Masruchah dilahirkan di sebuah desa kecil daerah Tayu, Kabupaten Pati,  Propinsi Jawa Tengah. Dibesarkan dalam kultur pesantren yang kental, yaitu sebagai bagian dari keluarga Pesantren Nahdlatut Tholibin Tayu Pati.  ‘Mbak Ruchah’ begitu kami lebih suka memanggilnya, mengenyam  pendidikan formalnya di bangku madrasah Ibtidaiyyah dengan merangkap Sekolah Dasar, Madrasah Tsanawiyah, Pendidikan Guru Agama Pertama  dan Pendidikan Guru Agama Negeri, sebelum melanjutkan jenjang studinya di  Jurusan Perbandingan Agama Fakultas Ushuluddin IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. 

Sosok Masruchah dikenal sebagai aktivis perempuan terkemuka di Indonesia. Pada tahun 1997, ia mempresentasikan pandangan Islam tentang khitan perempuan di forum seminar internasional tentang Islam, Kesehatan dan Hak Reproduksi di Mesir. Ia juga mengenyam studi pendek tentang isu-isu sensitif Kesehatan dan Hak reproduksi   di Hawai University tahun 2001.  Keaktifannya pada organisasi perempuan Fatayat NU, telah mengantarkannya untuk aktif menekuni isu kesehatan dan hak reproduksi ini  dalam komunitas muslim di sebuah lembaga Yayasan Kesejahteraan Fatayat (YKF) dan di Lembaga Kajian Pengembangan Sumberdaya Manusia/LKPSM NU DIY dan Lembaga Kemaslahatan Keluarga/LKK NU DIY. Mantan Sekretaris Jendral Koalisi Perempuan Indonesia (KPI)  periode  ini 2004-2009, kini menjadi salah satu Komisioner di Komnas Perempuan dan menjabat sebagai Wakil Ketua. Sejak tahun 2006  ia juga bergabung dengan Rahima, dan kini menjadi Ketua Pengurus periode 2011-2014.  Ditemui oleh AD. Kusumaningtyas dari Swara Rahima (SR), Mbak Ruchah menyempatkan diri untuk berbagi pengetahuan dan  pengalamannya mengenai soal Keluarga Berencana.
____________________

Bagaimana Islam memandang tentang Keluarga Berencana?
Dalam komunitas muslim, Islam sebagai agama universal harus mampu menghadapi dinamika perkembangan zaman dan bagaimana menciptakan maslahah bagi ummatnya. Bahasan mengenai “Keluarga Berencana” bukanlah hal yang tabu. Konsep “keluarga berencana”   adalah konsep perencanaan berkeluarga. Kita mengenali di Muhammadiyah ada konsep Keluarga Sakinah dan di NU dengan  istilah Keluarga Maslahah ; ini menunjukkan bahwa sebenarnya konsep  yang berkembang di kedua ormas besar keagamaan ini  adalah soal pola berkeluarga yang direncanakan secara musyawarah oleh institusi keluarga, apakah  jumlah anggota  keluarga besar atau kecil, hamil atau tidak hamil. Keluarga Berencana  adalah tandhim al nasl, upaya untuk mensejahterakan sebuah keluarga. Problemnya kedua lembaga ini justru turut menggunakan simbol Keluarga Sakinah atau Maslahah dengan simbol   Ayah-Ibu lalu dua anak yakni laki-laki dan perempuan; simbol dua anak ini  mengadopsi konsep Negara yang diimplementasikan oleh Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN). Jadi terkesan bahwa yang tidak memiliki anak atau memiliki jumlah anak kurang atau lebih dari dua tidak masuk kategori bahagia.

Bagaimana konteks pelaksanaan KB di kalangan umat Islam?

Dalam komunitas Islam pelaksanaan KB tidak langsung berbicara pada alat kontrasepsi akan tetapi lebih menekankan pada bagaimana pola perencanaan keluarga sakinah atau maslahah. Sebagaimana dalam pesan-pesan khutbah nikah kalimat  sakinah mawaddah wa rahmah, bagaimana konsep ini  dielaborasikan dengan pendekatan mu’asyarah bi al ma’ruf, pendekatan musyawarah untuk mengambil dan memutuskan yang terbaik dalam kehidupan keluarga.  Sehingga  kita memaknai konsep sakinah, mawaddah  wa rahmah ini yang ditekankan adalah soal komunikasi antar anggota keluarga, tidak hanya secara sepihak. Setidaknya ibu/istri sebagai pihak yang akan mengemban peran reproduksi terlibat dalam memutuskan.   Hendak  mau punya anak  1 atau  3 atau 4 orang atau tidak punya anak sama sekali karena alasana kesehatan harus dimusyawarahkan. Ini adalah  prinsip yang dibangun di dalam Islam.

Pelaksanaan KB dikalangan Islam, selain berkait pola perencanaan berkeluarga adalah motode perencanaan dan pengaturan  kehamilan, diantaranya  dengan metode ’azl (senggama terputus). Untuk pengenalan penggunaan alat kontrasepsi misalnya IUD, spiral, implant/susuk, Pil dilakukan  dengan mempertimbangkan manfaat dan madlaratnya bagi tubuh perempuan. KB dalam Islam adalah  menekankan  prinsip tidak memaksakan karena  risikonya  pada tubuh perempuan adalah menjadi dasar utama.

Adakah nilai, norma, atau tradisi Islam yang  dipandang turut menyumbang terjadinya ledakan jumlah penduduk, tingginya  Angka Kematian  Ibu dan bayi,  mengingat selama ini isu KB  sempat menjadi pro-kontra di kalangan ormas keagamaan Islam?

Dalam tradisi  muslim  berkembang pemahaman bahwa anak adalah rezeki dari Tuhan,  sehingga bila membatasi jumlah anak dianggap melawan pemberian Tuhan ataupun takdir.  Mereka biasanya mendasarkan pada surat al Isra’  ayat 31 tentang  larangan membunuh anak-anak karena takut kemiskinan. Walau di sisi lain dinyatakan tegas dalam surat an Nisa ayat 9  tentang larangan membiarkan anak-anak menjadi lemah, dan  tidak sejahtera hidupnya.

Selain itu, tradisi Islam yang berkembang kebanyakan adalah menganggap perempuan/istri wajib melayani hubungan seks suami jika menghendakinya. Perempuan diposisikan   subordinat,  perempuan takut suaminya marah jika tidak dituruti permintaannya, bahkan ada yang merasa melayani suami adalah kodrat istri.  Bahkan terkadang muncul pemahaman bahwa istri adalah obyek seks suami, sehingga wajib bagi istri kapanpun melayani suaminya. Perencanaan melahirkan tidak diputuskan bersama antara suami-istri, bahkan temuan kami di lapangan banyak istri baru merasakan kenikmatan seksual setelah sekian tahun pernikahan dengan sejumlah anak.

Sementara situasi sosial ekonomi masyarakat tidak bisa menjawab kebutuhan masyarakat. Pemiskinan struktural berpengaruh pada kehidupan perempuan dan anak-anak. Hak –hak asasi  perempuan dan hak-hak anak belum banyak  diperhatikan. Akibatnya ibu hamil kurang gizi dan anak lahir dalam kondisi tidak sehat. Bahkan banyak kasus ibu melahirkan meninggal atau anak lahir meninggal, karena diantaranya faktor kesehatan reproduksi perempuan tidak diperhatikan.

Melihat realitas ini sudah seharusnya negara dan gerakan masyarakat sipil, khususnya ormas keagamaan berbicara konsep keluarga sakinah/maslahah “keluarga berkeadilan gender”, keluarga yang mengedepankan relasi setara. Karena dengan demikian istri dapat terlibat memutuskan atas tubuhnya, termasuk jumlah anak yang direncanakan, penggunaan alat kontrasepsi yang dipilihnya, tentunya yang cocok bagi tubuhnya.

Bagaimana respon ormas keagamaan Islam maupun pandangan tokoh agama mengenai praktek KB ini ?

Awal-awal kampanye KB oleh pemerintah pada tahun 70-an ada penolakan di kalangan muslim. Alasan yang digunakan adalah pandangan agama yang dipahaminya. Pemerintah melalui BKKBN melakukan kerjasama dengan NU dan Muhammadiyah, juga individu pemuka agama, pemimpin pesantren. Simbol keluarga dengan dua anak cukup yang digunakan Muhammadiyah dan NU adalah mengadopsi konsepnya pemerintah, meskipun secara internal dalam tubuh kedua ormas keagamaan ini mengalami perdebatan cukup kuat. Metode memaknai keluarga sakinah atau maslahah dimana keputusannya dikembalikan pada institusi keluarga dengan pendekatan “muasyarah bi al ma’ruf”, adalah alternatif yang digunakan NU dan Muhammadiyah.

Kondisi ekonomi, sosial dan politik  juga sebagai basis pertimbangan pengambilan keputusan, karena bersar kecilnya jumlah anak perlu mempertimbangkan pendidikan dan masa depannya.

Keterlibatan representasi NU dan Muhammadiyah dalam konferensi internasional tentang kependudukan dan pembangunan (international conference on population and development/ICPD) tahun 1994 di Kairo, turut mengubah wacana di internal kedua ormas ini dan penerimaan bahwa KB perlu dipahami sebagai bagian dari hak reproduksi perempuan.

Resistensi soal KB juga terkait dengan penggunaan alat kontrasepsi  yang di antaranya dimasukkan ke dalam tubuh perempuan, oleh petugas medis yang bukan perempuan.   Selain itu juga cara-cara KB seperti vasektomi dan tubektomi yang memotong salah satu saluran reproduksi. Bagaimana pendapat Anda tentang hal ini?

Bicara soal resiko, di antara  beragam  alat kontrasepsi pada tubuh manusia akan  berbeda-beda. Satu jenis alat kontrasepsi belum tentu cocok pada semua perempuan. Untuk itu pendidikan kesehatan dan hak reproduksi perlu dilakukan sejak dini bahkan segala usia. Pendidikan ini perlu diberikan tidak hanya pada perempuan tetapi juga pada laki-laki, agar laki-laki tidak semena-mena terhadap perempuan, bagaimana laki-laki bisa ikut menjaga dan melindungi hak reproduksi perempuan. Di masyarakat kita, masih banyak yang belum mengetahui tentang kesehatan reproduksi ataupun hak-hak reproduksi perempuan. Ketika ada anjuran  KB dan menggunakan alat kontrasepsi tanpa bertanya risikonya, dan juga terkadang petugas kesehatan tidak menerangkan secara detail jenis dan risiko dari alat-alat kontrasepsi tetapi justru memaksakan untuk menggunakan alat kontrasepsi yang tersedia. Masalah vasektomi dan tubektomi jika tujuannya adalah untuk kesehatan, saya kira kita mengembalikan pada yang bersangkutan.  Ada teks fiqh yang mengatakan jika keduanya buruk, maka sebaiknya mengambil risiko yang paling ringan ”irtikab akhaffu dhararain waajib”.

Selanjutnya,  dapatkah diceritakan  bagaimana peranan  komunitas pesantren dalam menjelaskan soal KB dan memperkenalkan hak-hak reproduksi di masyarakat ?

Pesantren dengan komunitasnya memiliki peran strategis dalam mengkampanyekan konsep KB dan hak-hak reproduksi. Pesantren dengan basis santri dan komunitas yang kuat seringkali dijadikan mitra oleh pemerintah ataupun lembaga-lembaga sosial  dalam melakukan kampanye atau penyadaran, karena sosok kiai atau nyai sebagai figur panutan.  Lembaga pesantren sebagai ajang pendidikan di dalam pesantren dan di luar pesantren nicaya memiliki pengikut yang cukup kuat. Apa yang telah dipelajari dan diyakini santri biasanya akan dibagi dengan keluarganya, demikian juga alumni  santri  dengan kiai/pengasuh pesantren seperti ikatan guru dan murid, sehingga alumni santripun selalu mengadopsi pemikiran kiai dimana ia pernah  belajar.

Isu kesehatan reproduksi misalnya keputihan, pernikahan dini, ijbar  adalah persoalan sehari-hari yang terjadi di lingkungan  pesantren,  sehingga menjadi keharusan pesantren dapat merespon problem-problem ini. Meskipun telah ada kitab rujukan yang berkaitan dengan masalah kesehatan atau masalah reproduksi, karena teks itu dinamis maka pesantren harus terus-terus mengembangkan wacana ini, selain bagaimana mengubah pola pikir masayarakat pesantren terhadap pemahaman kesehatan reproduksi dan hak-hak reproduksi perempuan. Artinya pesantren selain kuat dalam pendidikan/ajaran mendasarkan teks dan realitas  tetapi juga bisa menjadi rumah sehat bagi para santri dan lingkungannya. Bagaimana pesantren bisa menyediakan lembaga konseling dan layanan kesehatan reproduksi.

Bagaimana Pesantren menggali dalam memperkenalkan isu keluarga berencana dan isu kesehatan reproduksi ini ?

Apabila berbicara pesantren, tentunya ada santri, ustadz dan ustadzah. Apabila berbicara santri perempuan sangat dekat dengan persoalan–persoalan kesehatan reproduksi. Mulai dari mengidentifikasi persoalan apa yang dialami oleh perempuan;  seperti keputihan, menstruasi tidak lancar. Lalu bicara bagian-bagian tubuh, misalnya ada  yang mengalami sakit di bagian vagina. Soal-soal dari dirinya sendiri ini kemudian  ditarik menjadi konsep kesehatan reproduksi dan hak reproduksi.  Di pesantren, wacana soal perkawinan dini, konsep perjodohan/ijbar, menjadi hal yang hangat  ketika diperbincangan, tinggal bagaimana mengaitkan dengan persoalan hak dan kesehatan reproduksi. Bagaimana santri-santri dikawinkan secara usia muda dan tidak tahu calon pasangannya. Proses menuju kehamilan dan hubungannya dengan kesehatan reproduksi,  dia sehat atau tidak. Apabila mereka menyampaikan, ”saya tidak senang, ketika saya malam pertama diajak hubungan seks, maka saya merasakan kesakitan”, ” saya merasa tidak ada kenikmatan sekian lama”, ”ketika saya hamil, saya bisa merasakan bahwa sebenarnya saya tidak siap dengan kondisi kehamilan saya  karena usia saya dan saya tidak tahu ilmu-ilmu kesehatan sehingga berakibat buruk pada kondisi kehamilan saya”.

Ini sebenarnya terkait dengan proses reproduksi  yang ada  dan kita selalu berdiskusi dengan mereka. Mulai dari proses perkawinan, dia dijodohkan, lalu ketika dia mau berhubungan seks dan dia tidak tahu sehingga dia tidak merasa enjoy sehingga dia merasa bahwa tidak ada kenikmatan, proses yang tidak sehat ini berakibat pada kehamilan yang tidak sehat pula. Hal-hal seperti ini kita diskusikan karena ternyata dia mengalami keguguran, ini terkait dengan kesehatan reproduksinya. Model-model ini dianggap penting di kalangan pesantren termasuk membahas isu poligami.  Ini menjadi wacana yang diperbincangkan terus menerus  sehingga menjadi hal yang tidak tabu dan dapat diterima.

Di kalangan laki-laki ketika berbicara soal kesehatan reproduksi tidak serumit perempuan, karena kesehatan reproduksi laki-laki enak-enak saja atau relatif lebih aman dan dia baru menyadarinya yang tidak enak ketika baru memiliki penyakit seksual. Pengalaman laki-laki dengan mimpi basah hingga hubungan seksual selalu indah dan indah. Dua hal ini yang menjadi wacana yang terus-menerus di kalangan santri-santri.  Ini merupakan sesuatu yang penting agar  ketika santri perempuan dan laki-laki menikah nantinya dia bisa mendialogkan soal hak dan kesehatan reproduksi ini dengan pasangannya termasuk perencanaan berkeluarga yang maslahah.

Upaya apa saja yang sudah dilakukan dalam membangun kesadaran masyarakat tentang KB dan kesehatan reproduksi?

Pengalaman saya menemani para Badal Kiai/Nyai dan sharingnya para ulama perempuan dari berbagai wilayah, upaya untuk membangun kesadaran atas kesehatan dan hak reproduksi di lingkungan pesantren telah dilakukan dan ada beberapa kitab  dasar yang dijadikan bahan ajar. Misalnya Sullam Taufiq, Safiinatun Najah. Pesantren juga berkolaborasi  dengan RAHIMA, FATAYAT NU, MUSLIMAT NU, AISYIAH, NASYIATUL AISYIAH, PKBI, dan beberapa lembaga negara misalnya Departemen Kesehatan, BKKBN dan Departemen Agama dalam upaya mengembangkan wacana kesehatan dan hak reproduksi.

Jadi tidak hanya rujukan tekstual kitab, tetapi dokumen-dokumen lain berkait dengan isu kesehatan telah dikenalkan di pesantren. Beberapa pesantren juga telah mengenal tentang beberapa keseopakatan internasional tentang kesehatan dan hak reproduksi, misalnya keputusan tentang pertemuan Kairo (ICPD) dan juga pertemuan Beijing 1995 tentang kerangka aksi 12 isu kritis, diantaranya berkait dengan kesehatan reproduksi.

Apa saja isu-isu seputar KB dan kesehatan reproduksi yang masih kontroversi di kalangan muslim?

Ukuran kontroversial biasanya sensitif jika dibicarakan, mendapatkan reaksi keras.  Hasil kajian kami dengan para Badal Kiai/Nyai saat beraktifitas di YKF diantaranya  adalah masalah poligami, ijbar, mut’ah, aborsi, pernikahan dini, kekerasan terhadap perempuan, HIV-AIDS.

Berkaitan dengan soal teks, kira-kira teks-reks Alqur’an dan hadis yang manakah yang bisa dipandang sebagai faktor pendorong  maupun faktor penghambat  pelaksanaan KB ?

Kalau konsep pendorong sebenarnya teman-teman selalu mengaitkan dengan prinsip Islam dan kalimat ’rahmatan lil alamien.’ Wamaa arsalnaaka illa rahmatan lil alamien menjadi landasan dimana ketika teman-teman mendialogkan Islam adalah setara, egaliter, toleran, anti kekerasan. Ketika Islam prinsipnya adalah anti kekerasan;  maka  apakah perencanaan berkeluarga tidak terjadi apakah ini tidak menyakiti salah satu pihak? Prinsip ini  yang sering digunakan di kalangan pesantren.  Meskipun,  yang menolak berargumen bahwa istri adalah orang kedua, karena laki-laki   adalah pemimpin,  dan itu kemudian  menjadi bentuk hegemoni yang dijustifikasi dengan memakai QS. Al-Nisa’: 34 sebagai rujukan. Termasuk pandangan bahwa tubuh perempuan adalah aurat, jumlah anak merupakan keputusan kepala keluarga dalam hal ini laki-laki. Bagaimana kita menarik bahwa prinsip Islam itu setara, Islam dekat dengan persoalan sosial dan menggunakan prinsip musyawarah, Muasyarah bil ma’ruf, kita mesti menariknya ke sana sehingga publik bisa menerima konsep KB.

Apa harapan Mbak Ruchah tentang perbaikan  kondisi kesehatan di masyarakat pada umumnya ?

Menurut saya persoalan kesehatan ini adalah persoalan semua, tanggung jawab masyarakat, tanggung jawab Negara. Secara individu  kita harus menjaganya karena ini hak dasar. Apabila berbicara hak kesehatan reproduksi tentunya masyarakat kita harus paham, harus mengenali dengan baik isu dan ilmu dan kesehatan reproduksi ini serta hak-hak reproduksi karena agama juga menjamin hak-hak reproduksi perempuan. Misalnya, selama ini  argumen yang banyak disampaikan kawan-kawan tentang bagaimana perempuan sedang hamil, menyusui  dimana agama harus menjaminnya.  Kalimat ”wahnan alaa wahnin wa fishaluhu…..” dan seterusnya menunjukkan bahwa meskipun kondisi tubuh perempuan beda-beda kekuatannya tetapi agama harus memperhatikan dan melindungi. Model ini sebenarnya menjadi pijakan di kalangan pesantren. Kita juga mesti selalu mewacanakan ini di rumah, termasuk di keluarga sebagai elemen terkecil Negara bahwa internalisasi kesadaran dan pemaknaan pesan agama utamanya dalam kehidupan keluarga. Para anggota keluarga mengenali, memahami, dan saling melindungi atas hak kesehatan reproduksi. Kalau perempuan memiliki peran reproduksi dan hak reproduksi ini  harus  dilindungi  dan dihormati mulai dari tingkatan keluarga.

Bila berbicara  dalam konteks Negara, semestinya tercermin dalam program dan kegiatan pusat-pusat kesehatan, lembaga pendidikan. Kalau melihat konteks masyarakat mayoritas miskin maka Negara harus menyiapkan pusat-pusat pelayanan kesehatan gratis atau mudah terjangkau secara finansial ataupun lokasi karena kesehatan adalah hak dasar manusia. Misalnya program pemerintah tentang jaminan kesehatan  masyarakat miskin (jamkesmas)  sebagai bagian dari perlindungan hak kesehatan, tetapi praktiknya belum memadai dan ada perlakuan diskriminatif bagi pasien jamkesmas dengan pasien lain.

Terakhir, apa harapan mbak Ruchah kepada pesantren  terutama terkait dengan soal KB, kesehatan reproduksi dan perbaikan kesehatan masyarakat ?

Pesantren  harus aware, responsif dan kemudian menginternalisasi semangat sebagai lembaga pengembang atau perubah pola pikir  masyarakat dan pengembang syariah, karena teks agama itu dinamis dan pro kemanusiaan.  Pesantren tidak hanya mewacanakan teks keagamaan yang responsif dan sensitif pada masalah sosial kemanusiaan termasuk masalah kasus-kasus kekerasan reproduksi, tetapi bisa menjawab dan menjadi contoh dalam penanganan atau perlindungan bahkan sampai pemulihan korban kekerasan atau pelanggaran HAM. Misalnya pesantren selain sebagai lembaga pendidikan juga menerima konseling atas kasus-kasus sosial kemanusiaan, misalnya masalah kekerasan dalam rumah tangga, hingga penyediaan layanan kesehatan reproduksi dan pemulihan trauma bagi korban.  Dengan pola ini, maka pesantren adalah sebagai lembaga pendidikan agama, pencetak ulama yang ramah terhadap masalah sosial kemanusiaan. Sekiranya disekitar pesantren mayoritas masalahnya adalah kasus-kasus kekerasan perempuan, masalah  kesehatan dan hak  reproduksi yang terabaikan oleh sosial ataupun negara, maka  pesantren tidak boleh tinggal diam. Sikap proaktif, responsif baik melalui kajian hingga respon nyata sebagai upaya menjalankan mandat penggerak sosial dan mendialogkan teks keagamaan yang tidak mandeg. Bagaimanapun dalam kitaran pesantren adalah lekat dengan masalah sosial dan masalah kesehatan reproduksi, misalnya isu keluarga berencana (KB), keputihan, penyakit menular, kudis hingga masalah poligami, perkawinan dini dan kepemimpinan perempuan. {} Ning

Similar Posts:

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here