K.H. Mohammad Dian Nafi’ atau Pak Dian, demikian sang kyai biasa disapa santri-santrinya, lahir di Sragen pada 4 April 1964. Ia adalah anak ketiga dari delapan bersaudara. Ayahnya, K.H. Ahmad Djisam Abdul Mannan, merintis Pesantren An-Najah, Gondang, Sragen, Jawa Tengah, yang kini diasuh kakak iparnya. Sementara kakeknya, K.H. Abdul Mannan, adalah pendiri Pesantren Al-Muayyad, Mangkuyudan, Surakarta, salah satu pesantren Al-Quran yang terkenal di Solo. Saat ini, Pak Dian adalah pengasuh Pesantren Mahasiswa Al-Muayyad Windan, Makamhaji, Sukoharjo, yang merupakan cabang Pesantren Al-Muayyad Mangkuyudan, Surakarta.

Pak Dian adalah sosok Kyai yang unik karena menekuni isu perdamaian dan rekonsiliasi konflik. Tahun 2000-2003, bersama timnya, Pak Dian diterjunkan ke tengah medan konflik berkekerasan di Provinsi Maluku, Maluku Utara, Sulawesi Tengah, dan Sulawesi Utara, untuk mendampingi pihak-pihak yang bertikai dalam proses perdamaian. Pertemuannya dengan beberapa tokoh rekonsiliasi kemudian membawanya bergabung dalam Tim Independen Rekonsiliasi Ambon (TIRA), Tim Pemberdayaan Masyarakat Pasca-Konflik (TPMPK) Maluku Utara, dan lembaga-lembaga lain, misalnya Pusat Studi Keamanan dan Perdamaian (PSKP) Universitas Gadjahmada, Pusat Studi dan Pengembangan Perdamaian (PSPP) Yogyakarta, Pusat Pemberdayaan untuk Rekonsiliasi dan Perdamaian (PPRP) Jakarta, Crisis Centre Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, Common Ground Indonesia, dan sebagainya. Lulusan Pendidikan Kader Ulama Majelis Ulama Indonesia (PKU MUI) tahun 1997-1998 ini sering mengikuti event-event internasional seperti Forum Education in Religion for Communitiy Consultation di Agia Napa, Siprus (2001), Disaster Management Training di Africa University, Mutare, Zimbabwe, (2001), Asia Africa People Forum di Kolombo (2003), Indonesia Pesantren Program di Amherst, Massachusetts, USA (2003), dan Summer Peace Building Institute di Harrisonburg, Virginia, USA (2005).

__________________________
”Islam dan Tantangan Perdamaian di Indonesia”

Q : Menurut anda, bagaimana Islam berbicara tentang persoalan perdamaian?

Islam membangun perdamaian melalui empat jalur: keadilan, kebenaran, keluhuran, dan kedamaian. Gerakan keadilan terlihat jelas dalam pasal-pasal Piagam Madinah. Semua dendam di masa lalu yang terjadi antar kabilah diatur penyelesaiannya. Juga kesetaraan antar kabilah dan jaminan akan hak-hak dasar yang tadinya tenggelam di balik praktek hidup jahiliyah. Keadilan dikukuhkan sebagai gerbang terdekat kepada ketaqwaan (QS Al-Maidah: 8). Dan pesan tentang keadilan dapat kita jumpai dalam 39 ayat Alquran, mulai lingkup keluarga, masyarakat, bangsa, dan juga keadilan antar makhluk.

Gerbang kedua ke perdamaian adalah kebenaran. Dasarnya bisa kita simak dalam firman-Nya “Allah tidak menyukai ucapan buruk, (yang diucapkan) dengan terus terang kecuali oleh orang yang dianiaya. Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui” (QS An-Nisa’: 148).

Gerbang ketiga perdamaian adalah keluhuran. Di sinilah spritualitas Islam tampak dengan ribuan butir akhlak terpuji. Sumber ajaran keluhuran adalah basmalah. Setiap hari kita membacanya paling tidak tujuh belas kali di dalam salat fardhu. Gerbang keempat menuju perdamaian adalah kedamaian. Di dalamnya terdapat ajaran tentang persaudaraan, silaturahmi (QS Ar-Ra’d: 21), keramahan pada perbedaan (QS Al-An’am: 108), dan tanggung jawab sosial melalui sedekah, zakat, infaq, hibah, dan wakaf.

Persaudaraan ke-Islam-an mengejawantah ke dalam tiga tataran, yaitu persaudaraan sesama Muslim (QS Ali Imran: 103 dan Al-Hujurat: 10), persaudaraan sebangsa (QS Hud: 50, QS An-Naml: 45, QS Al-Ankabut: 36), dan persaudaraan sesama manusia (QS Al-Hujurat: 13).

Q : Akar kata dari Islam, yaitu salima berarti keselamatan, tetapi mengapa banyak aksi-aksi kekerasan yang menggunakan Islam sebagai justifikasinya?

Saya berhutang budi kepada Almarhum ayah saya yang pada akhir tahun 1982 menghadiahi kesempatan membaca buku berjudul Islamuna karya Sayid Sabiq. Saat itu saya masih menikmati pelajaran Kelas Tiga Madrasah Aliyah di pesantren. Buku karya guru besar hukum Islam di Universitas Al-Azhar Kairo dan Ummul Qura Mekah itu menjelaskan empat sifat agama Islam. Pertama, agama wahyu (ad-din al-wahyi). Maksudnya, sumber ajaran agama Islam adalah wahyu (QS An-Nisa’ [4]: 163) termasuk yang dijelaskan oleh Nabi Muhammad saw melalui sunnah beliau (QS An-Najm [53]: 4). Kedua, agama keilmuan (ad-din at-ta’limi). Agama Islam menjunjung tinggi ilmu pengetahuan. Orang yang berilmu pengetahuan ditinggikan kedudukannya oleh Allah swt beberapa derajat (QS Al-Mujadilah [58]: 11). Ketiga, agama kemanusiaan (ad-din al-insani). Semua aturan agama Islam ditujukan untuk keselamatan manusia (QS Saba’ [34]: 38). Hukum wajib, sunah, halal, dan haram adalah demi kemaslahatan manusia. Maka, cara-cara yang manusiawi selalu menjadi spirit dalam dakwah Islam (QS An-Nahl [16]: 125). Keempat, agama kemajuan (ad-din al-ishlahi). Islam tidak mengajarkan orang terbelenggu ke dalam masa silam apalagi disertai perasaan dendam (QS Al-Hasyr [59]: 10). Ajarannya mendorong pembenahan segala bidang untuk membangun masa depan yang lebih baik (QS Al-Hasyr [59]: 18).

Rambu-rambu yang dipaparkan oleh Sayid Sabiq itu menjadi penting untuk masyarakat dewasa ini. Sebabnya adalah menguatnya gerakan-gerakan destruktif yang mengaitkan atau dikaitkan dengan umat atau tafsir atas ajaran Islam. Ciri-ciri gerakan destruktif ini adalah menyebarkan fanatisme sempit, padahal kekayaan khazanah intelektual Islam menyediakan wawasan luas. Gerakan itu juga menawarkan model solusi yang mengarah kepada radikalisme, padahal Islam adalah rahmat bagi seluruh alam.

Q : Mengapa konflik bernuansa agama terus saja muncul di Tanah Air?

Sentimen agama mudah dibawa untuk melipatgandakan dukungan di dalam situasi konflik komunal. Apalagi di era posmodernisme, agama sebagai kenyataan sosial di masyarakat tidaklah hadir sebagai entitas tunggal, melainkan dalam bentuk kelompok-kelompok sesuai aliran-aliran pemikiran keagamaan yang dianutnya. Masing-masing kelompok itu tampak menuntut representasi afektif yang setara tanpa dipandang dari segi mayoritas-minoritas dan mainstream (arus utama) atau bukan. Rupanya pergulatan kepentingan dan nilai-nilai di masyarakat kita sudah sedemikian ketatnya, sehingga memunculkan perbedaan lebih mudah daripada membangun kesepakatan.

Oleh karena itu kehadiran nuansa agama di dalam konflik komunal perlu dilihat lebih seksama, karena di lapangan masing-masing kelompok bisa memiliki sikap berbeda. Maksudnya, di dalam konflik komunal yang mencuatkan kesan sebagai konflik antara kalangan Kristiani dengan Muslim misalnya, namun sejatinya adalah konflik sosial antara kelompok-kelompok tertentu di dalam kedua kalangan itu.

Q : Bisakah anda menceritakan tentang pengalaman terjun di wilayah-wilayah konflik, seperti Ambon dan Poso?

Saya ikut dalam program singkat di Luwuk Banggai, timur Poso, tahun 2001. Dari pengalaman pendampingan di Ambon, Maluku Utara, Papua, Aceh, dan sebagainya, saya mendapatkan pelajaran yang sangat berharga. Kita tidak dapat mengubah pandangan warga masyarakat. Kita dapat menemani mereka bertindak positif. Kita dapat menemani mereka mengambil makna positif dari tindakan mereka sendiri. Dan kita dapat menemani mereka untuk menguatkan makna positif itu untuk menjadi pintu masuk pengembangan prakarsa mereka sendiri.

Dalam pengalaman itu juga terlihat bahwa mengupayakan titik temu tidak bisa dimulai dari apa yang sering disebut sebagai penyamaan persepsi. Kenyataannya kesamaan persepsi merupakan tahapan kesekian setelah warga masyarakat yang terlibat di dalam konflik komunal melakukan sejumlah kegiatan yang mereka rancang sendiri. Biasanya pertanyaan tentang masa depan menggugah warga masyarakat untuk memulai menggambarkan tujuan dalam jangka waktu yang kemudian bisa dirumuskan sebagai tujuan jangka pendek, menengah dan panjang.
Dalam jangka pendek, umumnya penghentian kekerasan adalah tujuan yang diharapkan semua pihak, termasuk warga masyarakat yang terjebak langsung ke dalam konflik komunal berkekerasan. Jika kesadaran ini telah terbangun, maka tahap selanjutnya adalah kesediaan untuk menerima prakarsa diplomasi ulang-alik. Para pihak yang masih terpisah, bersedia mengirimkan pesan melalui orang atau tim yang mereka percaya untuk disampaikan kepada pihak di seberang. Begitu pula sebaliknya.

Dalam hal ini, mediasi sangat penting. Misalnya, di Halmahera Utara, para pihak belum bersedia bertemu langsung untuk membicarakan konflik mereka. Tetapi melihat persoalan anak-anak dan para remaja tidak bisa sekolah secara normal, mereka setuju untuk bersama-sama mengadakan pelatihan pendampingan psikososial yang diikuti oleh para guru, tokoh agama, dan kalangan perempuan dari beragam usia. Istilah semacam trauma healing cepat mereka adopsi. Secara berangsur-angsur terbangunlah situasi saling percaya.

Pelajaran terpentingnya adalah perdamaian bukanlah hadiah dari pihak manapun, melainkan buah dari perjuangan para pihak sendiri di dalam mengupayakan perdamaian di antara mereka.

Q : Bagaimana peran para pemuka agama untuk membangun usaha-usaha resolusi konflik?

Resolusi konflik berkaitan dengan penghentian kekerasan. Manajemen konflik fokus kepada pemulihan hubungan. Dan transformasi konflik memperhatikan perihal pembangunan relasi sosial yang lebih adil. Dalam pengertian itu, maka resolusi konflik adalah tahapan awal dan membutuhkan kesegeraan di dalam pelaksanaannya. Ia merupakan program jangka pendek. Peran para pemuka agama di dalamnya menjadi sangat penting, terutama dalam melunakkan posisi para pihak yang ada di dalam wilayah pengaruh mereka dan mendukung aparat keamanan untuk bertindak tegas sesuai hukum.

Jika pengurangan kekerasan langsung itu berhasil, maka para pemuka agama perlu menindaklanjuti tahapan resolusi konflik berikutnya, yaitu transformasi relasi. Di tahapan ini penyembuhan trauma perlu didukung para pemuka agama. Operasionalnya bisa saja bekerja sama dengan para relawan terlatih dalam supervisi para ahli psikologi dan atau konseling. Biasanya dalam tahapan transformasi relasi ini persoalan keadilan terbayang sebagai tema yang mendesak. Para pemuka agama perlu mendampingi komunitasnya melacak akar penyebab konflik dan mendiskusikan perihal keadilan itu sesuai dengan aspirasi warga masyarakat.

Pada tahap selanjutnya, para pemuka agama sangat dibutuhkan untuk peningkatan kapasitas warga masyarakat. Berbagai pelatihan, lokakarya dan pengorganisasian masyarakat membutuhkan kesertaan penuh para pemuka agama, karena fungsi mereka sebagai pengayom masyarakat, pembimbing rohani, penggerak kegiatan kemanusiaan dan rujukan ajaran keagamaan. Pata tahap lanjut adalah pemantapan ketahanan masyarakat dalam mengelola konflik secara nirkekerasan.

Di sinilah kompetensi para pemuka agama untuk membantu masyarakat dalam menyelesaikan konflik secara bermartabat sangat dibutuhkan baik pada tingkat (1) tabayyun atau mengusahakan klarifikasi atau kejernihan sehingga terhindar dari kesalahpahaman; (2) musyawarah atau membahas persoalan untuk mengambil kesepakatan terbaik; (3) munadharah atau mengkaji dalil-dalil agama untuk memahaminya dari berbagai sudut pandang keilmuan agar mudah dilaksanakan sesuai dengan perkembangan konteks kemaslahatan; (4) ifta’ atau penetapan fatwa oleh para ulama dan atau pemutus perkara yang berwenang; (5) ishlah atau perdamaian dengan penengah yang adil; maupun (6) tahkim atau penetapan hukum oleh pihak yang berwenang.

Q : Bagaimana anda melihat kondisi kaum perempuan dan anak-anak di wilayah-wilayah konflik tersebut?

Perempuan biasanya menjadi korban berganda dalam setiap konflik komunal berkekerasan. Di satu sisi mereka berada dalam bahaya yang mengancam fisik dan mental. Di sisi lain, mereka sangat terikat dengan anak-anak dan kelangsungan hidup keluarga sehari-hari. Di saat para laki-laki masih berjuang untuk mempertahankan keamanan komunitas, para perempuan terjebak ke dalam kepanikan sembari harus melindungi anak-anak. Di saat para laki-laki sibuk membincangkan perihal perundingan dan syarat-syaratnya, kaum perempuan masih harus berjuang untuk mengusahakan air bersih dan kebutuhan dasar terkait seperti sanitasi, pangan, sandang, tempat tinggal, kesehatan, dan sebagainya.

Di saat perundingan mulai diagendakan, biasanya kalangan perempuan tidak masuk ke dalam prioritas wakil yang disertakan. Oleh karena itu di banyak kawasan kalangan perempuan membuat prakarsa sendiri. Yang mereka tempatkan sebagai tema pokok, bukanlah tentang konflik dan perundingan, melainkan persoalan riil dalam kehidupan sehari-hari seperti air bersih, bahan bakar, sanitasi, pangan, sandang, tempat tinggal, kesehatan, dan pendidikan anak-anak.
Jika ada orang yang tega menganggap bahwa perempuan adalah makhluk yang panjang rambutnya, tetapi pendek akalnya, maka ia perlu melihat kenyataan yang mencengangkan di lapangan konflik komunal berkekerasan. Di sana terbukti bahwa perempuan adalah makhluk yang paling tangguh dan peka kepada persoalan riil dalam hidup sehari-hari yang membutuhkan penanganan segera. Dan itu luar biasa besar sumbangannya bagi kelangsungan setiap keluarga.

Q : Bagaimana pandangan anda tentang  peran perempuan di dalam membangun perdamaian diantara pihak-pihak yang bertikai?

Kalangan perempuan tidak menunggu sampai ”perundingan resmi” dilangsungkan. Mereka sering mendahului semua proses itu dengan perundingan-perundingan kecil untuk membahas persoalan riil sehari-hari. Di Malifut dan Kao, Halmahera Utara, dikenal istilah rekonsiliasi alamiah yang di situ kalangan perempuan adalah pelaku utamanya. Pasar yang berlokasi di perbatasan kedua kecamatan itu menjadi media rekonsiliasi alamiah. Perkembangan itu memudahkan kalangan laki-laki untuk menempuh cara serupa, sehingga lambat laun rasa aman terbangun.

Di Ambon terbentuk Gerakan Perempuan Peduli (GPP) yang membuat pertemuan rutin mingguan meskipun beberapa ledakan bom rakitan masih terdengar di beberapa pelosok. Yang dibicarakan dalam pertemuan rutin adalah klarifikasi berita yang mereka terima dari mulut ke mulut. Hal ini sangat penting, karena tabayyun atau klarifikasi informasi berlangsung rutin dalam waktu singkat. Tidak heran jika aktifis GPP selalu memiliki informasi yang terbarukan, terutama juga karena agenda pertemuan rutin berkaitan dengan cara-cara yang memudahkan mereka mengelola persoalan keluarga dan membantu anak-anak dan para remaja mengisi waktu luang secara sehat dan edukatif.

Dari pertemuan rutin itu dihasilkan sejumlah prakarsa lanjutan, termasuk pelatihan singkat tentang mediasi. Di Tobelo dan Galela, Halmahera Utara, kalangan perempuan memprakarsai pelatihan pendampingan psikososial. Di Aceh, kalangan perempuan memprakarsai pelatihan pendidikan nirkekerasan atau dalam bahasa sebagian peserta disebut ”mendidik tanpa memukul”.

Q : Apa peran-peran kunci kaum perempuan?

Jika ditelisik lebih lanjut, maka kalangan perempuan sangat berperan di dalam tiga tataran penting. Pertama, resolusi kognitif; yaitu saat konflik harus dipahami sebagai kenyataan hidup dan di dalam situasi abnormal itu banyak hal harus dilakukan agar kehidupan berlanjut tanpa perlu menunggu kenyamanan. Dengan tindakan kalangan perempuan yang kongkrit itu, maka setahap demi setahap mereka dapat menyusun peta konflik yang semakin hari semakin lengkap dan rinci. Hal ini dapat menjelaskan, mengapa program kalangan perempuan biasanya dimulai dari hal kecil yang sederhana, kemudian semakin besar dan menentukan dari waktu ke waktu.

Kedua, resolusi emosional. Tahap ini ditandai oleh melunaknya emosi permusuhan yang diawali dengan sikap menerima kenyataan. Kesediaan untuk memaafkan bagi kalangan perempuan adalah bertahap-tahap. Oleh karena itu, pengampunan kalangan perempuan semakin berbobot dari waktu ke waktu. Dan hal ini menjadi penopang kewarasan emosional yang penting bagi masyarakat.

Ketiga, resolusi perilaku. Tahap ini terlihat dari adanya perbaikan perilaku. Kesediaan untuk berkomunikasi adalah awal yang penting. Dan kesediaan mendukung terlaksananya kesepakatan merupakan capaian akhir yang diharapkan. Kalangan perempuan sangat peka dengan gerak gerik atau perilaku orang-orang di sekitarnya. Oleh karena itu, dalam banyak kasus, kalangan perempuan mengukur keberhasilan prakarsa mereka terutama dari dampaknya pada perbaikan perilaku masyarakat sasaran.

Dengan karakteristik seperti itu kalangan perempuan dapat berbuat banyak dalam prakarsa pembangunan perdamaian, baik yang menyangkut bidang pemenuhan kebutuhan pokok, stabilitas mata pencaharian, pembangunan berkelanjutan, pemajuan kesadaran hukum, penguatan partisipasi perempuan dalam pemerintahan yang bersih, pemajuan kesetaraan dan pemberdayaan, maupun pengembangan kompetensi perdamaian.

Kesabaran kalangan perempuan dalam mengikuti proses menjadi catatan tersendiri. Tidak aneh jika muncul ide-ide kreatif terkait pembangunan perdamaian dari kalangan perempuan, misalnya thaharah for peace atau bersuci untuk perdamaian, parenting for peace atau pengasuhan anak untuk perdamaian, dan sebagainya. Ide-ide itu menunjukkan kepekaan kalangan perempuan dalam menangkap persoalan kunci yang perlu dibenahi agar perdamaian terjaga baik dan bermakna.

Q : Adakah perbedaan peran atau cara antara laki-laki dan perempuan di dalam pembangunan perdamaian?

Perbedaan pokoknya adalah dalam hal prioritas dan cakupan. Laki-laki mementingkan persoalan jangka panjang sebagai prioritas. Oleh karena itu laki-laki bersedia mencurahkan waktu dan perhatian secara ekstra untuk memahami persoalan, melacak akar penyebab masalah, dan mencermati implikasi dari setiap opsi penyelesaian. Model penyelesaian yang berjangka panjang dan bercakupan luas, termasuk dalam bentuk pelembagaan pilihan-pilihan penyelesaian, menjadi perhatian mereka sejak awal.

Dan kalangan perempuan mengutamakan persoalan jangka pendek, yaitu yang genting dan penting. Mereka memilih kegiatan yang bisa dilakukan sesegera mungkin untuk menolong keluarga dan masyarakat. Perempuan sabar bekerja rutin dan rinci. Implikasi yang rumit lebih mudah mereka tangguhkan pembicaraannya. Kadang-kadang mereka mudah menyepakati untuk mencatat hal-hal yang mereka tangguhkan itu. Untuk itu kalangan perempuan terlihat menempatkan perundingan terutama bukan sebagai media untuk mencari penyelesaian final dan menyeluruh, melainkan sebagai media untuk berbagi informasi dan sudut pandang. Dengan itu dapat dibangun situasi saling percaya untuk melakukan langkah lanjutan bersama.

Apakah peran perempuan untuk membangun culture of peace di area konflik cukup diakui dan diapresiasi?

Apresiasi peran perempuan dalam membangun budaya damai belum cukup diakui dan diapresiasi. Penyebabnya adalah pengaitan konflik komunal sebagai masalah di dalam dunia laki-laki. Kenyataan bahwa kalangan perempuan adalah korban berganda sekaligus perintis riil perdamaian di dalam setiap konflik komunal kurang mendapatkan perhatian. Mungkin karena pengungkapan kalangan perempuan tentang konflik komunal di ruang publik cenderung simbolik, maka terabaikan saja di tengah-tengah hiruk pikuk hard topic seperti pemekaran wilayah, korupsi, bencana alam dan terorisme.

Budaya damai dibangun melalui membangun habitat dan habitus, Habitat adalah hidup yang dijalani, yang diperjuangkan; dan habitus adalah hidup yang dipikirkan, yang dikonsepkan. Jika berangkat dari habitat maka kalangan perempuan dari kawasan yang pernah mengalami konflik komunal berkekerasan sudah sangat kaya dengan pegalaman. Strukturasi pengetahuan menjadi fokus program bagi mereka dan tentu bermanfaat bagi kalangan perempuan lainnya. Kalangan perempuan dari luar kawasan itu dapat belajar dari mereka. Muaranya sama, yaitu untuk membangun habitus.

Menurut anda, apa tantangan terbesar untuk membangun upaya-upaya peace-building di tanah air?

Tantangan terbesarnya adalah keengganan banyak pihak untuk mengakui banyaknya konflik di masyarakat kita. Konflik pun sering disederhanakan dengan cara dipandang hanya sebatas persengketaan yang dianggap selesai saat kekerasan berakhir. Padahal, konflik dapat dilacak akarnya sampai kepada persoalan kultural dan struktural yang masuk jauh ke dalam memori kolektif masyarakat. Ketidakadilan yang tidak terselesaikan di masa silam merupakan api dalam sekam. Seharusnya diselesaikan secara sistematis.

Peace building atau pembangunan perdamaian menjadi keniscayaan bangsa Indonesia, oleh karena menempatkan konflik tidak hanya sebagai kasus atau peristiwa belaka yang membutuhkan penanganan emergensi. Di dalam pembangunan perdamaian konflik terlihat sebagai kontinuum yang kadang-kadang berada dalam fase latensi atau tersembunyi, karena konflik dapat dikelola pada tingkat yang memenuhi rasa keadilan. Fase inilah yang hendak dicapai di dalam prakarsa pembangunan perdamaian agar konflik tidak bereskalasi menjadi kekerasan.

Tantangan berikutnya adalah kebiasaan berpikir untuk mengesahkan masa lalu (legitimizing). Masa lalu yang positif sering ditempatkan sebagai kebanggaan, padahal seharusnya ditempatkan sebagai tuntunan. Masa lalu yang negatif sering ditempatkan sebagai alasan pembenar untuk membiarkan perasaan dendam, padahal seharusnya ditempatkan sebagai hikmah dan pelajaran. Setelah kesadaran tentang masa lalu diperbaiki, masih perlu diimbangi dengan pola berpikir merancang masa depan (designing). Masa depan yang negatif perlu ditempatkan sebagai tantangan yang dijawab dengan program. Dan masa depan yang positif ditempatkan sebagai cita-cita.

Pembiaran terhadap kerentanan konflik di masyarakat juga bisa disebut sebagai tantangan. Kerentanan berisikan sisi-sisi lemah yang ada di dalam masyarakat; misalnya kemelaratan, kebodohan, keterbelakangan dan ketidakberdayaan.

Yang terakhir, Penguatan keluarga belum menjadi prioritas dalam pembangunan perdamaian, padahal keluarga merupakan benteng awal ketahanan masyarakat. Di sinilah segi-segi parenting atau pengasuhan anak perlu mendapatkan perhatian yang lebih seksama. []

 

Similar Posts:

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here