Missiyah, perempuan kelahiran Jember, 18 Agustus 1967 ini adalah sahabat bagi ibu-ibu dan perempuan pinggiran. Bersama ‘Kapal Perempuan’, Missi, selalu berada di garda depan menyuarakan hak pendidikan perempuan dan membekali mereka dengan pengetahuan dan keterampilan agar para perempuan ini bisa survive menghadapi hidup. Kapal Perempuan adalah singkatan dari Lingkaran Pendidikan Alternatif untuk Perempuan, sebuah lembaga swadaya masyarakat yang lahir dari keprihatinan dan kegelisahan para pendirinya terhadap perkembangan komunitas-komunitas belajar perempuan di Indonesia. Mantan guru yang juga seorang aktivis perempuan ini yang mengawali kiprahnya semenjak di Solidaritas Perempuan ini hingga sekarang masih terus telaten melakukan advokasi terhadap isu pendidikan perempuan; baik bersama rekan-rekannya di Kapal Perempuan, maupun Komnas Perempuan, Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan, hingga Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Sejak lulus S1 tahun 1995 di Jember, Missi hijrah ke Jakarta sejak itulah Missi terus bergerak menyuarakan hak pendidikan perempuan dan berupaya agar Kapal Perempuan dapat menjadi pusat pembelajaran bagi perempuan. Menikah dengan Wahyu Susilo, seorang aktivis pendamping buruh migran, pasangan ini dikaruniai seorang putri bernama Chessya.
Berikut sajian hasil wawancara yang dilakukan oleh AD.Kusumaningtyas dari Swara Rahima dengan perempuan yang akrab dipanggil Mbak Missi ini.
Pendidikan menjadi ‘concern’ gerakan perempuan sejak lama. Di Indonesia, dikenal nama-nama seperti Dewi Sartika, Kartini, Rohana Kudus memulai aktivitasnya melalui bidang pendidikan. Menurut Anda, mengapa pendidikan ini dianggap penting?
Pendidikan saya definisikan bukan semata-mata sebatas pendidikan formal; akan tetapi lebih merupakan proses untuk melakukan penyadaran dan mendorong seseorang untuk berbuat sesuatu. Hal ini menjadi penting karena pendidikan menjadi dasar untuk membuka kesadaran seseorang agar dia tahu permasalahan di sekitarnya dan kemudian mampu mengidentifikasinya. Langkah utama untuk mengetahui masalah-masalah tentu saja tidak dapat dilakukan semua orang. Jika harus dilakukan maka dia harus melalui proses-proses yang mampu membuka masalahnya.
Jadi pendidikan dipandang penting untuk perempuan salah satunya adalah agar perempuan mampu mengenali masalah?
Jika seseorang sudah mampu mengidentifikasi masalah maka ia dapat mengenali dan mencari faktor-faktor penyebabnya sehingga ia mampu mencari jalan keluarnya. Pendidikan ini memang menjadi dasar agar seseorang sadar kemudian melakukan sesuatu yang akhirnya bisa merubah ketidakadilan untuk perempuan.
Semestinya, bagaimanakah pendidikan itu menurut Anda ?
Menurut saya, pendidikan adalah hak semua warga dan kita dapat hidup bertahan dengan lebih kuat lagi jika kita dibekali pengetahuan yang tak lain diperoleh melalui proses pendidikan. Makna pendidikan pun tidak semata sebagai lembaga formal tetapi justru sebagai proses pembelajaran yang membutuhkan waktu dan keberpihakan sehingga kehidupan dapat berjalan dengan adil, dan keberpihakan kepada perempuan adalah niscaya dalam sebuah masyarakat.
Berkaitan dengan ketidakadilan gender, sebenarnya kesadaran apa yang ingin Anda dan Kapal Perempuan tanamkan dalam membangun kepekaan relasi gender?
Pendidikan yang diusung oleh Kapal perempuan adalah pendidikan adil gender yang mencakup tiga aspek. Pertama mencakup kecakapan hidup yang dikombinasikan dengan pendidikan untuk kesadaran perspektifnya, kedua pendidikan yang mencoba melihat relasi kekuasaan di masyarakat yang berbasis jenis kelamin dan yang ketiga pendidikan yang mendorong kesadaran untuk kepemimpinan. Bagaimana perempuan sudah sadar tentang problem-problem baik praktis maupun srategis kemudian dia melakukan perubahan dalam dirinya dan mentransformasikannya ke sekelilingnya.
Bagaimana Anda melihat situasi pendidikan perempuan di Indonesia?
Sesungguhnya beberapa lembaga pendidikan formal sekarang ada yang sudah berupaya mengintegrasikan gender perspektif dan hak asasi perempuan. Namun sayangnya hal ini terjadi hanya pada jurusan-jurusan tertentu. Pada pendidikan secara umum tampaknya silabus maupun kurikulum belum punya perspektif gender. Misalnya pendidikan dasar pada anak-anak masih saja menganut bias gender, misalnya ibu bekerja di rumah dan bapak bekerja di Kantor. Pendidikan dasar tidak memberikan dasar keadilan gender apalagi naik ke jenjang yang lebih tinggi. Kalau sudah kuliah di Kajian Wanita, antropologi, filsafat barulah ada perspektif tersebut, meski pada umumnya bias gender dalam pendidikan masih kuat.
Ada beberapa model luar sekolah yang dikembangkan oleh pemerintah yang dilakukan oleh Diknas yang di sebut dengan pendidikan pemberdayaan perempuan yaitu pendidikan menjahit dan keterampilan masak. Tetapi orientasi pendidikan tetap ada pada stereotype untuk perempuan. Pendidikan yang dilakukan oleh NGO perempuan adalah pendidikan yang mengarah kepada terciptanya keadilan.
Bagaimana Anda melihat diskriminasi gender dalam bidang pendidikan ? Apa saja bentuk-bentuknya?
Salah satu contoh diskriminasi misalnya di dalam keterampilan sekolah seperti Futsal, dan Taekwondo. Keterampilan ini hanya diorientasikan untuk laki-laki sehingga perempuan tidak bisa mengakses semua ekstrakurikuler di sekolah karena di situ sudah terjadi pembedaan, pengalokasian yang berbeda dan ini sudah mengalami diskriminasi.
Bagaimana kecenderungan stereotyping ini dalam pemilihan jurusan maupun akses ke jenjang pendidikan lebih tinggi? Apa yang menyebabkan munculnya pandangan itu?
Laki-laki kecenderungannya pada mesin jika ia masuk ke SMK sedangkan bagi perempuan maka mereka akan masuk jurusan pembukuan, tata buku, tata boga hingga tata busana. Untuk masalah menurunnya tingkat akses perempuan di tingkat SMA pada dasarnya berada pada alasan siapa nanti yang diharapkan memenuhi nafkah keluarga. Pada tingkat SMA yang masih diutamakan adalah laki-laki karena dialah yang dianggap akan menjadi pemimpin dan pencari nafkah.
Menurut Anda perempuan kelompok mana yang paling rentan mengalami diskriminasi? Diskriminasi dalam hal apa sering ditemui?
Kelompok yang paling rentan adalah perempuan miskin dan kelompok perempuan minoritas. Jika perempuan miskin maka sudah pasti ia akan mengalami kesulitan masuk ke sekolah. Contoh mudahnya misalnya terjadi pada sekolah yang bertaraf internasional (RSBI) yang ternyata dari identifikasi yang ada tidak ada keluarga miskin yang berani daftar ke sekolah tersebut. Lalu tentang masalah minoritas misalnya masalah yang berkaitan agama dan pilihan seksualitas. Saya memang tidak punya kasus khusus tentang masalah diskriminasi yang berkaitan dengan masalah agama dan pilihan seksualitas di sekolah, namun berdasarkan penelitian CRCS (UGM) di salah satu sekolah, keberagaman di sebuah sekolah mencuat hingga sampai 10 % dan 90 % dianggap tidak toleran.
Bagaimana dengan MDG’s dimana point pertama menanggulangi kemiskinan dan kelaparan dan point ketiga mendorong kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan?
Menanggulangi kemiskinan itu pada dasarnya adalah masalah situasi kemiskinan di dunia dimana untuk konteks indonesia pendapatannya per hari hanya 2 dolar yang mengakibatkan kelaparan. Point yang ada sesungguhnya diarahkan berdasarkan komitmen MDG’s pada tahun 2015 yaitu agar tingkat pendapatan meningkat hingga tidak ada lagi kelaparan dan busung lapar.
Sebagaimana penjelasan Anda tadi, bahwa Kapal Perempuan lebih ‘concern’ pada pendidikan kaum marjinal, bagaimana cara dan upaya yang dilakukan untuk mengatasi masalah pendidikan tadi?
Upaya yang dilakukan adalah dengan mengkombinasikan atau mengkaitkan antara proses pendidikan dan pengorganisasian. Salah satu Strateginya adalah pendidikan diarahkan kepada ibu-ibu rumah tangga. Di sini ibu rumah tangga adalah sektor yang tidak banyak dilirik, karena status Quo padahal ibu rumah tangga menjadi sektor yang penting. Dalam melakukan pendidikan maupun pengorganisasian ini tidak terhenti pada proses-proses pendidikan pada komunitas tetapi mendorong komunitas dan juga mendorong kelas menengah di seputarnya menjadi kelompok yang dapat menuntut untuk juga melakukan advokasi kebijakan dan untuk melakukan pendidikan. Contohnya kalau kita mengembangkan pendidikan kelompok marginal, proses-prosesnya akan mendorong perempuan menjadi tiga hal; cakap secara life skill, punya keadilan gender dan pluralisme dan kepemimpinan. Setelah itu bagaimana dia dapat mendorong proses-proses kesadaran di komunitasnya yang merubah situasi mereka keluar dari kemiskinan, yang membelenggu mereka. Pun mendorong pemerintah di tingkat lokal dan nasional supaya merefleksi proses-proses yang mereka lakukan, misalnya Dinas Pendidikan dan Pemberdayaan Perempuan untuk bekerjasama mengembangkan Pendidikan Nasional dan merefleksikan ide-ide tadi ke departemen-departemen.
Mengawinkan pendidikan dengan pengorganisasian maupun upaya-upaya advokasi memang bukanlah hal yang mudah. Kalau digambarkan dalam strategi bisa saja berjalan mulus, tetapi di dalam kenyataan tidak semudah itu karena banyak sekali faktor budaya patriarkhi yang kuat yang selalu menjegal proses-proses pendidikan adil gender. Juga ada fundamentalisme yang kuat yang menghalangi proses-proses pendidikan yang dianggap tidak sesuai dengan keyakinan yang ada.
Bagaimana program yang dilakukan oleh Kapal Perempuan terkait dengan keaksaraan fungsional (KF)?
Ada yaitu kegiatan baca tulis. Secara konsepnya program baca tulis diintegrasikan dengan gender perspektif. Yang diadopsi memang pola-pola yang dikembangkan oleh Paulo Freire bagaimana seorang menulis tidak hanya menuliskan huruf tetapi dia juga juga bisa memaknai. Dalam modul kita ini sesorang tidak diajarkan A, B, C tetapi diajarkan menulis suku kata, suku kata semuanya mengandung perspektif perempuan. Misalnya menulis kata “Ibu”. Saat menulis kata “ I-BU” mereka mendiskusikan apa sih yang dimaksud dengan “ibu” ? Apa masalah-masalah yang dialami oleh ibu. Bagaimana perasaan mereka menjadi ibu, apa cita-cita mereka menjadi ibu terhadap anak-anaknya, disitulah kami mendiskusikan problem-problem perempuan. Modul ini ada dua sisi, modul gender ini mulai dari pemetaan masalah, analisis masalah dan identifikasi. Proses membaca menulis tadi sangat di sesuaikan misalnya ada tahap identifikasi masalah dan proses analisis masalah. Misalnya yang ditulis adalah kata “BU-DA-YA”, maka yang diekplorasi adalah apa itu budaya; hingga masuk ke diskusi budaya patriakhi yang mengutamakan laki-laki.
Lalu advokasi kebijakan yang seperti apa yang dilakukan oleh Kapal? Adakah jejaring masyarakat yang mengupayakan pendidikan adil setara gender ini?.
Advokasi pendidikan itu dilakukan oleh banyak orang, salah satu contohnya An-nisa Nusa Tenggara Barat yang melakukan cara melek huruf dan diberikan makna. Dia diadvokasi oleh UNESCO. Saya kira itu adalah salah satu istilah di Kapal Perempuan untuk melakukan advokasi. Pendidikan adil gender bisa dikatakan ada efeknya. Pada waktu itu Diknas belum ada sub dit yang mengurusi tentang perempuan. Namun ketika advokasi perempuan marjinal masuk ke Diknas, serta merta Diknas mengadakan subdit perempuan yang di dalamnya mengembangkan pendidikan perempuan. Masalahnya pendidikan perempuan yang dilakukan Diknas bukan pendidikan perempuan yang membongkar perspektif, tetapi pendidikan perempuan yang melanggengkan stereotype yang tentu saja bukan visi Kapal Perempuan.
Bicara tentang advokasi Undang-undang Sisdiknas yang pernah dilakukan melalui pembuatan Naskah Akademik (NA) tandingan; menurut anda ‘content’ (isi) Undang-undang Sisdiknas yang ada saat ini seperti apa?
Ya tetap tidak berubah dari dulu yang seharusnya dilawan. Tetap saja partisipasi dilegalkan dalam sebuah undang-undang. Lalu apa yang bisa diharapkan oleh rakyat jika pendidikan yang seharusnya adalah hak dasar menjadi sebuah kewajiban harus dipenuhi tanpa ada dukungan karena pendidikan bukannya Gratis, tapi ‘Kadang-kadang gratis’ . Selain itu, keberagaman sendiri tidak menjadi esensi yang dibuka. Pada undang-undang tersebut misalnya ada sekian pemeluk agama maka dia harus diberikan pendidikkan tersendiri. Jadi tidak ada upaya bagaimana memperkenalkan keyakinan pada semua pemeluk agama.
Bagaimana melakukan perubahan di tingkat individu, keluarga dan dampaknya terhadap masyarakat?
Di tingkat individu, perubahan dilakukan untuk mengecek seberapa jauh orang itu konsisten terhadap ideologinya. Kalau kita bicara cinta lingkungan, di tingkat individu bisa dicek, apakah dia suka membuang air seenaknya atau tidak. Di tingkat individu hal ini penting dilakukan. Karena jika sudah sadar di tingkat individu maka tidak akan kesulitan untuk diterapkan kepada orang lain.
Jika seseorang sudah solid secara individu maka akan mudah menularkannya kepada yang lain terutama kepada anggota keluarganya. Di sini anggota keluarga tidak bisa dipisahkan dari individu. Dalam hal ini, proses pendidikan adalah proses perubahan dan dalam proses ini yang terdekat adalah keluarganya yang mencakup dua hal; konsistensi keluarga sendiri dan keberanian melakukan perubahan. Jika seseorang sudah berani melangkah di luar keluarganya dan sudah melakukan langkah-langkah di luar maka di situlah kepemimpinannya sebagai perempuan mulai muncul, karena dia sudah mulai berani menanggung resiko. Jika perempuan sudah dapat mempengaruhi komunitas terkecil maka semakin lama ia akan semakin membuka jalan. Mengingat semakin besar terjadi krisis kehidupan, maka seseorang bisa semakin apatis.
Upaya apa yang bisa dilakukan oleh pemerintah agar pendidikan itu bisa lebih adil terhadap laki-laki dan perempuan dan kulaitas hidup perempuan menjadi meningkat?
Pertama, mesti ada komitmen dan niat baik dari pemerintah. Menurut saya penting karena tanpa komitmen untuk tanggung jawab dan kesadaran seharusnya menjadi tanggungjawab dia. Kedua, sudah banyak sekali pendidikan yang adil gender di masyarakat. Pun sudah banyak sudah banyak metodologi yang bisa diadopsi. Hanya kadang pemerintah tidak mau diundang dan tidak mau berdialog kalau diundang meski hanya untuk mendialogkan proses-proses pendidikan yang sudah dilakukan oleh pemerintah. Padahal pemerintah bisa saja memfasilitasi proses pendidikan masyarakat sipil di komunitas dengan mengalokasikan pendanaan, memberikan fasilitas dan pengembangan inisiatif masyarakat.
Lalu harapan seperti apa yang diinginkan untuk perubahan kebijakan di bidang pendidikan?
Harusnya berdasarkan undang-undang Sisdiknas mestinya perubahan sudah dilakukan. Pertama privatisasi, tidak boleh ada lagi di undang-undang. Kedua, undang-undang itu memberi afirmative action kepada kaum marginal, terutama masyarakat miskin, perempuan dan juga kelompok-kelompok minoritas. Hal itu menjadi statemen di dalam undang-undang itu sendiri selama ini ada. {} AD.Kusumaningtyas