Oleh: AD.Kusumaningtyas
‘Banyak anak banyak rejeki’, ana dina ana upa (ada hari, ada nasi), setiap anak yang lahir membawa rejekinya sendiri-sendiri, sebuah ungkapan yang dulu amat popular di kalangan masyarakat kita. Oleh karena itu, sekitar tiga hingga lima dasawarsa yang lalu, rata-rata jumlah anak yang dimiliki oleh setiap keluarga amatlah banyak. Seorang perempuan bisa melahirkan antara lima hingga lima belas anak.
Namun, situasi itu tak hanya terjadi dulu. Saat ini, situasi itu masih terjadi. Salah seorang mantan anggota DPR (Hj.Yoyoh Yusroh almarhumah) berputra sebanyak 13 orang. Bu Yoyoh sempat melontarkan pendapat bahwa program Keluarga Berencana (KB) yang dicanangkan oleh pemerintah merupakan salah satu bentuk pelanggaran HAM.
Sementara, Ibu Eros, seorang perempuan berprofesi sebagai pedagang kue dari Purwakarta yang merupakan istri dari bapak Asep, seorang tukang becak telah melahirkan anak sebanyak 25 kali. Ibu Eros bukannya tak pernah mencoba ber-KB. Ia pernah menjalani program KB ini namun selalu mengalami kegagalan. Bahkan setiap tahun, ia bisa melahirkan 2 kali.
Kedua fenomena di atas merupakan sebuah refleksi tentang bagaimana program Keluarga Berencana (KB) ini dipahami oleh berbagai kalangan masyarakat dan bagaimana implementasinya di lapangan. Program KB sempat booming ketika Orde Baru, walaupun ditanggapi dari dua sisi; dipuji dan dibenci. Namun, ketika pemerintahan berubah pada era yang disebut dengan reformasi ini, isu tentang KB jarang terdengar kabarnya lagi. Oleh karenanya, penting bagi kita untuk kembali melihat apa dan bagaimana KB selama ini dan apa kaitannya dengan persoalan kesehatan reproduksi.
Refleksi Sejarah Keluarga Berencana: Ide Pembatasan Kelahiran
“Dua anak cukup!” Itulah slogan yang sempat berkembang cukup luas pada masa Orde Baru. Dengan mudah kita dapat menemukannya di balik koin pecahan Rp 5,- yang diterbitkan oleh Bank Indonesia pada tahun 1974, atau di gapura-gapura desa, dan lain-lainnya. Program KB memang sangat populer pada masa orde baru. Pada 1987, Pemerintah Indonesia pernah mendapatkan penghargaan dari PBB atas keberhasilannya di bidang kependudukan dan KB. Ketika itu Presiden Soeharto diundang ke New York, AS untuk menerima penghargaan tersebut.
Padahal upaya untuk memperoleh penghargaan tersebut juga dilakukan dengan cara-cara paksa melalui sterilisasi maupun penggunaan suntikan Depo Provera secara diam-diam yang dilakukan di Timor. Depo-Provera adalah suatu jenis obat yang diberikan dengan cara injeksi yang berfungsi sebagai pencegah kehamilan untuk jangka waktu 3 bulan dan diberikan suntikan kembali tiap 3 bulan. Selain itu, pendekatan Keluarga Berencana yang dilakukan memang mentargetkan perempuan sebagai ’pemilik rahim’ untuk menjadi akseptor KB. Namun, terlepas bagaimana cara perempuan dilibatkan untuk menjadi akseptor, sejatinya melalui ’kontrol atas alat-alat dan peran reproduksi mereka’ itulah, negara berhasil mengatasi persoalan peledakan jumlah penduduk.
KB sendiri dalam makna pembatasan jumlah kelahiran telah dikenal cukup lama. Pembicaraan soal ini terkait erat dengan aspek-aspek kependudukan yang amat penting. Antara lain : 1) jumlah besarnya penduduk; 2) jumlah pertumbuhan penduduk; 3) jumlah kematian penduduk; 4) jumlah kelahiran penduduk; dan 5) jumlah perpindahan penduduk. Dan orang yang pertama mengemukakan teori mengenai penduduk adalah Thomas Robert Malthus yang hidup pada tahun 1776 – 1824. Dalam edisi pertamanya Essay on Population tahun 1798 Malthus mengemukakan dua pokok pendapatnya yaitu; a) Bahan makanan adalah penting untuk kehidupan manusia; dan b) Nafsu manusia tak dapat ditahan.
Malthus juga mengatakan bahwa pertumbuhan penduduk jauh lebih cepat dari bahan makanan. Akibatnya pada suatu saat akan terjadi perbedaan yang besar antara penduduk dan kebutuhan hidup. Dalil yang dikemukakan Malthus yaitu bahwa jumlah penduduk cenderung untuk meningkat secara geometris (deret ukur), sedangkan kebutuhan hidup riil dapat meningkat secara aritmatik (deret hitung). Artinya, suatu hari akan terjadi ledakan jumlah penduduk yang diakibatkan oleh ketidakseimbangan antara banyaknya jumlah manusia dan terbatasnya pangan yang tersedia akibat semakin menyempitnya lahan.
Menurut Malthus ada faktor-faktor pencegah yang dapat mengurangi kegoncangan dan kepincangan terhadap perbandingan antara penduduk dan manusia yaitu dengan jalan preventive checks seperti upaya menghambat jumlah kelahiran melalui moral restraint dengan cara : 1) Penundaan masa perkawinan; 2) Mengendalikan hawa nafsu; dan 3) Pantangan kawin. Serta positive checks yaitu faktor-faktor yang menyebabkan bertambahnya kematian seperti karena : 1) Bencana Alam; 2) Wabah penyakit; 3) Kejahatan; 4) Peperangan.
Sejatinya, upaya untuk mengurangi jumlah penduduk telah dilakukan oleh manusia sejak zaman dahulu kala. Pertama, dengan berbagai cara untuk menolak kelahiran anak yang tidak diinginkan. Seperti membunuh bayi yang baru lahir (yang terjadi di berbagai negara pada masa lalu seperti Yunani purba, Arab jahiliyah, Tiongkok kuno dan Mesir kuno); atau melakukan aborsi (pengguguran kandungan); yang bila dilakukan secara tidak aman misalnya menggunakan jamu-jamuan atau dipijat oleh dukun, nyawa si Ibu juga ikut terancam. Selain itu juga dilakukan melalui cara mencegah atau mengatur kehamilan dengan penggunaan alat kontrasepsi ataupun tanpa menggunakan alat kontrasepsi seperti memakai metode pantang berkala maupun senggama terputus (’azal).
Perkembangan berikutnya, upaya untuk ’mengatur kelahiran’ ini juga diperkenalkan oleh Maria Stoppes (1880-1850), seorang bidan yang hidup dalam lingkungan kaum buruh di Inggris. Mengatur kelahiran ini berarti membatasi kelahiran atau juga yang berarti membatasi jumlah besar kecilnya keluarga sesuai dengan kemampuan dan kesadarannya sendiri. Maria memperkenalkan penggunaan cara-cara kontrasepsi yang sederhana ada waktu itu; seperti cara pemakaian kondom maupun metode pantang berkala.
Selain Maria, dikenal juga nama Margareth Sanger (1912), seorang perawat kandungan di Rumah Sakit di New York. Salah seorang pasiennya bernama Saddie Sachs meninggal dunia setelah melakukan pengguguran kandungan dengan paksa karena dia tidak tahu bagaimana caranya mengatur kehamilan. Dari pengalaman-pengalamannya sebagai juru rawat, Margareth Sanger mengetahui betapa hausnya ibu-ibu akan informasi mengenai mengenai kontrasepsi karena terbatasnya kondisi ekonomi, kesehatan dan sosial mereka. Dengan segala resiko, ia terjun kedalam gerakan Birth Control America pada tahun 1912. Tetapi karena ia sendiri tidak mempunyai pengetahuan mengenai metode-metode kontrasepsi, maka ia pergi ke Eropa untuk mempelajari pengetahuan di bidang kontrasepsi tahun 1913. Sekembalinya dari Eropa, ia menerbitkan jurnal “The Women Rebel” (Pemberontak Perempuan). Tulisannya tentang keluarga berencana, pertama kali diterbitkan dalam “The Women Rebel” tahun 1914, ia menggunakan istilah Birth Control, dan terbitan yang dikirim melalui pos (persatuan Comstock) ini dilarang beredar. Namun sesudah bersusah payah mencari orang yang berani menerbitkannya, buku Margareth Sanger yang berisi metode-metode kontrasepsi yang berjudul “Family Limitation” (Pembatasan Keluarga) berhasil diterbitkan tahun 1914.
Dari berbagai penuturan di atas, isu KB pada awalnya memang dipicu oleh pandangan Robert Maltus untuk mengendalikan laju pertumbuhan penduduk dunia melalui pengendalian kelahiran. Pada awalnya, konsep KB memanglah pengendalian kelahiran (birth control). Namun, seiring dengan perkembangan wacana tentang ”hak asasi manusia”; termasuk di dalamnya tentang ”hak-hak reproduksi”; konsep ini akhirnya berkembang menjadi perencanaan keluarga (Family Planning).
Di lapangan, konsep KB ini sendiri memang terbagi menjadi 2, yaitu:
a. Birth control
Metode ini dilaksanakan dengan penekanan jumlah anak atau menjarangkan kelahiran sesuai dengan situasi dan kondisi suami istri. Dalam bahasa Arab metode ini identik dengan Tahdiid al-Nasl (membatasi keturunan).
b. Planning parenthood
Pelaksanaan metode ini menitikberatkan kepada tanggung jawab orang tua untuk membentuk kehidupan rumah tangga yang aman, dan tenteram meskipun tidak dengan jalan membatasi anggota keluarga. Dalam bahasa Arab metode ini diterjemahkan sebagai Tandzim al-Nasl (mengatur keturunan).
Baca Juga:
Fokus 2: Memahami Praktik KB di Indonesia: Perkembangan dari Masa ke Masa
Fokus 3: Islam dan Keluarga Berencana : Pandangan Yang Beragam