Islam sangat menekankan ajaran persamaan dan persaudaraan antar sesama umat manusia tanpa memandang suku bangsa, warna kulit, keturunan, letak geografis, dan status sosial. Di dalam al-Qur’an surat Hujurat (49): 13 disebutkan: “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan serta menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal. “

Namun, dalam kenyataannya, berbagai praktek diskriminasi dan marginalisasi atas dasar perbedaan warna kulit, ideologi, agama, status sosial, dan seterusnya terjadi dimana-mana. Bahkan tidak jarang, ajaran agama seringkali dijadikan legitimasi untuk membenarkan berbagai tindakan tersebut sebagaimana yang terjadi akhir-akhir ini di Indonesia.

Dalam masyarakat majemuk seperti Indonesia, agama dapat menjadi faktor pemersatu atau integrasi. Namun, dalam beberapa hal, agama sangat berpotensi menjadi kekuatan disintegratif, yakni mudah disalahgunakan sebagai alat pemecah-belah. Sejumlah kajian keagamaan menyimpulkan, pelanggengan konflik itu sama-sekali tidak bersumber dari watak agama murni, tetapi berasal dari pemikiran, pemahaman, dan interpretasi keagamaan yang sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor sosio-historis dan sosio-politik. Karena itu, muncul pemikiran akan perlunya rekonstruksi penafsiran ajaran agama, termasuk Islam.

Berkaitan dengan konflik keagamaan di tanah air, salah satu penyebabnya adalah pemahaman yang sempit dan dogmatis terhadap agama. Sebagian orang menganggap bahwa pengetahuan mereka tentang agama adalah yang paling sahih dan benar. Jika ada suatu kelompok yang berbeda pendapat dengan yang mereka anut, maka serta merta pendapat yang berbeda itu akan dianggap salah, sesat dan menyimpang.

Padahal, perbedaan adalah bagian dari sunnatullah. Bukankah dalam Islam sendiri, diajarkan bahwa manusia itu diciptakan dengan bentuk dan rupa yang berbeda agar mereka saling mengenal dan mengasihi satu sama lain, sehingga tercipta kerukunan diantara mereka (al-Hujurat: 13)? Ajakan yang mengajak kepada kerukunan itu terdapat juga pada agama-agama lain. Pada dasarnya, setiap agama menginginkan agar pemeluknya dapat hidup rukun meskipun dengan orang yang berbeda agama.

Menyikapi berbagai konflik agama yang ada, tampaknya upaya dialog masih merupakan alternatif solusi tepat untuk mendewasakan umat beragama. Dalam hal ini para pemuka agama memiliki peran penting untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas dari dialog itu sendiri. Di samping itu, para pemimpin agama juga berkewajiban mendampingi umatnya dalam proses pendewasaan keberagamaan mereka, termasuk bagaimana mempromosikan nilai-nilai perdamaian bagi umat manusia. Poin ini perlu ditegaskan, sebab Islam diturunkan oleh Allah untuk menciptakan situasi harmoni dan saling menghormati diantara anggota sesama umat beragama. Islam berasal dari kata salima yang berarti keselamatan dan keterhindaran dari segala yang tercela dan nasib buruk. Karenanya, secara teologis, Islam merupakan rahmat bagi alam semesta (rahmatan lil ‘alamin).

Lalu, apa kemudian peran kalangan perempuan? Dalam upaya merajut perdamaian di tengah tantangan kehidupan beragama dan potensi konflik antar umat beragama, tidak ada pilihan lain bagi para perempuan Muslimah kecuali berperan sebagai mediator dialog dalam masyarakat. Dalam hal ini, para pemuka agama perempuan  mengemban tugas berat untuk memformulasikan teologi perdamaian yang sangat dibutuhkan bagi kehidupan masyarakat yang majemuk di negeri ini. Wallahu a’lam. (Riri Khariroh)

Baca Juga:

Fokus 1: Merajut Yang Terkoyak: Seputar Perempuan dan Pembangunan Perdamaian (Peacebuilding)

Fokus 2: Perempuan: Agen Perdamaian yang Ter/Di-lupakan

Similar Posts:

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here