Teks-teks Hadis adalah catatan kisah penggalan-penggalan momentum tertentu dalam kehidupan Nabi saw. Kisah ini awalnya diriwayatkan sebagai transmisi pengetahuan dari generasi ke generasi, kemudian dikumpulkan dan dibukukan. Periwayatan, pengumpulan, dan pembukuan teks-teks Hadis merupakan ijtihad ulama yang mencerminkan perspektif tertentu. Perspektif ini kemudian melahirkan pilihan-pilihan pasal, bab, dan tema terhadap teks-teks Hadis yang dikumpulkan. Dalam ilmu Hadis dikenal bahwa ‘perspektif Bukhari’ ada pada penamaan pasal dan bab-bab dalam kumpulan Hadis Sahihnya.
Tentu saja ada teks-teks Hadis mengenai hukuman dengan kekerasan, penyelesain konflik dengan peperangan, dan anjuran-anjuran serta motivasi untuk berlaga dalam medan perang. Tetapi banyak juga teks-teks mengenai pengampunan, penghentian dan pelarangan peperangan, penciptaan perdamaian, pelarangan kekerasan, berbaik kepada musuh, dan anjuran-anjuran serta motivasi untuk kerja-kerja sosial yang bisa mengalihkan pilihan perang dan kekerasan. Tetapi karena konteks sosial-intelektual yang ada, setiap generasi memiliki perspektifnya masing-masing, bahkan setiap mazhab, aliran, dan bahkan setiap ulama dalam membaca teks-teks Hadis tersebut.
Kata “JIHAD” misalnya, penelusuran sederhana terhadap kamus Hadis seperti al-Mu’jam al-Kabir karya ath-Thabrâni () dan Jâmi’ al-Ahâdits karya as-Suyuthi (), menunjuk pada konsep-konsep: perang fisik, ibadah haji, umrah, bekerja mencari rizki yang halal, menjaga kemandirian keluarga, penelitian pengetahuan, bahkan kerja-kerja domestik rumah tangga. Tetapi konteks tertentu telah membawa banyak orang hanya mengenal dan memahami ‘jihad’ sebagai konsep perang fisik dalam Islam.
Jika kisah Hathib bin Abi Balta’ah ra. di atas dipahami sebagai pengampunan total terhadap segala dosa seorang yang berjihad perang, bagaimana dengan teks Hadis yang justru dengan tegas membatalkan pahala jihad seseorang hanya karena ia mempersempit jalan, atau melukai perasaan seseorang? Imam Ahmad, Abu Dawud, dan ath-Thabrani meriwayatkan, bahwa dalam suatu perang tertentu berkata: “Barangsiapa mempersempit jalan dengan bangunan rumahnya, menutup jalan rapat-rapat, atau melukai seorang mukmin, maka pahala jihadnya hilang”. (Jâmi’ al-Ahâdîts, no. Hadits: 2280).
Meminjam analisis Mohammed Abu-Nimer dalam studi Islam dan perdamaian, ada tiga perspektif dalam pembacaan teks-teks Hadis, atau al-Qur’an, untuk isu-isu ini. Pertama perspektif jihad-perang, dimana teks-teks perang menjadi dasar memaknai teks-teks perdamaian. Dalam pembacaan ini, ajaran dan anjuran damai dalam Islam dipahami secara situasional dan sebagai strategi sosial politik mempersiapkan kekuatan internal, yang pada saatnya kemudian segala energi digunakan untuk melumpuhkan semua kekuatan musuh. Kedua perspektif damai-perang, dimana baik teks damai maupun teks perang dibaca pada konteks masing-masing. Dalam pembacaan ini, dianut sebagian besar pemikir modern muslim, perdamaian adalah prinsip dan peperangan hanyalah alat untuk mencapai dan memastikan perdamaian berjalan di muka bumi. Peperangan masih dianggap efektif pada masa sekarang dan akan datang, tetapi harus ditujukan untuk pertahanan dan penciptaan perdamaian. Karena itu, perang harus segera dihentikan begitu perdamaian disepakati. Perspektif ketiga adalah perspektif perdamaian yang mirip dengan kedua, tetapi ia lebih melokalisir efektifitas perang hanya pada masa pra-modern, sehingga teks-teks damai menjadi sumber utama pengenalan ajaran Islam masa depan. (Abu-Nimer, 2008, A Framework for Nonviolence and Peacebuilding in Islam, Singapore: MUIS).
Perspektif perdamaian, baik yang kedua maupun yang ketiga, dimana merupakan keniscayaan pada kehidupan kita sekarang, menuntun kita untuk menemukan prinsip-prinsip dan semangat hidup damai dari teks-teks Hadis yang sama yang dibukukan para ulama. Kita memiliki pilihan penuh untuk membacanya dengan perspektif kekerasan atau semangat kedamaian. Jika kita yakin bahwa esensi Islam adalah damai, sebagaimana secara etimologi adalah kedamaian dan kesejahteraan, maka tugas kita ke depan adalah justru membaca teks-teks Hadis untuk penciptaan dan pengembangan hidup damai, baik antar umat Islam maupun antar manusia.
Ada banyak fakta dari teks-teks Hadis yang mendukung perspektif ini. Pada umur 35 tahun, Nabi saw telah menginisiasi mediasi damai untuk konflik antar kabilah Quraish paska bencana banjir yang menghancurkan Ka’bah. Selama 13 tahun hidup di Mekah, da’wah Nabi saw menegaskan pentingnya kesabaran, jalan damai, dan tidak menempuh jalan kekerasan sekecil apapun dan dalam kondisi apapun. Konflik antara sahabat di Madinah, konflik rumah tangga Rasulullah sendiri, sama sekali tidak pernah diselesaikan dengan kekerasan. Ajaran-ajaran Nabi saw mengenai pengampunan, kesabaran, kesetaraan manusia, keadilan, kebaikan-kebaikan sosial, dan larangan-larangan menzalimi, menyakiti, mencederai seseorang, banyak sekali ditemukan dalam teks-teks Hadis yang direkam kitab-kitab rujukan.
Perspektif perdamaian akan memungkinkan inisiatif para perempuan pada masa Nabi saw akan diapresiasi sebagaimana apresiasi yang sementara ini diberikan pada sahabat laki-laki. Tuntutan mereka terhadap kehidupan rumah yang lebih baik dan tanpa kekerasan, tuntutan pendidikan yang layak, bahkan tuntutan perhatian dari wahyu langit atas kiprah perempuan, seharusnya diapresiasi sebagai sumber teladan dimana para perempuan generasi berikutnya bisa mengambil pelajaran untuk melakukan tuntutan yang sama dan hak-hak yang lain.
Jihad rumah tangga yang dilekatkan pada perempuan dalam suatu teks Hadis, seharusnya tidak dipahami sebagai domestifikasi perempuan. Tetapi lebih merupakan apresiasi Nabi saw atas kerja-kerja domestik, yang menjadi domain perempuan pada saat itu, dan sekaligus untuk menarik minat laki-laki. Pertama karena perempuan pada masa Nabi saw juga aktif dalam hal ekonomi, sosial, dan politik-perang. Kedua, karena Nabi saw sendiri, sebagaimana dalam Hadis Aisyah ra. riwayat Bukhari, di dalam rumah biasa melakukan kerja-kerja domestik.
Memang dari teks-teks Hadis yang ada, kita belum bisa mengatakan Islam telah mengembangkan secara eksplisit idiologi anti kekerasan. Para ulama juga belum secara signifikan mengembangkan perspektif perdamaian untuk kemanusiaan, terutama pada perspektif yang ketiga untuk antar penganut agama yang berbeda. Tetapi prinsip-prinsip ajaran damai bisa ditemukan dari teks-teks Hadis, karena itu pengembangan perspektif perdamaian adalah mungkin. Bahkan pengembangan ini merupakan keniscayaan pada konteks kita sekarang yang multikultural, dimana banyak umat Islam juga hidup sebagai minoritas, dan terutama untuk mengapresiasi keterlibatan perempuan. Perspektif pertama yang meminggirkan inisiatif perdamaian, akan membesar-besar kiprah-kiprah maskulin dan dengan sendirinya akan mendiskriminasi kiprah-kiprah sosial perempuan yang sebagian besar berada pada domain sosial, domestik, dan bersifat feminin.
Teks-teks Hadis, sebagaimana juga al-Qur’an dan teks-teks suci di agama-agama lain, bisa dibaca untuk perspektif kekerasan, atau sebaliknya untuk pengembangan hidup damai. Jika kita meyakini agama sebagai kekuatan sosial bagi umat manusia untuk pengembangan kehidupan masa depan yang lebih baik, adalah tugas kita bersama untuk memastikan bacaan kita terhadap sumber-sumber agama untuk menumbuhkan inisiatif damai, kerjasama, dan persaudaraan kemanusiaan. Untuk hal ini, kita harus belajar dari para perempuan masa Nabi saw dan kiprah-kiprah para perempuan muslim generasi berikutnya, dan generasi kita sekarang. Wallahu a’lam.[]
Baca Juga:
Dirasah Hadis 1: Islam, Perempuan, dan Pengembangan Inisiatif Perdamaian