Oleh : Nurhayati Aida
“Kamu bukan siapa-siapa jadi ora usah neko-neko (macem-macem), wis bisa sekolah saja sudah beruntung”
Pesan di atas sangat membekas di hati Miji Sedawi dan adiknya Ngaweruh Ilmu, tiap kali Sedawi atau adiknya akan kembali ke pesantren atau kampus – ibunya selalu menyelipkan pesan itu. Pesan yang sederhana, sesederhana cinta beliau pada anak-anaknya – tapi sungguh pesan itu mampu membuat Sedawi untuk beberapa minggu menyelami apa yang diinginkan oleh ibunya. Lalu pesan itu ditulisnya pada sebuah buku, iseng temannya bertanya tentang apa makna dari tulisan sederhana itu dan dari siapa.
*******
Sepulang dari sekolah Sedawi bergegas menuju kamar, bergegas menuliskan hal yang dituturkan oleh guru sosiologi dan menyandingkannya dengan pesan ibunya. Demikianlah Sedawi faham alasan-alasan mengapa pesan itu selalu diselipkan padanya dan adiknya, yang pertama adalah kenyataan bahwa ibunya tidak mendapatkan keistimewaan seperti halnya anak-anak yang lain untuk mencicipi ilmu pengetahuan di bangku sekolah pada masa kecilnya. Alasan pertama ini akhirnya melahirkan alasan kedua bagi ibunya yang sangat sadar dengan tidak berpendidikan mempunyai runtutan dampak yang tidak bisa dielak, bagaimana ibu dan ayahnya harus bekerja ekstra keras untuk menghidupi keluarga karena hanya pekerjaan kasar saja yang mereka bisa lakukan. Konsekuensi dari pekerjaan kasar itu adalah upah yang minim meski bekerja dengan tenaga dan waktu yang sama dengan orang-orang berpendidikan. Itu akhirnya menjelma menjadi kondisi ekonomi keluarga. Ketiga soal nasab, dari siapa kita akan terlahir, dari strata sosial apa orang tua kita – ini tentang eksistensi sosial.
Ibu Sedawi secara sederhana membahasakan pelapisan sosial, tidak rumit. Iibu Sedawi belajar secara langsung tentang sosiologi pada laboratorium terbesar yang pernah ada, alam raya. Ibu Sedawi juga tidak membagi masyarakat secara teoritis seperti sosiolog-sosiolog lainnya seperti Ralph Linton, Aristoteles, Adam Smith, Thostein Veblen ataupun Franklin D. Roosevelt.
Pesan ibu Sedawi bukan tanpa alasan, ada banyak hal yang melatari mengapa pesan ini selalu dititipkan pada anak-anaknya ketika hendak berangkat sekolah. Ibu Sedawi percaya bahwa pendidikan adalah salah satu pemutus jalan bernama kebodohan. Jalan yang selama lebih dari separuh abad itu dilaluinya, jalan yang mengantarkannya pada prinsip bahwa anak-anaknya harus sekolah setinggi-tingginya meski dirinya harus bekerja lebih keras.
Bisa dibayangkan jika 3 hal diatas dijadikan satu, terlahir dari orangtua yang secara ekonomi kurang, tidak pula berpendidikan dan secara sosial lemah. Dalam bahasa sosiologi, orang dengan kepemilikan 3 hal tersebut disebut kelas sosial lapisan sosial bawah-lapisan bawah ( Lower-lower class). Menyadari hal tersebut akan menimpa anak-anaknya karena 3 hal dimilikinya, ibunya mati-matian mendorong putra dan putrinya untuk bersekolah.
Tapi ada hal keempat yang tak lupa ibu bisikkan pada Sedawi dan juga saudaranya, ini soal nasib bukan nasab. Bahwa ketiga hal tersebut bisa diruntuhkan dengan pendidikan, pendidikan yang berakar dari hati dan kesungguhan untuk mengamalkannya. Baik laki-laki ataupun perempuan haruslah berpendidikan. Sedawi tidak tahu, apakah ibunya mengutip terjemahan ayat alquran atau tidak saat mengucapkan hal ini “Gusti Pengeran bakal mulyakke sopo wae sing iman lan duwe ilmu karena setahu Sedawi, ibunya buta huruf, tak bisa membaca. Sedawi faham itu adalah terjemahan dari surat Al-Mujaadilah ayat 11 yang artinya “Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman diantaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat”.
Sedawi mencoba mengingat-ingat penjelasan guru sosiologinya tentang pelapisan sosial yang dapat mengakibatkan atau memengaruhi tindakan-tindakan warga masyarakat dalam interaksi sosialnya. Pola tindakan individu-individu masyarakat sebagai konsekuensi dari adanya perbedaan status dan peran sosial akan muncul dengan sendirinya. Pelapisan masyarakat memengaruhi munculnya Life Chesser dan life style tertentu dalam masyarakat, yaitu kemundahan hidup dan gaya hidup tersendiri. Ia lalu membayangkan ibunya yang sedang berdiskusi dengan Pitirim A. Sorokin, Max Weber atau Cuber tentang teori-teori sosial, Menbincang hangat tentang kemanusiaan – bagaimana rumusan tentang kesetaraan manusia.
******
Dan Sedawipun menemukan jawaban dari pertanyaan temannya, tentang apa makna yang terselip di balik pesan sederhana itu – yakni tentang pendidikan yang akan merubah bagaimana cara berfikir dan akan mempengaruhi segala apa yang ada dalam lingkaran kehidupan.