“Wong wedok entuke sak gendongan, yen wong lanang kuwi entuke sak pikul” (artinya; perempuan dapatnya satu gendong, tetapi laki-laki dapatnya satu pikul). Demikianlah penjelasan guru ngaji saya di pesantren dulu ketika mengilustrasikan tentang bagian waris perempuan dan laki-laki di dalam hukum Islam (Fiqh). Bagian perempuan adalah separoh dari bagian laki-laki, atau biasa dikenal dengan istilah 2:1 (dua banding satu). Sebagai seorang santri yang berumur 16 tahun, saat itu saya tidak berani mempertanyakan kenapa, apalagi mendebat tentang perbedaan/ketidaksamaan bagian waris yang diperoleh oleh laki-laki dan perempuan. Take it for granted, barangkali itulah kata-kata yang tepat untuk menggambarkan bagaimana para santri (teman-teman saya) selalu sami’na wa atha’na mendengarkan dan menerima begitu saja penjelasan dari para ustadz dan kyai ketika mengaji kitab-kuning. Kami berpandangan bahwa mereka memiliki pengetahuan keagamaan yang mendalam, dan sebagai santri yang baik kami harus mendengarkan secara seksama dan menyerap setiap pengetahuan yang diajarkan.

Sungguh. Sampai saat ini illustrasi guru ngaji saya di atas terus terngiang di kepala setiap kali membaca dan bersentuhan dengan isu waris ini. Sepintas, sepertinya ada nuansa “ketidakadilan” di sana, namun para ulama modern berpendapat bahwa hukum waris di dalam Islam harus dilihat dalam konteks sosio-historis masyarakat Arab pada masa Nabi Muhammad saw.  Realitas Arab pra-Islam tidak memberi hak waris kepada perempuan, bahkan seringkali perempuan menjadi bagian dari harta warisan. Dari kenyataan itu, penetapan syariat yang memberikan hak waris kepada kaum perempuan jelas merupakan suatu ajaran yang sangat revolusioner dan radikal. Dengan memberikan hak waris kepada perempuan yang sebelumnya justru merupakan objek warisan, Islam telah menetapkan sebuah norma/nilai (values) bahwa perempuan dan laki-laki adalah sama-sama sebagai subjek yang mewarisi.

Dalam praktiknya, pembagian harta warisan di dalam masyarakat Muslim khususnya di Indonesia bisa berbeda-beda antara satu komunitas dengan komunitas lainnya.  Sebagai contoh, nenek saya yang berasal dari keluarga Jawa membagi sama rata harta warisannya kepada anak laki-laki dan perempuannya. Hal ini diputuskan secara musyawarah, dan paman-paman saya pun tidak memprotes, masing-masing pihak bisa menerimanya dengan baik. Spirit kebersamaan dan kekeluargaan lah yang dikedepankan di dalam kasus keluarga saya ini. Ya. Nenek saya lebih memilih untuk memakai sistem hibah daripada hukum waris Islam 2:1, karena ingin berbuat adil terhadap anak-anaknya. Hibah dan wasiat adalah jalan keluar dan alternatif yang ditawarkan oleh Fiqh, disamping hukum waris Islam konvensional. Dalam hal ini, Rasulullah saw pernah menyatakan; “Samakanlah di antara anak-anakmu pemberianmu. Jikalau aku boleh melebihkan pada salah satunya, sungguh aku akan melebihkan anak perempuan.”   Membagi harta sama rata kepada anak perempuan dan laki-laki ketika orang tua masih hidup banyak dipraktikkan di dalam masyarakat Jawa.

Lain di Jawa lain pula di dalam tradisi masyarakat Lombok (NTB) dan Minangkabau (Sumatera Barat). Menurut penelitian Semarak Cerlang Nusantara-Crest Jakarta bahwa di Lombok yang merupakan basis dari para Tuan Guru, dalam hal waris, perempuan seringkali tidak mendapatkan apa-apa. Bahkan, aturan 2:1 yang ada di dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) pun sepertinya tidak dipakai sebagai rujukan untuk membagi harta warisan; ketika suami meninggal, maka hilanglah semua harta yang dimiliki perempuan, karena harta akan jatuh kepada pihak keluarga suami. Hal ini berbeda jauh dengan tradisi di masyarakat Minangkabau yang Islam-nya pun sangat kuat. Di Sumatera Barat, para labai (tokoh agama) menganggap harta warisan sebagai harta bertingkat, ada harta tinggi dan harta rendah. Harta tinggi adalah harta komunitas yang memang larinya ke perempuan (matrilineal). Kalau harta waris dari orang tua, mereka biasanya membagi sama rata antara laki-laki dan perempuan. Bahkan seringkali yang perempuan diberikan lebih daripada laki-laki. Begitulah tradisi di dalam masyarakat Minang.

Berdasarkan contoh-contoh di atas, dapat disimpulkan bahwa praktik hukum Islam, termasuk isu waris, sangat tergantung dari sistem sosial yang ada di dalam sebuah masyarakat. Dengan kata lain, bahwa memang budaya, adat dan agama saling berhubungan di dalam konteks Islam Indonesia. Nah, Fokus kali ini akan membahas beberapa poin penting terkait dengan isu waris ini; bagaimana sebenarnya Islam berbicara tentang hak waris perempuan? Bagaimana konteks mikro dan makro masyarakat Arab ketika turun ayat-ayat waris ini? Apakah ketentuan waris 2:1 di dalam Alqur’an adalah sesuatu yang qath’i, mutlak, dan tidak bisa dimodifikasi? Apakah konteks sosial yang berubah juga bisa menjadi alasan berubahnya sebuah hukum Islam? Lalu, apa sebenarnya spirit dari ketentuan waris di dalam Islam?

Revolusi Sistem Waris
Persoalan waris dan kesaksian terkadang menjadi “ganjalan” bagi para aktivis ketika melakukan kampanye tentang kesetaraan laki-laki dan perempuan di dalam Islam, baik dari segi personal, sosial maupun spiritual. Ketentuan waris dan kesaksian di dalam Alqur’an yang menempatkan perempuan separoh dari laki-laki kerap dijadikan argumen oleh berbagai pihak bahwa Islam secara inheren mengajarkan subordinasi terhadap perempuan. Apakah anggapan semacam itu benar adanya?

Menurut Kyai Husein Muhammad, harta waris dalam tradisi Arab pra Islam hanya diberikan kepada golongan laki-laki. Argumen mereka adalah bahwa laki-lakilah yang menunggang kuda, menanggung beban dan berperang. Mereka mengatakan; la nuritsu man la yarkabu farasan wa la yahmilu kallan wa la yanka-u ‘aduwwan (kami tidak akan memberikan waris kepada mereka yang tidak menunggang kuda, tidak memikul beban ekonomi dan tidak berperang melawan musuh). Pernyataan ini menegaskan bahwa harta waris hanya diberikan kepada orang-orang yang memiliki fungsi otot,  keperkasaan tubuh dan menghasilkan ekonomi. Tubuh perempuan pada saat itu tidak memiliki atau tidak dianggap memiliki fungsi-fungsi ini.

Terhadap cara pandang masyarakat Arab seperti itu, maka Alquran melancarkan koreksinya dengan mengajukan pandangan baru bahwa perempuan juga memiliki hak waris karena mereka juga memiliki andil yang cukup besar dalam kehidupan bersama mereka. Sebuah informasi menyatakan bahwa janda Sa’ad bin Rabi’ mengadukan kepada Nabi tentang kegelisahan hatinya. Dua anak perempuan yang dihasilkannya bersama Sa’ad tidak mendapatkan warisan begitu ayahnya meninggal. Semua harta Sa’ad diambil oleh saudara laki-lakinya padahal dua anak perempuan Sa’ad sangat membutuhkannya. Nabi Saw mendengar keluhan itu. Tidak lama kemudian ayat 11 dan 12 surah al Nisa diturunkan Allah.  Maka keputusan tentang warisan yang disampaikan Alquran sejatinya merupakan kritik terhadap sistem peralihan harta kekayaan (waris) dalam tradisi masyarakat (‘urf) Arab saat itu. Ini adalah sebuah langkah transformasi yang sering dilakukan Islam untuk menegakkan keadilan sosial dan ekonomi. Pada saat yang sama kritik tersebut juga pada dasarnya ingin mempertegas kemanusiaan perempuan dan tugas-tugas mereka yang juga harus dihargai, sekecil apapun.

Hal serupa pun ditegaskan oleh Badriyah Fayumi, bahwa Islam mengubah peradaban jahiliiyah dengan memproteksi hak waris bagi perempuan. Semua itu muaranya satu: demi menjamin keadilan bagi perempuan dan laki-laki sebagai wujud risalah yang rahmatan lil alamin. Dalam ayat-ayat waris (Q.S. An-Nisa/4: 7, 11, 12, dan 176) dan hadis-hadis Nabi, bagian perempuan selalu disebutkan secara eksplisit, baik dalam statusnya sebagai anak, isteri, ibu, nenek, saudara perempuan, atau keponakan perempuan dari orang yang meninggal. Begitu jelas dan detailnya bagian perempuan dalam setiap status, sehingga tidak ada celah sedikitpun untuk tidak memberikan warisan kepada perempuan yang berhak karena jenis kelamin dan usianya.  Sebagai contoh, bagian perempuan kalau ia statusnya sebagai istri, maka ia mendapat seperempat (1/4) bagian warisan jika pewaris tidak meninggalkan anak, dan bila pewaris meninggalkan anak maka mendapat seperdelapan (1/8) bagian yang diterimanya.  Jika perempuan statusnya sebagai anak, maka bagiannya adalah separoh dari yang diperoleh oleh saudara laki-lakinya. Jika perempuan merupakan anak tunggal, maka ia mendapat setengah (1/2) dari harta warisan, apabila ia memiliki saudara yang semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagiannya adalah dua pertiga (2/3).

Ketentuan waris di atas jelas merupakan merupakan bentuk pembagian yang yang sangat maju (progresif) dan merupakan pembagian adil atau proposional dalam konteks masyarakat Arab kala itu, dimana tanggung jawab publik berada di pundak laki-laki. Oleh karena itu, bagian yang diterima laki-laki menjadi lebih banyak daripada yang diterima oleh perempuan (Li al-dzakari mitslu hazhzh al-untsayain). Mahmud Yunus dalam tafsirnya mengatakan bahwa hikmah diberikan waris dua kali bagian perempuan adalah karena laki-laki harus membelanjakan dirinya, isterinya dan anak-anaknya. Adapun perempuan hanya membelanjai dirinya sendiri. Apabila bersuami maka nafkahnya dipikul oleh suaminya. Oleh karena itu pembagian laki-laki lebih banyak daripada perempuan.  Ayat waris pada dasarnya merupakan respons Alquran terhadap sejarah sosial yang berkembang pada masanya. Dalam hal ini, Islam hadir saat perempuan dan anak merasakan ketidakadilan dengan turunnya ayat Alquran dan eksekusi Nabi yang tanpa ragu memberi perlindungan dan pemihakan kepada kaum perempuan.

Baca Juga:

Fokus 2: Waris dalam Konteks Keindonesiaan

Similar Posts:

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here