Pada kasus Indonesia pergeseran peran tersebut sebenarnya telah lama muncul dalam banyak budaya lokal dan karena itu terjadi juga perubahan dalam kebijakan hukumnya. Satu hal menarik mengenai ini misalnya dikemukakan oleh Syeikh Arsyad al Banjari (w.1812), seorang ulama besar dari Banjarmasin. Beliau mengatakan dalam bukunya yang terkenal “Sabil al Muhtadin” tentang keabsahan hukum harta adat perpantangan atau “gono-gini” di Jawa. Dalam kasus ini harta waris dibagi dua terlebih dahulu antara suami dan isteri dan barulah hasil parohan itu dibagikan kepada ahli waris. Menurut Abdurrahman Wahid keputusan ini merupakan pengembangan yang radikal dari konsep semula yang ada dalam Alqur’an, yaitu bahwa seluruh harta peninggalan seseorang yang meninggal dunia dibagi antara para ahli waris. Harta gono-gini tidak pernah ada dalam sejarah Islam sebelumnya. Memasukkan adat perpantangan di dalam kitab standar fiqh (mu’tabar) adalah nyata sekali merupakan sebah hasil pemikiran kontekstual yang memperhitungkan masyarakat Banjar yang harus hidup dari kerja di atas sungai, baik berdagang maupun mengail ikan. Pekerjaan ini tidak bisa hanya dilakukan oleh seorang suami saja, tetapi harus dilakukan oleh suami dan isteri secara bersama-sama dengan jalan membagi peran atas pekerjaan itu. (Majalah Pesantren,2/vol. II/1985).
Pembagian waris ala Syeikh Arsyad al Banjari sebagaimana diinformasikan Abdurrahman Wahid di atas, merupakan keputusan yang dipandang sangat progresif dan berani, karena kebijakan hukum tersebut tidak ditemukan dasarnya secara eksplisit dalam sumber-sumber otoritatif Islam baik Alqur’an maupun hadits Nabi serta sumber-sumber referensi Islam yang lain, termasuk dalam kitab-kitab fiqh. Keputusan model ini kemudian dikenal dalam masyarakat Indonesia, khususnya di Jawa, dengan istilah harta “gono-gini”, dan di Aceh disebut “seuharkan” Boleh jadi pembagian waris seperti ini merupakan model khas masyarakat Islam Indonesia yang tidak ditemukan dalam tradisi masyarakat Arab sampai hari ini.
Realitas sosial yang berubah juga muncul dalam masalah pendidikan bagi anak-anak perempuan. Pada masa yang lalu, kesempatan belajar hanya diberikan atau diprioritaskan kepada anak laki-laki. Anak laki-laki lebih diprioritaskan untuk belajar sampai ke jenjang pedidikan yang paling tinggi, dibandingkan anak perempuan. Hal ini berarti juga bahwa kebutuhan finansial untuk anak laki-laki lebih besar daripada untuk anak perempuan. Jadi sudah sejak awal anak laki-laki mendapatkan bagian harta yang lebih besar dari anak perempuan. Ini merupakan produk dari tradisi atau konstruksi sosial yang patriarkhi. Ia bukan merupakan keputusan atau kebijakan Islam. Islam sendiri telah menegaskan, sebagaimana disabdakan Nabi Saw, bahwa menuntut ilmu (belajar) adalah kewajiban bagi laki-laki dan perempuan. Kewajiban untuk menegakkan kehidupan yang baik (amar ma’ruf nahi munkar) juga dibebankan atau diperintahkan kepada laki-laki dan perempuan. Pada saat ini ruang, waktu dan akses belajar (pendidikan) telah dibuka dan diberikan secara sama untuk anak laki-laki dan anak perempuan.
Kenyataan-kenyataan baru dari sisi pendidikan ini pada gilirannya telah melahirkan fenomena sosial yang lain. Kaum perempuan tidak lagi muncul sebagai makhluk Tuhan yang bodoh dan kurang akalnya sebagaimana kebanyakan perempuan masa lampau. Di samping itu juga telah melahirkan beragam jenis kerja termasuk jenis kerja bagi perempuan. Pekerjaan manusia untuk menghasilkan ekonomi hari ini tidak lagi terbatas pada penggunaan kemampuan otot, sebagaimana yang terjadi dalam masyarakat agraris, tetapi juga kemampuan otak dan akal intelektual. Beragam jenis profesi yang menggunakan kemampuan akal ini dalam faktanya tidak lagi dimonopoli oleh kaum laki-laki melainkan juga kaum perempuan.
Peluang-peluang kerja intelektual telah terbuka bagi laki-laki dan perempuan. Kaum profesional tidak hanya disandang bagi kaum laki-laki tetapi juga bagi perempuan. Kaum perempuan hari ini telah banyak menduduki kerja-kerja profesional baik di institusi-institusi negara maupun swasta. Demikian juga di perusahan-perusahan baik negara maupun swasta. Sebagian perempuan bahkan menduduki kursi puncak kerja profesional. Pada sisi yang lain fakta juga sebetulnya telah memperlihatkan bahwa perempuan juga memiliki kemampuan dalam kerja-kerja berbasis otot atau keterampilan kasar, seperti menjadi pengemudi kendaraan berat dan sebagainya. Pendeknya semua pekerjaan yang selama ini hanya dianggap sebagai pekerjaan laki-laki, ternyata juga bisa dilakukan oleh kaum perempuan.
Ini adalah fakta-fakta yang dihasilkan oleh dan dalam kehidupan modern. Secara lebih umum kita dapat mengatakan bahwa manusia hari ini tidak lagi hidup dalam dunia agraris yang lebih banyak mengandalkan kerja otot, atau di wilayah pertanian, melainkan telah berubah menjadi dunia industri, teknologi dan informasi yang keberadaannya lebih banyak mengandalkan kerja mesin dan otak. Dengan begitu kita dapat mengatakan sekali lagi bahwa akibat dari terbukanya akses pendidikan bagi semua jenis kelamin manusia, maka dunia kerja manusia hari ini tidak hanya menjadi domain laki-laki melainkan juga domain perempuan. Kenyataan-kenyataan ini tak pelak telah merubah fungsi-fungsi dan sistem pembagian ekonomi keluarga. Dunia hari ini adalah dunia yang telah berubah dari kondisi dunia lima belas abad yang lampau di Timur Tengah dengan basis kerja agraris ke dunia baru abad 21 yang berbasis kerja ilmu pengetahuan dan teknologi, terutama teknologi informasi (IT).
Realitas sosial sebagaimana disebutkan di atas tampaknya telah lama menggelisahkan hati dan pikiran seorang Menteri Agama; Munawir Syadzali. Kegelisahan tersebut kemudian melahirkan gagasan tentang perlunya reaktualisasi hukum Islam agar sejalan dengan perkembangan baru atau “Shalihah li Kulli Zaman wa Makan” (relevan dengan perkembangan ruang dan waktu). Gagasan Munawir yang dikemukakanya pada tahun 1985 ini mendapat inspirasi dari tokoh besar Umar bin Khattab. Pengganti Nabi ke 3 ini dengan keberaniannya yang luar biasa melakukan perubahan-perubahan hukum, meskipun sudah terdapat teks-teks Alqur’an yang jelas dan dipraktikkan oleh Nabi. Paradigma yang menjadi dasar dari keputusan-keputusan Umar adalah “kemaslahatan”. Kemaslahatan adalah tujuan dari seluruh hukum Islam (Maqashid al Syari’ah). Salah satu gagasan reaktualisasi Munawir adalah tentang pembagian waris. Baginya pembagian waris antara laki-laki dan perempuan dengan porsi 2:1 untuk laki-laki dan perempuan dirasakan sudah tidak relevan lagi dengan kenyataan dewasa ini. Atau dengan kata lain pembagian tersebut tidak lagi memenuhi prinsip keadilan. Munawir dalam hal ini mengangkat pengalaman pribadinya melihat kenyataan-kenyataan baru di masyarakatnya yang merugikan perempuan. Karena itu, menurutnya, sudah seharusnya kebijakan dan pemikiran keagamaan disesuaikan dengan prinsip keadilan dan kemaslahatan yang berkembang. Ia mengusulkan agar pembagian harta waris untuk laki-laki dan perempuan bisa disamakan.
Logika Perubahan Sosial
Logika perubahan sosial, ekonomi dan politik dalam sejarah kehidupan masyarakat di manapun termasuk dalam masyarakat Islam sesungguhnya meniscayakan terjadinya perubahan dalam pengambilan kebijakan-kebijakan hukum baik dalam wilayah privat maupun publik. Dalam hukum Islam logika perubahan ini diungkapkan dalam sebuah kaedah yang sangat terkenal : “taghayyur al ahkam bi taghayyur al ahwal wa al azman wa al amkinah wa al ‘awaid” (perubahan hukum diakibatkan oleh perubahan konteks sosial dan tradisi). Karena itu maka pada masalah pembagian waris antara anak laki-laki dan anak perempuan dan lebih luas lagi antara laki-laki dan perempuan, konteks sosial yang berubah seharusnya juga menjadi dasar bagi perubahan kebijakan hukumnya. Para ulama juga menyebutkan kaedah hukum “al Tsabit bi al Urf ka al Tsabit bi al Nash”, (Apa yang ditetapkan berdasarkan tradisi sama statusnya dengan yang ditetapkan berdasarkan teks).
Ayat-ayat Alqur’an tentang waris sebenarnya dapat dipahami sebagai bentuk responsi Alqur’an terhadap realitas sosial yang berkembang pada saat itu di mana laki-laki difungsikan sebagai penghasil ekonomi dan pemberi nafkah keluarga, sedangkan perempuan difungsikan sebagai pelayanan terhadap laki-laki (suami). Dengan kata lain ketetapan tersebut berdiri di atas tradisi masyarakat dalam ruang dan waktu tertentu. Jika realitas tradisi tersebut kemudian berubah, maka secara logis ketentuan tersebut juga seharusnya bisa berubah. Jika pekerjaan rumah tangga (domestik) dan pencari nafkah tidak lagi hanya menjadi kewajiban laki-laki tetapi juga perempuan secara bersama-sama, maka adalah logis jika konsekuensi pembagian penghasilan dan perolehannya disesuaikan dengan prinsip keadilan ekonomi Keadilan ekonomi berarti pembagian hak ekonomi secara proporsional. Ini tentu tergantung pada peran-peran yang dimilikinya masing-masing antara laki-laki dan perempuan. Sebuah kaedah keadilan dikemukakan oleh para ahli fiqh, misalnya : “alghunmu bi al ghurmi” (ada untung ada rugi) atau kaedah : al-Ajru bi Qadr al-Ta’ab (penghasilan atas pekerjaan tergantung pada mudah-sulitnya pekerjaan itu).
Pandangan bahwa pembagian waris 2;1 untuk laki-laki dan perempuan adalah keputusan pasti, tegas, jelas, lugas, matematis. Dalam keadaan ini memang tidak bisa diijtihadi. Akan tetapi keputusan tersebut didasarkan oleh realitas sosialnya sendiri. Jadi keputusan tersebut berdiri di atas landasan konteks sosialnya yang memposisikan laki-laki sebagai penanggungjawab ekonomi keluarga. Keputusan Alqur’an untuk membagi waris kepada laki-laki lebih besar dari perempuan dalam konteks sosial ketika ia diturunkan sekali lagi adalah sepenuhnya merupakan keputusan yang adil dan maslahat. Ini sesuatu yang tidak diragukan lagi. Tetapi apakah ia masih harus dipertahankan untuk konteks hari ini dan ke depan ketika ia sudah tidak lagi memenuhi prinsip keadilan? (Wallahu a’lam)
Baca Juga:
Tafsir Alquran 1: Waris Laki-laki Dan Perempuan