Kerakusan negara-negara kuat dan perusahaan global terhadap sumber-sumber ekonomi negara-negara berkembang tidak hanya mengancam inisiatif perdamaian dunia, tetapi telah menciptakan ‘perang modern’ yang tidak lagi simetris. Bukan hanya masyarakat sipil yang menjadi korban perang modern yang dikobarkan suatu negara terhadap negara lain, tetapi penduduk di berbagai belahan dunia lain ikut terlibat sebagai simpatisan negara atau kelompok tertentu dan menjadi pelaku dengan membunuh kaumnya sendiri yang dituduh antek-antek musuh yang mengancam.
Dalam suasana psikologi global seperti ini, pengembangan prinsip damai (peacebuilding) dalam Islam, sebagai antitesa dari praktik kekerasan yang dipromosikan sebagian kecil kalangan umat Islam, sedang menghadapi kendala dari dalam dan tantangan dari luar sekaligus. Kendala yang paling berat adalah beban tradisi, sebagaimana tradisi-tradisi agama lain, yang sarat dengan sejarah kekerasan dan peperangan. Sementara tantangan yang cukup nyata adalah globalisasi yang melahirkan fundamentalisme global akibat ketidakadilan global yang seringkali menyasar umat Islam.
Kendala dan tantangan ini semakin serius, karena telah memindahkan peperangan dari medannya yang konvensional ke ruang-ruang lain yang lebih kompleks dan tidak terduga. Bahkan masjid tempat ibadah yang disucikan, sebagaimana kasus bom bunuh diri di Masjid adz-Dzikro Cirebon dalam argumentasi yang disuarakan Forum Islam al-Busyro, bisa menjadi medan perang yang dianggap efektif untuk melumpuhkan antek-antek dan musuh-musuh dari dalam. Secara lebih khusus, Forum ini merujuk pada teks-teks Hadits jihad untuk melegitimasi aksi kekerasan tersebut.
Tulisan ini, sebaliknya, ingin mengeksplorasi bacaan dan pemaknaan terhadap teks-teks Hadits untuk inisiatif kehidupan damai, baik antar umat Islam, maupun antar umat manusia yang lebih luas. Jika peperangan dan kekerasan dianggap khas laki-laki, maka inisiatif perdamaian lebih dekat dengan perempuan dan sifat-sifat feminin dari setiap insan. Inisiatif ini, sekalipun didambakan setiap manusia, masih dianggap tidak menarik minat orang-orang dalam dunia yang masih didominasi nilai-nilai maskulin. Tetapi jika kita benar mendambakan kedamaian hidup, kita harus mengawalinya dengan mengembangkan perspektif damai dalam pembacaan kita terhadap tradisi Islam, yang menyimpan banyak dasar-dasar ajaran kedamaian dan kasih sayang.
Menolak Kekerasan dan Pembunuhan
Salah satu teks hadits yang dirujuk Forum al-Busyro untuk menjustifikasi kekerasan bom masjid Cirebon, adalah kisah surat Hathib bin Abi Balta’ah ra. yang dikirim ke Mekkah dan ditengah jalan dirampas Ali bin Thalib ra. dan dibawa ke hadapan Nabi saw. Hathib adalah seorang sahabat, ikut perang Badr, dan tinggal bersama Nabi saw dan kaum muslim yang lain di Madinah. Tetapi dalam suatu perang tertentu, Hathib justru mengirim surat ke orang Quraish Mekah mengabari tentang detail pasukan umat Islam dan persiapan mereka di Madinah. Ketika surat itu dirampas dari kurir yang dikirimnya, ia diinterogasi di depan Nabi saw.
Menurut Hathib, surat itu dikirim sebagai tawaran dengan harapan orang Quraish akan menjaga keluarganya yang tinggal di Mekah. Umar bin Khattab ra. mememinta dan menunjukkan kesiapannya mengeksekusi mati Hathib karena kecerobohan ini. “Biarlah aku penggal saja leher orang munafik ini”, kata Umar. Tetapi Nabi saw menolak permintaan Umar. Beliau bahkan berkata: “Dia turut serta dalam perang Badr! Apakah engkau tahu, kalau-kalau Allah swt meninggikan martabat orang yang turut serta dalam perang Badr, lalu Allah berkata: “Berbuatlah sekehendak kalian, kalian kuampuni…”. (Sahih Bukhari, Kitab al-Jihad (56), bab (141), no. Hadits: 3007).
Firman Allah swt dalam teks Hadits ini dijadikan argumentasi untuk menjustifikasi segala tindakan orang-orang yang dianggap sedang berjihad di jalan Allah swt, termasuk dengan membunuh seseorang yang dianggap kafir atau munafik di dalam masjid. Sehingga pelaku tidak hanya pantas diampuni, bahkan pantas untuk memasuki surga Allah swt. Pembacaan seperti ini meninggalkan kisah jalan damai yang nyata diambil Rasululllah saw dalam teks Hadis di atas. Dalam kisah ini, berbeda dengan para sahabat, terutama Umar, Nabi saw tidak memilih jalan kekerasan dengan mengeksekusi mati orang yang sudah nyata mengancam kedaulatan komunitas karena mengirim berita untuk pihak musuh.
Nabi saw justru mencari alasan agar Hathib, yang jelas bersalah, untuk tidak dijatuhi eksekusi mati yang menurut logika perang saat itu dan juga saat ini bisa dianggap wajar. “Jangan, bukankah Hathib ikut perang Badr, jangan-jangan ia sudah diampuni Allah swt”, demikian ketegasan Nabi saw memihak pilihan anti kekerasan dan mencari alasan yang tepat. Mengapa mereka yang mengaku pengikut Nabi saw sekarang, justru mudah menjatuhkan hukum mati, halal darah, dan bom bunuh diri untuk alasan-alasan yang bisa jadi lebih ringan dari yang dilakukan Hathib?
Usamah bin Zayd ra., pernah dibentak Nabi saw karena membunuh musuh yang sudah menyatakan “la ilaha illallah” dalam suatu peperangan tertentu. “Dia mengatakan itu tidak tulus dari hati. Itu pasti karena takut dan ingin menghindar dari pedangku”, kata Usamah. “Apakah kamu sudah membelah isi hatinya, sehingga berani mengatakan hal ini?, kata Nabi saw. Dalam kondisi perang yang sengit sekalipun, Nabi saw meminta para sahabat untuk tidak mudah menuduh, apalagi melakukan kekerasan atas dasar tuduhan itu. (Sahih Muslim, kitab al-Iman (2), bab (43), no. Hadits: 287).
Imam Suyuthi dalam kitab Jami’ al-Ahadîts menyebutkan, bahwa Hadis Usama di atas, selain riwayat Muslim, juga diriwayatkan ulama-ulama Hadits lain seperti Bukhari, Ahmad, Nasa’i, Abu Dawud, dan Ibn Hibban. Teks itu menjelaskan upaya Nabi saw untuk mencari alasan agar seseorang tidak mudah dibunuh termasuk dalam kondisi perang sedang berkecamuk. Seseorang yang mulutnya mengucapkan “Tiada Tuhan selain Allah” adalah haram dibunuh. Bagaimana sekarang dengan orang-orang yang mengaku muslim sejati, tetapi dengan mudah menghalalkan darah orang-orang muslim yang sudah melakukan banyak hal lebih dari sekedar ucapan “la ilaha illah”?
Dalam catatan semua kitab Sirah Nabawiyah, Abdulah bin Ubay bin Salul adalah gembong orang-orang munafik di Madinah. Berkali-kali berbuat onar, makar, memfitnah istri-istri Nabi saw, dan membuat gaduh pada perang Uhud sehingga mengalami kekalahan fatal. Suatu saat dia pernah mengatakan di hadapan kaum Ansar: “Kamu menerima dan melindungi orang-orang Quraish itu, sama halnya dengan pepatah Arab: “Anda memberi makan anjing yang akan memakan anda sendiri”. Ucapan itu sampai ke orang-orang Muhajirin dari Quraish dan mereka melapor ke Nabi saw.
Beberapa sahabat, lagi-lagi Umar di sini, meminta izin kepada Nabi saw untuk membunuh sang gembong tersebut. Lagi-lagi Nabi saw mengucapkan kata-kata yang sangat indah dan tidak banyak dicontoh: “Wahai Umar, saya tidak ingin didengar orang bahwa Muhammad tega membunuh sahabat sendiri”. (Sirah Ibn Hisyam, juz 2, hal. 291). Abdullah bin Ubay, dengan segala dosa-dosa itu, dan sebutan munafik di mata banyak sahabat Nabi, tetapi Nabi saw masih menganggapnya “sahabat” sebagai alasan untuk tidak mudah membunuh.
Ketika anak Abdullah bin Ubay merasa risih dengan tuduhan dan umpatan para sahabat mengenai ayahnya, dia datang menemui Rasulullah saw. “Wahai Rasul, semua telah mendengar perbuatan ayahku, aku tidak ingin ada orang mukmin yang membunuhnya lalu aku membencinya karena dia membunuh ayahku, lalu bisa jadi aku membalas membunuh orang mukmin tersebut, perintahkanlah aku yang membunuh ayahku sendiri”, kata anak Abdullah bin Ubay. Nabi saw dengan tegas mengatakan: “Tidak, kita bisa berbuat baik kepadanya selama dia masih hidup bersama dengan kita”. (Ar-Raudh al-Unuf, juz 4, hal. 17).
Menjadi muslim bagi sebagian orang, justru lebih gagah ketika berani meminta fatwa bunuh seperti Umar bin Khattab, mengeksekusi mati seperti Usamah bin Zayd, dan kesediaan membunuh ayahnya sendiri yang dianggap munafik seperti yang dilakukan anak Abdullah bin Ubay. Mereka justru lupa pada sumber teladan utama, Nabi Muhammad saw, yang justru menolak dan mencari berbagai alasan agar tidak terjadi kekerasan dan pembunuhan.
Baca Juga:
Dirasah Hadis 2: Membaca Hadis dengan Perspektif Perdamaian