Judul Buku: Kontroversi Hakim Perempuan Pada Peradilan Agama
di Negara-negara Muslim
Penulis: Dr. Hj. Djazimah Muqoddas, S.H., M.Hum.
Penerbit: LKiS
Tahun Terbit: Cetakan I, Maret 2011
Halaman: xxix + 297
Islam merupakan agama yang menjunjung tinggi nilai-nilai kesetaraan antara laki-laki dan perempuan. Namun dalam realitas, perannya di ruang publik selalu menimbulkan kontroversi antara yang menentang dan yang membolehkan. Termasuk di antaranya, isu tentang ‘hakim perempuan’. Mengapa laki-laki diperbolehkan menjadi hakim sedangkan status hukum hakim perempuan masih diperdebatkan? Benarkah Islam melarang perempuan untuk menjadi hakim?
Pertanyaan ini hendak dijawab oleh Djazimah Muqoddas dalam bukunya, Kontroversi Hakim Perempuan Pada Peradilan Islam di Negara-negara Muslim. Menurutnya, isu seputar hakim perempuan sebenarnya telah lama menjadi perhatian serius para fuqaha. Hukum yang muncul pun berbeda-beda terkait masalah ini tergantung cara pandang masing-masing dalam melihat relasi antara laki-laki dan perempuan. Para fuqaha terbagi ke dalam tiga kelompok dalam melihat kedudukan hakim perempuan dari sudut pandang Islam. Pertama, mereka yang menilai laki-laki mempunyai kedudukan lebih mulia dibanding perempuan berpendapat bahwa perempuan tidak diperbolehkan menjadi hakim untuk segala perkara baik perdata maupun pidana. Kedua, mereka yang memandang perempuan mempunyai kedudukan yang setara dengan laki-laki mengatakan bahwa perempuan boleh menjadi hakim untuk semua perkara baik perdata maupun pidana. Sedangkan ketiga adalah mereka yang membolehkan perempuan menjadi hakim hanya untuk perkara perdata saja bukan dalam perkara pidana.
Kelompok pertama diwakili oleh kalangan ulama seperti Imam Syafi’i, Maliki, dan Hambali. Mereka mendasarkan argumennya pada surat an-Nisa ayat 34 dan 59 yang mengatakan bahwa laki-laki adalah pemimpin bagi perempuan, serta hadits Nabi yang berbunyi “Tidaklah beruntung suatu kaum yang menyerahkan urusan mereka kepada perempuan.” Selain itu mereka juga menganalogikan dengan larangan perempuan menjadi imam Shalat. Kelompok kedua (moderat) ini diwakili oleh tokoh-tokoh kontemporer macam Muhammad Abduh, Nasr Hamid Abu Zaid dan M. Quraish Shihab. Dengan mendasarkan atas dalil yang sama namun dengan cara pandang yang berbeda yakni lebih tematik dan kontekstual dalam menafsirkan teks keagamaan serta mempertimbangkan perubahan kondisi sosial politik dan budaya, mereka membolehkan perempuan menjadi hakim untuk semua perkara. Sedangkan keompok ketiga menganalogikan dengan dalil bahwa perempuan bisa menjadi saksi dalam perkara selain pidana. Yang berada dalam golongan ini adalah Imam Hanafi, Zamakhsari dan Asy-Syaukani.
Namun Djazimah menegaskan bahwa asumsi kalangan ulama yang menyatakan bahwa laki-laki sederajat lebih unggul daripada perempuan perlu dikaji ulang dan ditelaah lebih lanjut untuk meluruskan bagaimana kedudukan perempuan sebagai hakim di pengadilan dalam peta kosmologi Islam. Ia menambahkan bahwa yang paling krusial adalah perlunya melakukan reinterpretasi terhadap posisi dan citra perempuan dalam fiqh Islam. Dengan kata lain, rumusan fiqh yang lebih adil gender mestinya menjadi agenda yang merupakan bagian dari usaha menjadikan Islam sebagai rahmat li al-‘alamin (Djazimah Muqoddas: 85). Hal ini sangat penting mengingat pada kenyataannya masih banyak negara-negara yang mayoritas penduduknya Muslim masih membatasi peran perempuan di ranah publik. Contohnya, di Malaysia dan Sudan, meskipun secara normatif kesetaraan antara laki-laki dan perempuan telah dijamin namun kenyataannya perempuan hanya boleh menjadi hakim untuk perkara perdata dan hukum keluarga. Di antaranya sebabnya adalah hambatan budaya dan penafsiran agama yang bias. Sementara, di Indonesia dan Pakistan perempuan sudah diakui perannya untuk menjadi hakim, bahkan pernah mencapai kedudukan tertinggi sebagai kepala negara.
Teori Perubahan Hukum dan Perubahan Sosial
Manusia merupakan pribadi dengan identitas diri yang sangat kompleks. Ia adalah makhluk sosial yang mesti hidup bermasyarakat dan terikat dengan norma masyarakat; namun ia juga makhluk beragama yang terikat dengan hukum-hukum agama. Harus antara norma masyarakat dan hukum agama saling dibenturkan? Selain itu, kehidupan sosial itu dinamis dan akan selalu mengalami perubahan sesuai dengan tuntutan zaman. Hukum Islam tidak dimaksudkan untuk mengubah kondisi sosial yang ada, sebaliknya ia diterapkan sejalan dengannya. Oleh karenanya, dalam Islam dikenal sebuah kaidah yang sangat populer yang berbunyi: berubahnya suatu hukum hendaknya disesuaikan dengan situasi, kondisi, waktu, dan tempatnya.
Dengan menerapkan kaidah hukum Islam tersebut, Djazimah mencoba melihat status hukum hakim perempuan secara lebih jernih. Ia sependapat dengan teori perubahan hukum yang dikemukakan oleh Ibnu Qayyim al-Jauziyyah yang menjustifikasi kedudukan hukum perempuan menjadi hakim di pengadilan. Ibnu Qayyim mengatakan bahwa ajaran Islam menggaransi persamaan derajat antara laki-laki dan perempuan. Laki-laki dan perempuan mempunyai peran yang sama di ranah publik. Dengan demikian tak ada alasan untuk melarang perempuan menjadi hakim baik untuk urusan perdata maupun pidana. Kaidah di atas sudah cukup untuk dijadikan pegangan hukum bahwa terdapat hubungan yang positif antara hukum Islam dan kondisi masyarakat. Perubahan masyarakat akan berpengaruh terhadap perubahan hukum. Islam mengakui bahwa apa yang diciptakan oleh manusia sebagai kebaikan. Sehingga ketika kondisi kaum perempuan sudah berubah karena banyak yang berpendidikan tinggi dan banyak yang belajar hukum, tak ada alasan untuk menolak keabsahan hakim perempuan baik dilihat dari sudut pandang hukum Islam maupun hukum negara.
Di Indonesia sendiri teori perubahan hukum dan perubahan sosial tersebut sudah diaplikasikan karena jika kita lihat pada masa sebelum kemerdekaan, perempuan belum mendapat kesempatan untuk menjadi hakim di Peradilan Agama. Baru kemudian setelah dikeluarkannya UU Peradilan Agama No. 7 Tahun 1989, perempuan mempunyai landasan hukum yang jelas dan mempunyai kesempatan yang sama dengan laki-laki untuk menjadi hakim di Peradilan Agama. Meskipun demikian penulis melihat bahwa kesempatan itu belum dimanfaatkan secara maksimal. Karena secara kuantitas maupun kualitas hakim perempuan masih ketinggalan jauh dibandingkan hakim laki-laki. Hal ini karena belum ada pembinaan yang serius terhadap calon-calon hakim perempuan.
Hasil penelitian dan studi Djazimah terkait kedudukan hukum hakim perempuan dengan pendekatan keadilan gender menemukan bahwa tak ada satu dalil naqli satu pun yang melarang perempuan untuk menjadi hakim. Artinya bahwa perempuan dan laki-laki mempunyai kesempatan dan dasar hukum yang sama baik dilihat dari hukum negara maupun agama untuk menjadi hakim di semua perkara selama bisa menegakkan keadilan dan kebenaran. Ditambahkannya lagi, fakta di lapangan menunjukkan bahwa ternyata eksistensi hakim perempuan di pengadilan diterima secara positif oleh masyarakat luas. Berbagai temuan itu membuat buku ini mempunyai bobot tersendiri dan bisa dijadikan pegangan oleh kalangan akademisi maupun praktisi bidang hukum. Uraiannya yang kaya dan penjelasannya yang kronologis terkait isu tersebut menjadikan buku ini semakin menarik untuk dibaca. Jadi selamat membaca. {} Faiq