Oleh: Nur Rofiah
Alqur’an melakukan revolusi cara pandang atas perempuan dalam hal waris. Perempuan yang semula diwariskan di dalam tradisi Arab pra-Islam, kemudian berhak mendapatkan harta waris langsung separo dari laki-laki dalam konteks anak, isteri, dan saudara, bahkan seratus persen dalam konteks ibu yang anaknya meninggal dan dia punya anak. Bagian ibu sama dengan bapak yaitu 1/6 (wa liabawaihi likulli wahidin minhumas sudusu in kana lahu walad). Tidak hanya itu, perempuan juga diakui berhak untuk secara aktif memberikan warisan ketika wafat. Hal ini berarti bahwa hak milik perempuan atas harta diakui oleh Allah bahkan setelah wafat. Harta perempuan yang wafat tidak otomatis dimiliki suami atau ayahnya melainkan harus dibagikan pada orang-orang yang terhubung dengannya secara faraid. Alqur’an mengubah status perempuan dalam waris yang semula menjadi bagian yang diwariskan, kemudian bisa mewarisi, bahkan mewariskan.
Masyarakat Muslim modern terutama mereka yang bukan masyarakat Arab mempunyai sistem kekerabatan yang jauh berbeda dengan masyarakat Arab pada masa turunnya Alqur’an. Di Indonesia misalnya, pada umumnya identitas suku seseorang tidak dianggap penting. Meskipun sebagian suku masih mencantumkan identitas marga sebagai bagian dari identitas seseorang yang juga bersifat patrilinial, namun marga tidak mempunyai tanggungjawab atas keamanan dan kebutuhan logistik anggotanya. Sebagai gantinya, identitas kewarganegaraan yang tidak ditemukan di masyarakat Arab pada masa turunnya Alqur’an, kini menjadi identitas penting setiap orang.
Perbedaan ini jelas berpengaruh pada peran keluarga besar dalam kehidupan seorang perempuan. Pada masa kini, perempuan yang suaminya meninggal, pada umumnya harus menafkahi diri sendiri dan anak-anaknya tanpa bantuan keluarga suami. Dalam penelitian yang Alimat (sebuah organisasi) lakukan, hal yang sama terjadi pada perempuan yang dicerai. Mantan suami bahkan tidak menafkahi sama sekali anak hasil pernikahan pasca cerai dan keluarga yang pada umumnya membantu bukanlah keluarga suami yang menjadi wali anak tersebut seperti paman, kakek, kakek buyut,melainkan keluarga perempuan.
Perubahan sistem ini melahirkan dilema dalam pembagian waris. Contohnya adalah dua kasus berikut ini. Kasus pertama; seorang anak sulung perempuan mempunyai lima adik laki-laki. Karena orangtuanya sakit-sakitkan kemudian memutuskan untuk berhenti sekolah dan bekerja. Gajinya dia gunakan untuk merawat orangtuanya dan menyekolahkan adik-adiknya hingga lulus. Begitu kedua orangtua wafat, adilkah jika anak perempuan tersebut mendapatkan separoh dari anak laki-laki? Tentu mengurus orangtua dan adik-adik harus dilakukan dengan ikhlas tanpa pamrih. Namun, dalam kondisi di mana adik laki-laki tidak tahu diri, efektifkah jika bagian waris perempuan diserahkan pada kemauan bebas adik-adik laki-laki bahkan hanya sekedar untuk berbagi secara merata dengan kakak perempuannya?
Kasus kedua; seorang perempuan mempunyai anak enam. Semuanya perempuan dengan bungsu bayi laki-laki. Ketika suaminya wafat, isteri tentu harus membesarkan seorang diri keenam anaknya. Menurut pembagian waris secara faraid, maka bagian isteri (ibunya anak-anak) menjadi lebih kecil daripada bagian anak laki-laki (yang masih bayi itu). Alasan yang dikemukakan mengapa laki-laki mendapat waris lebih besar daripada perempuan biasanya adalah karena anak laki-laki kelak menjadi kepala rumah tangga. Dalam kasus ini, perempuan sebagai ibu jelas-jelas telah berfungsi, bukan kelak lagi, sebagai kepala keluarga meskipun tidak diakui oleh agama karena kepala keluarga harus laki-laki.
Di ujung an-Nisa/4:11 yang berisi tentang waris, ada penggalan yang menarik untuk ditelisik lebih dalam yaitu: ”Aabauukum wa abnaauukum laa tadruuna ayyuhum aqrabu lakum naf’an faridhatan min allahi inna allaha kaana ’aliman.” Penggalan ayat ini mengisyaratkan bahwa dasar pembagian waris adalah ”aqrabu lakum naf’an” yakni sejauhmana ahli waris memberikan kontribusi pada pewaris yang tentu saja bisa dikembangkan menjadi selama pewaris hidup hingga setelah wafat karena adanya pengalihan tanggung jawab. Dengan demikian, seorang ayah yang menelantarkan anaknya sejak lahir, menjadi tidak berhak sama sekali atas harta yang ditinggalkan anaknya. Sebaliknya seorang isteri yang harus menafkahi anak-anak seorang diri setelah suaminya wafat bisa dipertimbangkan untuk mendapatkan bagian yang lebih besar daripada bayi laki-laki yang jelas-jelas tergantung pada asuhannya. Bukankah dalam Islam setiap hak dan otoritas selalu paralel dengan kewajiban dan tanggungjawab? Wallahu a’lam!