Sudah hampir tiga dasawarsa pemerintah Indonesia meratifikasi Konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan. Sejak ratifikasi yang dilakukan melalui UU No.7 tahun 1984 tersebut, pemerintah Indonesia wajib menyampaikan Laporannya kepada Komite CEDAW setiap 4 tahun sekali. Laporan CEDAW pemerintah ini merupakan konsekuensi dari Negara peserta (state parties) yang meratifikasi konvensi perempuan ini. Tahun 2012 ini, pemerintah akan kembali menyampaikan laporan gabungan ke-6 dan ke-7 di hadapan Komite CEDAW di New York pada Sidangnya Juli 2012 mendatang, sebagai konsekuensi dari posisinya sebagai pemegang mandat rakyat (duty bearer). Perlu diketahui, bahwa saat ini ada 188 negara yang telah meratifikasi konvensi ini; dan Indonesia menyatakan tidak ada pernyataan keberatan (reservasi) atas pasal-pasal CEDAW kecuali pada pasal 29 ayat 1 tentang cara penyelesaian setiap perselisihan antar negara peserta konvensi khususnya mengenai penafsiran atau penerapan ketentuan konvensi.
Sementara organisasi non pemerintah ataupun masyarakat sipil adalah representasi dari rakyat sebagai pihak claim holder (penuntut hak). Di Indonesia, masyarakat sipil menyusun laporan independennya dengan dikoordinir oleh sebuah jaringan organisasi non pemerintah yang tergabung di dalam CWGI. CWGI (CEDAW Working Group Indonesia) yang awalnya merupakan singkatan dari CEDAW Working Group Initiative, adalah jaringan pemantauan implementasi CEDAW. Kesepuluh organisasi pemrakarsa CWGI ini adalah Aliansi Pelangi Antar Bangsa (APAB), Kalyanamitra, Koalisi Perempuan Indonesia (KPI), LBH APIK, Mitra Perempuan, Jurnal Perempuan, Rahima, Rumpun Gema Perempuan (RGP), Solidaritas Perempuan dan Yayasan Kesehatan Perempuan (YKP). Proses-proses penyusunan laporan CEDAW dilakukan melalui upaya berkontribusi dalam penyusunan laporan; berdasarkan concern yang dimiliki oleh berbagai lembaga tersebut maupun kontributor laporan dari berbagai organisasi masyarakat sipil lainnya. Harapannya, hadirnya laporan ini dapat memberikan informasi yang komprehensif mengenai situasi hak-hak perempuan di Negara kita.
Terdapat 10 isu-isu kritis di dalam 16 fokus pembahasan pasal-pasal CEDAW dalam laporan independen ornop kali ini. Beberapa isu kembali di angkat, karena telah direspon oleh Komite CEDAW melalui concluding comments/concluding observations-nya; namun tak juga diikuti dengan perubahan kebijakan yang berarti. Beberapa kebijakan Negara dan implementasinya masih dipertanyakan dalam laporan. Di antaranya adalah masih banyaknya peraturan dan kebijakan daerah yang diskriminatif terhadap perempuan berdasarkan pandangan sempit keagamaan. Selain itu tentang praktik-praktik sunat perempuan dan adanya ‘pembiaran’ bahkan ‘dukungan negara’ terhadap tindakan yang tergolong Female Genital Mutilation (FGM) ini. Hal lainnya adalah belum adanya langkah yang serius dari pemerintah untuk melakukan amandemen atau revisi atas UU No.1974 tentang Perkawinan yang dipandang sebagai sumber pembakuan stereotip dan diskriminasi dalam keluarga. Isu kekerasan Negara terhadap perempuan dari kelompok minoritas maupun kurangnya keseriusan Negara dalam melakukan terhadap perlindungan perempuan pekerja migran juga menjadi fokus laporan.
Perlu diketahui, bahwa UU No.1 tahun 1974 tentang Perkawinan hadir satu dasawarsa sebelum CEDAW diratifikasi. Ijtihad yang muncul dari hasil tarik-menarik kepentingan politik ini mungkin relevan pada masanya, namun kini perlu ditinjau kembali dan diharmonisasikan dengan muatan pasal 16 CEDAW. Sementara hadirnya Peraturan Menteri Kesehatan No. 1636/Menkes/Per/XI/2010 yang mengatur tatacara sunat perempuan justru melegitimasi praktik yang sebenarnya tergolong dalam Female Genital Mutilation (FGM) sehingga perlu segera dicabut. AD.Kusumaningtyas