Education For All, pendidikan untuk semua adalah slogan yang selayaknya mengawal kita untuk bisa terus peduli akan isu pendidikan karena hak pendidikan adalah hak semua orang tanpa memandang kelas, ras dan jenis kelamin. Jika demikian maka seharusnya setelah pendidikan bisa didapatkan maka kita bisa melakukan perubahan. Namun sayangnya, sampai saat ini, pendidikan nyatanya masih belum bisa didapatkan oleh semua pun belum ada perubahan yang signifikan dalam konteks keadilan dan kesetaraan. Karena masalah pendidikan terutama bagi perempuan seharusnya tidak hanya sebatas memberikan akses pendidikan namun juga membongkar stereotype terhadap perempuan yang masih ada dalam dunia pendidikan.
Perubahan akan terjadi jika semua elemen dapat berpartisipasi dan menyadari bahwa perlu adanya tindakan yang harus dilakukan. Salah satu ‘alat’ penyadarannya tak lain adalah dengan pendidikan. Dalam al-qur’an disebutkan bahwa orang yang berpendidikan berbeda dengan orang yang tidak berpendidikan (QS. Azzumar : 9). Pada ayat yang lain juga disebutkan bahwa Allah akan mengangkat derajat orang yang berilmu (berpendidikan) [Al Mujadalah; 11]. Sama halnya dengan perempuan, perempuan yang mengenyam pendidikan jelas berbeda dengan perempuan yang tidak mendapatkan pendidikan, pun mereka akan lebih baik dari yang tidak berpendidikan. Senyatanya pendidikan telah menguubah status dan kondisi sebagian perempuan dari pihak yang termarjinalkan menjadi politisi, birokrat, pengusaha hingga praktisi pendidikan. Dengan posisi-posisi tersebut mereka bisa terus membawa perubahan, salah satunya adalah dengan adanya affirmative action sebagai salah cara untuk mengangkat kaum marginal, terutama masyarakat miskin, perempuan dan juga kelompok-kelompok minoritas sehingga kepentingan mereka bisa diatur pula dalam undang-undang. Dalam tulisan ini, pendidikan perempuan akan dibahas secara kronologis diawali dengan sebuah pertanyaan mendasar mengapa pendidikan perempuan masih harus didiskusikan, lalu pemaparan tentang situasi pendidikan di Indonesia, sejarah pendidikan perempuan di Islam dan ditutup dengan tantangan pendidikan perempuan di Indonesia.
Dalam sisi sejarah Islam, tulisan ini paling tidak dapat menyegarkan kembali ingatan kita bahwa sesungguhnya Islam tidak pernah meninggalkan perempuan karena baik laki-laki maupun perempuan memiliki hak dan kesempatan yang sama untuk mendapatkan pendidikan. Bahkan justru karena para perempuan yang berpendidikan itulah penyebaran ilmu agama islam terus terpelihara dan meluas[i]. Dalam sisi sejarah ke-Indonesiaan, tidak sedikit perempuan Indonesia di zaman penjajahan Belanda dan awal kemerdekaan yang berperan dalam memperjuangkan hak pendidikan perempuan yang dengannya kini pendidikan bagi perempuan menjadi tidak ‘semahal’ dan sesulit seperti dulu. Namun, tentu saja, segala sesuatu berjalan tidak semudah yang diharapkan. Dari perjuangan yang begitu gigih dan upaya kuat nyatanya masih banyak tantangan yang dihadapi perempuan untuk mendapatkan pendidikan, pun untuk mendapatkan keadilan.
Mengapa Pendidikan perempuan
Banyak alasan mengapa perempuan harus berpendidikan. Di negara maju, perempuan sudah memiliki hak yang sama untuk mendapatkan hak pendidikannya, pun masyarakat sudah memiliki pandangan yang sangat terbuka bahwa pendidikan perempuan adalah kebutuhan. Kebanyakan negara maju memang mendorong perempuan berpendidikan atas dasar faktor ekonomi yaitu salah satunya agar mereka dapat menambah income devisa negara kelak jika sudah masuk dunia kerja. Meski demikian, di Jepang atau Australia, keluarga dengan hanya satu pasangan saja yang bekerja (istri sebagai ibu rumah tangga) justru disubsidi oleh negara (yang sering disebut family tax benefit). Sedang bagi para perempuan yang memilih bekerja di luar rumah, sistem child-care dengan subsidi dari pemerintah dirasa sangat meringankan beban perempuan bekerja sekaligus menepis anggapan bahwa mendidik anak semata adalah tugas ibu semata, tapi juga menjadi tanggung jawab pemerintah juga.
Hal seperti dijelaskan di atas terjadi karena pemerintah sadar betul bahwa pendidikan itu tanggungjawab bersama dan bukan hanya untuk tujuan ekonomi semata namun lebih luas lagi untuk memperbaiki kualitas bangsa. Masih ingatkah kita dengan pepatah yang mengatakan bahwa “kokohnya sebuah bangsa berada di tangan perempuan, jika kokoh dan kuat perempuan maka kokoh dan kuat pula negara tersebut”.
Selain itu masyarakat dan negara sadar betul bahwa perempuan, apapun pilihannya atau tujuannya, kelak tetap memiliki hak yang sama untuk memperoleh pendidikan. Dengan memberikan subsidi dan dukungan fasilitas seperti child-care center berarti negara menjamin keluarga untuk tidak perlu selektif atau memilih-memilih menyekolahkan anak-anaknya atas dasar alasan apapun. Toh, semua anak baik laki-laki maupun perempuan sama-sama mendapatkan jaminan yang sama dari pemerintah untuk mendapatkan pendidikan di sekolah.
Untuk konteks Indonesia, bicara mengenai pendidikan menjadi lebih kompleks. Pendidikan di tanah air ini masih menjadi hal yang ‘mewah’. Di kalangan kelas menengah ke bawah, banyak keluarga yang menjadi selektif untuk menyekolahkan anaknya. Keadaan ini terjadi salah satunya karena faktor ekonomi dan pandangan stereotype tentang perempuan. “Buat apa sekolah susah-susah kalau cuma di rumah mengurus anak?!” Pandangan seperti inilah yang akhirnya membuat masyarakat semakin melanggengkan stereotype dan terus menerus meminggirkan perempuan yang membuat mereka menjadi bagian dari masyarakat yang tak berpengetahuan. Sedangkan di level kelas menengah ke atas, perempuan mampu mendapatkan haknya untuk berpendidikan namun tetap saja rentan terhadap tindakan-tindakan diskriminasi karena pandangan stereotype tadi.
Padahal, mengutip para pemikir pendidikan yang membebaskan semacam Paulo Freire dan Ivan Illich yang dengan teramat geram mendekonstruksi konsep pendidikan dengan mengatakan bahwa pendidikan harusnya menjadi alat pembebasan. Artinya bahwa dengan pendidikan, dengan mendapatkan pengetahuan melalui proses pendidikan, perempuan seharusnya dapat terbebaskan dari belenggu stereotype, kemiskinan, terlepas dari kebodohan hingga paling tidak dapat membantu diri mereka sendiri untuk menjadi manusia merdeka.
Baca Juga:
Fokus 2: Pendidikan Perempuan di Indonesia
Fokus 3: Pendidikan Perempuan dalam sejarah Islam
[i] Leilla Ahmad, Women and Gender in Islam, Historical Roots of a Modern Debate. Yale University Press. London. 1992