangat berbeda. Seksualitas laki-laki dianggap aktif sedangkan perempuan adalah pasif. Oleh karenanya, masyarakat cenderung permisif terhadap perilaku seksual laki-laki, sehingga seringkali menganggap wajar bila laki-laki memiliki kecenderungan berganti-ganti pasangan, perilaku ‘jajan’ atau membeli seks pada penjaja seks komersial, maupun ‘poligami’ sebagai jalan untuk menyalurkan hasrat seksualnya kepada lebih dari satu istri secara ‘sah’. Sementara,  perempuan dipandang sebagai pihak yang harus ‘pasif’ secara seksual, namun mereka seringkali juga dianggap sebagai ‘makhluk penggoda’ kaum laki-laki yang diwariskan semenjak Hawa menggoda Adam dan mengakibatkan kejatuhan keduanya dari surga. Oleh karenanya, dalam beragam teks keagamaan baik di bibel maupun hadis yang dipandang dha’ief,  perempuan sering diibaratkan sebagai tulang rusuk yang bengkok, yang tidak mungkin diluruskan karena justru akan membuatnya patah. Untuk itu beragam cara harus dilakukan untuk melakukan ‘kontrol’ atas seksualitas perempuan ini. Mulai dari melakukan praktik ‘khitan perempuan’ dengan memotong sebagian kecil dari klitorisnya sehingga tidak bisa mendapatkan kenikmatan seksual  mengingat ada anggapan bahwa klitoris merupakan sumber kenikmatan seksual dimana perempuan tidak layak memilikinya, melarang perempuan keluar malam, mengisolir perempuan  untuk tidak bepergian ke luar rumah  dan kalaupun  ia hendak keluar rumah harus ditemani oleh ‘mahram’ atau anggota keluarga terdekat sebagai pelindungnya.

Anggapan-anggapan ini yang membuat perempuan selalu dikorbankan. Mereka dianggap layak diperkosa, paling tidak mengalami ‘pelecehan seksual’ karena keperem-puanannya. Perempuan yang gagal mempertahankan kehormatannya, akan dianggap menjadi aib bagi keluarga. Sehingga, di Pakistan hingga kini masih banyak dijumpai perempuan yang mengalami ‘honor killing’ (pembunuhan atas alasan membela kehormatan), meskipun dia adalah korban incest yang dilakukan oleh paman atau saudara laki-lakinya.

Baca Juga:

Fokus 2: Seksualitas di Ranah Budaya

Fokus 3: Refleksi tentang Seksualitas Perempuan di Ruang Publik

Fokus 4: Seksualitas dalam Perbincangan Khazanah Islam

Catatan Belakang

[i]       Husein Muhammad,  dalam tulisannya Islam, Seksualitas dan Budaya Indonesia, di rubrik Tafsir Alquran, majalah Swara Rahima edisi 40.

[ii]      Berdasarkan wawancara dengan Irwan M.Hidayana, di rubrik Opini, majalah Swara Rahima edisi 40.

[iii]      Berdasarkan wawancara dengan Sri Kusyuniati, di rubric Opini, majalah Swara Rahima edisi 40.

[iv]       Lihat artikel berjudul Seks, Seksualitas, Kesehatan Seksual, dalam situs htttp://www.kesrepro.info/ ?q=node/382

[v]      Lihat Modul Pelatihan Intervensi Perubahan Perilaku untuk Pencegahan Penularan IMS dan HIV Melalui Hubungan Seksual, Paket 1 Modul B3 Pelatihan Intervensi Perilaku, entang Seks, Seksualitas, dan Jender, Kementerian Kesehatan Republik Indonesia bersama Komisi Penanggulangan AIDS (KPA), USAID, Aksi Stop AIDS (ASA), Family Health Internasional (FHI) dan UNDP,  Jakarta 2009.

[vi]       Lihat kembali Modul Pelatihan Intervensi Perubahan Perilaku untuk Pencegahan Penularan IMS dan HIV Melalui Hubungan Seksual, 2009

[vii]       Lihat kembali wawancara dengan Irwan M. Hidayana

[viii]    Lihat www.jongjava.com,  Indonesia Online Magazine dalam artikel  Cewek Tomboy Diharamkan, diposting  Rabu, 29 Oktober 2008 12:04 dan diakses Selasa, 09 Oktober 2012.                   

[ix]    Lihat dalam tulisan Aulia Akbar, Waria Malaysia Tak Boleh Pakai Pakaian Perempuan, Kamis, 11 Oktober 2012, sebagaimana dikutip dari situs http://international.okezone.com/read/2012/10/11/411/702529/waria-malaysia-tak-boleh-pakai-pakaian-perempuan

[x]       Lihat kembali Modul Pelatihan Intervensi Perubahan Perilaku untuk Pencegahan Penularan IMS dan HIV Melalui Hubungan Seksual, 2009

Similar Posts:

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here