Dalam banyak ayat dan hadis dijelaskan tentang pentingnya ilmu. Betapa pentingnya sehingga bisa dinyatakan bahwa ilmu sebagai pilar pencerahan peradaban. Tanpa ilmu peradaban akan redup, gelap, dan kemudian musnah. Karenanya membangun dan memelihara peradaban adalah dengan membangun tradisi ilmu yang bukan saja oleh dan untuk laki-laki, namun juga oleh dan untuk perempuan. Data-data belakangan menyebutkan bahwa kaum perempuan lebih kuat hafalannya atas suatu ilmu atau peristiwa. Dalam lembaga pendidikan, banyak siswa atau mahasiswa berjenis kelamin perempuan yang banyak memperoleh penghargaan sebagai pelajar atau lulusan berprestasi.

Pada masa awal Islam, peran ulama perempuan sangatlah tampak, seperti Aisyah binti Abi Bakar, Ummu Salamah binti Abi Umayyah, Hafshah binti ‘Umar, dan Asma’ binti Abi Bakar, Ramlah binti Abi Sufyan, dan Ramlah binti Qais. Mereka adalah sahabiyat Nabi dan sebagian lagi istri Nabi yang menjadi rujukan dan guru bagi para sahabat laki-laki dan juga perempuan. Menurut al-Dzahabi, lebih dari 160 ulama laki-laki terkemuka berguru kepada Aisyah istri Nabi yang mahir dalam tafsir, hadis, dan juga fikih. (Husein Muhammad, Ulama Perempuan, dalam Swara Rahima, No. 23, Desember 2007, h. 19).

Dalam kajian tasawuf, Abu ‘Abdirrahman al-Sulami (W. 412 H), mengungkap banyak sekali ulama sufi dan ahli ibadah. Menariknya, 104 di antaranya berjenis kelamin laki-laki dan 83 lainnya berjenis kelamin perempuan, salah satunya adalah Rabi’ah al-‘Adawiyyah yang dikenal dengan konsep Mahabbah (Cinta kepada Allah). (Lihat Abu ‘Abdirrahman al-Sulami, Tabaqat al-Sufiyyah wa Dzikru al-Niswah al-Muta’abidat al-Sufiyyat, h. 387).

Ironisnya, dalam perkembangan selanjutnya, jumlah ulama perempuan semakin hilang dalam pentas sejarah. Sebagai ilustrasi perbandingan jumlah ini, Prof. Mani’ ‘Abdul Halim Mahmud menulis dalam buku Manhajul-mufassirin yang mengetengahkan kajian metodologi yang digunakan oleh 52 ahli tafsir. Sayangnya, dari 52 ahli tafsir yang diungkap dalam buku tersebut, tidak dijumpai satupun ahli tafsir (ulama tafsir) yang berjenis kelamin perempuan. (Mani’ Abdul Halim Mahmud, Manhajul-mufassirin, 2006).

Pemandangan yang sama terjadi dalam bidang kajian fikih (hukum) dan hadis Nabi yang hampir semuanya diisi oleh ulama laki-laki. Para imam (pendiri dan pemimpin) madzhab (metode berpikir dan menetapkan) dalam hukum Islam adalah ulama laki-laki, yaitu Imam Malik, Imam Abu Hanifah, Imam Syafii, dan Imam Ahmad bin Hanbal (keempatnya di kalangan muslim Sunni), serta Imam Ja’far (di kalangan muslim Syi’i). Semuanya berjenis laki-laki. Tentu hal demikian berpengaruh bagi pemahaman keagamaan umat dalam merumuskan konsep-konsep ajaran tentang relasi laki-laki dan perempuan. Yang pada gilirannya mempengaruhi pola pikir dan tradisi dalam suatu peradaban.

Karenanya, usaha yang gigih dan sistematik mengkader ulama (khususnya, perempuan) merupakan jihad besar yang patut mendapatkan dukungan semua kalangan, terlebih mereka yang mencita-citakan bangkitnya peradaban tercerahkan. Dengan semakin banyak jumlah dan semakin baik kualitas mereka, diharapkan tradisi ilmu semakin kukuh yang pada taahapnya akan memberi peran besar bagi lahirnya peradaban yang adil dan beradab.

Kesimpulan

Dengan demikian, sebuah peradaban yang maju dan mulia harus dibangun di atas fondasi tradisi ilmu yang kukuh. Tradisi ilmu yang kuat dimulai dengan memberikan akses dan materi yang sama dan sepadan kepada perempuan dan laki-laki untuk mengembangkan ilmu pengetahuan. Dari ilmu yang berakar pada iman, akan melahirkan amal saleh (karya prestasi) yang pada gilirannya akan melahirkan peradaban yang luhur (hayatan thayyibah). Di sinilah integrasi ilmu, iman, dan amal saleh. Wallahus-musta’an.[na]

Baca Juga:

Dirasah Hadis 1: Pendidikan Perempuan untuk Pencerahan Peradaban: Menggali Spirit Hadis Nabi

Dirasah Hadis 2: Membaca “Rajulun” dalam Teks Hadis

 

 

Daftar Pustaka

Alquran al-Karim.

Abdulkodir, Faqihuddin, Bergerak Membela Keadilan, Pembelaan Nabi terhadap Perempuan, Jakarta: Rahima 2006.

Bukhari, Jami’ al-Sahih, Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 2003.

Ibn Majah, Sunan Ibn Majah, Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 2003

Mahmud, Mani’ Abdul Halim, Manhaj al-Mufassirin (terj. dengan judul Metodologi Tafsir: Kajian Komprehensif Metode Para Ahli Tafsir, Jakarta: Rajagrafindo, 2006.

Muhammad, Husein, Ulama Perempuan, dalam Swara Rahima No. 23, Desember 2007, Jakarta: Rahima.

Sulami, Abu ‘Abdirrahman al-, Tabaqat al-Sufiyyah wa Dzikru al-Niswah al-Muta’abidat al-Sufiyyat, Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 2003.

Dan beberapa sumber lainnya.

Similar Posts:

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here