Meskipun ayat-ayat Alqur’an dan hadis di atas menekankan pentingnya memperhatikan kesejahteraan ayah, ibu dan anak, terutama ibu ketika hamil dan melahirkan, sayangnya dalam realita masih banyak terjadi ketidakadilan gender dalam pelaksanaan keluarga berencana. Alih-alih dijadikan subjek yang dididik untuk dapat mengambil keputusan dalam perencanaan keluarga, perempuan seringkali dijadikan objek pemaksaan penggunaan alat kontrasepsi.

Awal tahun 1970-an ketika program KB diperkenalkan dan Indonesia merupakan negara terpadat penduduknya setelah China dan India,  masih ramai penentangan umat Islam, termasuk para ulama terhadap penggunaan alat kontrasepsi.  Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada tahun 1972 bahkan mengeluarkan fatwa yang mengharamkan penggunaan IUD sebagai alat kontrasepsi selama masih ada obat-obat atau alat kontrasepsi lainnya.

Pemerintah Orde Baru kemudian melakukan pendekatan kepada para ulama agar bisa bekerja sama dalam mensukseskan program KB. Maka pada Musyawarah Nasional Ulama tahun 1983 diputuskan bahwa boleh menggunakan IUD asal yang memasangnya adalah tenaga medis perempuan, kalaupun yang memasangnya terpaksa laki-laki, maka pemasangannya didampingi oleh suami atau perempuan lain, demikian menurut Masjfuk Zuhdi dalam buku Masail Fiqhiyah (1997). Dengan alokasi dana yang cukup besar dan usaha yang intense, pemerintah Orde Baru dinilai sukses dalam programnya mengurangi laju pertumbuhan penduduk di Indonesia. Namun di balik kesuksesan tersebut tidak sedikit kasus pelanggaran hak asasi manusia, terutama perempuan. Misalnya, tidak sedikit para pelaksana program KB membujuk para perempuan untuk menggunakan implant atau susuk sebagai cara termudah untuk ber-KB karena pemakaian alat tersebut hanya dimasukan ke lengan dengan operasi kecil. Sayangnya, tidak ada support system pasca pemasangan implant, sehingga tidak sedikit perempuan yang mengeluhkan efek samping dari pemasangan implant tapi sulit mendapatkan pelayanan medis untuk mengeluarkan susuk tersebut dari lengan mereka.

Selain itu, tidak sedikit perempuan Muslim yang merasa dirinya adalah milik suami setelah mereka menikah, sehingga merasa tidak berhak mengambil keputusan tanpa seizin suaminya. Contohnya terjadi pada salah seorang kenalan saya yang sekarang berusia 38 tahun, yang melahirkan anak hampir setiap dua tahun sekali. Ia nampak pucat dan lelah memiliki 5 anak laki-laki yang masih kecil-kecil.  Ketika saya tanyakan apakah ia tidak ingin ber-KB, ia menjawab bahwa suami melarangnya karena masih ingin memiliki anak perempuan. ”Bahkan ia meminta izin untuk menikah lagi supaya bisa memiliki anak perempuan. Tapi saya tidak mengizinkannya menikah lagi, pokoknya tidak! Sakit hati Bu, dengan pekerjaannya saja ia sudah jarang di rumah apalagi nanti kalau sudah menikah lagi.”

Saya menyarankannya pergi ke dokter untuk konsultasi tentang alat kontrasepsi yang cocok. Kalau sudah meminta izin dari suami tapi tidak diizinkan, saya katakan bahwa tubuhnya adalah miliknya sendiri, bukan milik suaminya, sehingga ia berhak menentukan kapan ia ingin atau tidak ingin hamil. Selain itu, saya informasikan bahwa yang menentukan jenis kelamin anak adalah pihak suami, bukan istri, sehingga ketika suaminya menikah dengan perempuan lain tidak ada jaminan bahwa ia akan mendapat anak perempuan. Saya merasa prihatin dengan nasibnya. Ia merasa tidak berdaya karena secara ekonomi bergantung pada suaminya yang bergelar Prof. Dr di bidang ilmu agama, sementara ia adalah tamatan Sekolah Menengah Atas.

Tidak menutup kemungkinan bahwa kasus serupa dialami banyak perempuan lain di Indonesia, yang merasa bahwa tubuhnya adalah milik suaminya dan tidak mengetahui hak-hak reproduksi perempuan. Yaitu bahwa perempuan berhak untuk memilih pasangan, menikmati hubungan seks, memiliki keturunan, menentukan kehamilan, merawat anak, cuti reproduksi (tidak berhubungan seksual atau melaksanakan shalat selama masa menstruasi) dan menceraikan pasangan. Mengetahui bahwa semua ini merupakan hak, bukan beban, dapat memperbaiki kualitas hubungan suami istri. Dan sebenarnya, pelibatan dan pemberdayaan perempuan dalam ber-KB adalah suatu keniscayaan dalam upaya mensukseskan perwujudan keluarga sejahtera dan bahagia.

Baca Juga:

Tafsir Alquran 1: Keluarga Berencana dan Pemberdayaan Perempuan

Tafsir Alquran 3: KB dan Pemberdayaan Perempuan

Similar Posts:

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here