Ada beragam argumentasi tentang  pelaksanaan KB di dalam Islam. Pendapat yang menyetujui pelaksanaan KB bersandar pada sebuah ayat di dalam Alqur’an yang  artinya, “Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar.”(QS. An-Nisa (4); 9 ).

Dalam ayat tersebut dijelaskan bahwa kelemahan ekonomi, kurang stabilnya kondisi kesehatan fisik dan kelemahan intelegensi anak akibat kekurangan gizi merupakan tanggung jawab kedua orang tua. Maka disinilah peranan KB sangat diperlukan untuk membantu mereka keluar dari masalah tersebut.

Pelaksanaan KB diperdebatkan oleh kalangan ulama’, diantaranya ada yang membolehkan dan ada yang melarang. Diantara ulama’ yang membolehkan adalah Imam Ghazali, Syekh al-Hariri (mufti besar Mesir), syekh Mahmud Syaltut, dan Sayyid Sabiq.   Imam Ghazali tidak melarang dengan pertimbangan kesukaran yang dialami seorang ibu disebabkan sering melahirkan dengan motif menjaga kesehatan, menghindari kesulitan hidup, dan menjaga kecantikan si ibu.

Syekh al-Hariri memberikan memberikan ketentuan bagi individu dalam pelaksanaan KB, diantaranya : a) Untuk menjarangkan anak., b) Untuk menghindari penyakit, bila ia mengandung. Untuk menghindari kemudharatan, bila ia mengandung dan melahirkan dapat membawa kematiannya (secara medis), c) Untuk menjaga kesehatan si ibu, karena setiap hamil selalu menderita suatu penyakit (penyakit kandungan), dan d) Untuk menghindari anak dari cacat fisik bila suami atau istri mengidap penyakit menular seksual.

Syaikh Mahmud Syaltut membedakan konsep pembatasan keluarga (tahdiid al-nasl) dan pengaturan atau perencanaan berketurunan (tandzhim al-nasl). Tandzim an-Nasl diumpamakan dengan menjarangkan kelahiran karena situasi dan kondisi khusus, baik yang ada hubungannya dengan keluarga yang bersangkutan maupun dengan masyarakat dan negara.

Sayyid Sabiq dalam Fiqh As-Sunnah juga membolehkan seseorang untuk melaksanakan KB dengan alasan sang ayah adalah seorang faqir, tidak mampu memberikan pendidikan pada anak-anaknya, dan sang ibu adalah orang yang dha’if (lemah) jika terus menerus melahirkan.

Sementara itu, salah satu ulama’ yang melarang pelaksanaan KB adalah Abu ‘Ala al-Madudi (Pakistan), menurutnya pembatasan kelahiran adalah bertentangan dengan ajaran Islam. Islam adalah suatu agama yang berjalan sesuai dengan fitrah manusia, dan barangsiapa yang merubah atau menyalahi fitrah maka ia telah menuruti perintah setan. Di samping pendapat tersebut, para ulama yang menolak KB menggunakan dalil:

“Dan janganlah kamu membunuh anak-anak kamu karena takut kemiskinan, Kami akan memberi rejeki kepadamu dan kepada mereka.”(QS. Al-Isra’ (17):31). Pendapat tersebut menyatakan bahwa program KB melalui pembatasan kelahiran merupakan hal yang tidak dibenarkan dalam agama Islam. Karena hal tersebut telah menyalahi fitrah manusia apalagi hanya kerena takut akan kemiskinan dan melupakan bahwa Allah Yang Maha Memberi Rejeki.

Dalam konteks Indonesia, memang terdapat pandangan yang beragam di kalangan umat Islam. Namun, 2 (dua)  ormas besar yang ada di Indonesia yaitu Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah  memiliki pandangan yang tegas dalam mendukung program KB.   Dukungan itu disampaikan dalam bentuk Keputusan Majelis Tarjih Muhammadiyah 1968 dan Syuriah NU 1969 yang membolehkan ber-KB untuk menjaga kesehatan ibu dan anak, atas persetujuan suami istri, dan agar anak-anak yang dilahirkan tidak menjadi beban orang lain.

Dalam kepemimpinan Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI), KH Syukri Ghozali, dan Ketua Komisi Fatwa, Prof KH Ibrahim Hosen, MUI dalam Musyawarah Nasional Ulama 12-15 Oktober 1983, tentang tentang Kependudukan, Kesehatan dan Pembangunan, memutuskan untuk mendukung program pembangunan kependudukan dan KB. Masalah kependudukan yang dihadapi Indonesia, membuat MUI berpendapat: “Pertambahan penduduk yang tidak terkendali dapat menimbulkan berbagai masalah di masyarakat, antara lain terjadinya konflik ekonomi dan konflik sosial”. MUI juga mencermati, “Tingkat kematian yang masih tinggi, terutama kematian anak balita, dan tingkat kelahiran yang masih tinggi memerlukan peningkatan pelayanan kesehatan dan pemeliharaan kesehatan lingkungan” (MUI, 1984).

Ikhtiar Menuju Kemaslahatan Umat
Bagaimana konsep dasar Islam tentang KB juga dapat dilihat dari konsep dasar hak- hak asasi manusia dalam Islam. Pemenuhan hak dasar juga senada dengan apa yang dikemukakan oleh al-Ghazali tentang al-Ushuliyyat al-Khamsah  yang diperkenalkan oleh  Imam al-Ghazali (w. 1111 M) dalam kitabnya yang terkenal, al-Mustasyfa. Menurutnya, Islam hadir untuk melindungi lima hal dasar (al-kulliyyat al-khams) berikut: a) Hifdz al-Nafs (perlindungan jiwa, hak hidup); b) Hifdz al-Din (perlindungan keberagamaan, hak beragama); c) Hifdz al-Nasl (perlindungan keturunan, hak melanjutkan generasi); d) Hifdz al-‘Aqli (perlindungan akal, hak berpikir, berpendapat); dan e) Hifdz al-Maal (perlindungan kepemilikan, properti, hak milik).   Dan konsep KB, bila dilihat dari upaya perencanaan keluarga merupakan salah satu  manifestasi dari perlindungan keturunan dan hak untuk melanjutkan generasi (Hifdz  al-Nasl).

Oleh karena KB merupakan suatu ’hak’; semestinya  ia harus berjalan tanpa paksaan dan harus disertai dengan informasi-informasi yang  cukup kepada pasangan yang akan menjalani program KB. Semestinya, KB juga merupakan ’pilihan sukarela’  bukan merupakan bentuk pelanggaran HAM sebagimana yang dikemukakan oleh Hj. Yoyoh Yusroh di awal tulisan ini.  Setiap informasi dan penjelasan tentang cara kerja, dampak maupun berbagai resikonya perlu dijelaskan sejak dini. Baik kepada perempuan bila ia memberikan persetujuan bahwa alat kontrasepsi yang digunakan adalah alat kontrasepsi yang memiliki kemungkinan resiko pada diri dan tubuhnya; Maupun kepada laki-laki, apabila  ia menggunakan kondom ataupun melakukan vasektomi sehingga  ke depan menghalangi kesempatannya untuk mendapatkan berketurunan.

Ke depan, diharapkan tak ada lagi perempuan-perempuan yang harus mengalami penderitaan karena persoalan kesehatan reproduksi. Seperti unwanted pregnancy (kehamilan tak dikehendaki) karena dilarang ber-KB oleh suami, karena gagal KB, ataupun karena terus menerus melahirkan akibat ketakutan terhadap ancaman ’laknat malaikat’ yang senantiasa didengungkan ke telinganya. Istri adalah pasangan bagi suami, dan dia juga memiliki hak untuk menikmati hubungan seksual tanpa paksaan.  Sebagaimana firman Allah swt berfiman dalam  QS. Al Baqarah ayat 187:
“Mereka (istri-istri) adalah pakaian bagi suami dan kalian (suami) adalah pakaian bagi mereka”
Syarat agar masing-masing pihak dapat menikmati hubungan seks, maka keduanya harus sama-sama dalam situasi dan kondisi  sehat, baik itu secara fisik, mental maupun sosial.

Sebagai penutup, mengingat konsep ”Keluarga Berencana” lebih memiliki makna perencanaan keluarga dibandingkan pembatasan jumlah kelahiran, maka jauh lebih penting untuk mempersiapkan calon-calon pasangan suami istri  untuk dapat berelasi setara setara dan adil dalam kehidupan berkeluarga. Misalnya, melalui penekanan bahwa ”keluarga sakinah” hanya dapat dicapai dengan  ’kesukarelaan’ dan partisipasi dari semua pihak; yaitu  lelaki dan perempuan baik sebagai  pasangan suami istri, orang tua, maupun anak-anak, mencegah praktik pernikahan dini maupun kehamilan dini, perencanaan bersama tentang kapan dan berapa jumlah anak yang ingin dimiliki,  dan bagaimana merencanakan bersama peran pengasuhan dan pendidikan  yang akan mereka lakukan kepada anak-anak mereka. {} AD.Kusumaningtyas

Baca Juga:

Fokus 1: Membincang Ulang Soal Keluarga Berencana 

Fokus 2: Memahami Praktik KB di Indonesia: Perkembangan dari Masa ke Masa

Similar Posts:

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here