“Adalah merupakan suatu kerugian yang sangat besar bagi bangsa dan masyarakat jika mereka mengabaikan peran dan suara perempuan dengan menutup kesempatan dan tidak memaksimalkan peran perempuan dalam proses perdamaian di Aceh.”

Pernyataan di atas diucapkan oleh seorang aktivis perempuan Aceh tentang proses perdamaian yang tengah berlangsung antara pihak GAM dan Pemerintah RI di dalam sebuah seminar tentang perempuan untuk perdamaian (women for peace) beberapa tahun lalu. Konflik di Aceh yang terjadi selama puluhan tahun diakhiri lewat sebuah nota kesepahaman atau Memorandum of Understanding (MoU) yang ditanda-tangani kedua belah pihak, GAM dan Pemerintah RI, di Helsinki, Agustus 2005. Nota ini menandai kehadiran perdamaian di bumi Nanggroe Aceh Darussalam setelah konflik yang berkepanjangan yang menelan korban yang tidak sedikit, termasuk perempuan.  Ironisnya, kaum perempuan tidak dilibatkan dalam proses perjanjian damai tersebut. Padahal, dalam setiap konflik atau perang, keterlibatan perempuan merupakan sesuatu yang inheren, baik sebagai korban, pejuang ataupun juru damai. Namun, perempuan seringkali dianggap bukan kelompok yang tepat untuk didengar, dihargai, ataupun diakui pandangan dan perannya di dalam menyelesaian konflik.

Dalam berbagai konflik di tanah air, perempuan sering mengalami beragam bentuk kekerasan, mulai dari kekerasan fisik, psikologis, hingga kekerasan seksual, baik terjadi di dalam rumah, di kamp pengungsian, maupun di tempat umum. Sebagai contoh, konflik yang terjadi di Poso menyebabkan banyak perempuan mengalami kekerasan seksual, seperti pemerkosaan, aborsi secara paksa, dan kehamilan yang tidak diinginkan akibat hubungan intim dengan aparat keamanan/militer. Namun, data kasus-kasus tersebut sulit sekali untuk diungkapkan sebab perempuan yang menjadi korban tidak kekerasan seksual pada umumnya takut dan enggan melaporkan karena takut dengan stigma sosial.   Di samping kasus-kasus kekerasan, konflik juga telah memaksa kaum perempuan untuk menjadi tulang punggung keluarga karena ditinggal mati oleh suami atau ayah mereka.

Permasalahannya adalah apakah dalam situasi konflik, kaum perempuan hanya menjadi korban yang pasif ataukah ada peran-peran strategis yang selama ini mereka mainkan? Ternyata, berbagai penelitian membuktikan bahwa kaum perempuan memiliki peran yang besar di  dalam proses penyelesaian konflik dan membangun kembali kehidupan yang telah hancur. Dari catatan salah satu action research yang dilakukan oleh Forum Pedul Perempuan dan Anak (FPPA) di wilayah Poso dan Ambon, perempuan mampu mengikis dan meredam derita lahir batin dan traumanya untuk segera bangkit kembali mengasuh anak-anaknya.

Dengan segala keterampilan yang dipunyainya, ibu-ibu yang banyak menderita karena kehilangan harta, suami dan sanak keluarga, dengan pinjaman di bawah satu juta rupiah, mereka berusaha secara berkelompok sebisanya untuk beraktivitas dan mencarikan rizki bagi anak-anaknya. Selain pinjaman untuk berusaha ini, kelompok ibu-ibu ini mendapat pendampingan dari kelembagaan masyarakat seperti Aisyiah, GKST (Gereja Kristen Sulawesi Tengah), YP2KSM (Yayasan Pusat Peduli Kesejahteraan Sosial Masyarakat), FPPA dan lain-lain, serta mendapat trauma konseling dari Trauma Center dalam bentuk konsultasi pribadi, kelompok, dan komunitas dalam bentuk “jembatan persahabatan”. Sungguh di luar dugaan dan sangat menakjubkan bahwa kelompok ibu-ibu ini, sesudah 2-3 tahun telah berhasil menjadi koperasi perempuan yang sukses. Hal ini mengindikasikan bahwa mereka telah pulih dan bahkan telah menjadi sumber daya manusia yang mumpuni.

Dengan aktivitas dan keberhasilannya itu, ibu-ibu telah membawa pengaruh yang nyata sebagai pembawa perdamaian (peace-agent). Perempuan yang telah pulih kembali hubungan sosialnya dan mampu menunjang kehidupan keluarga, mempunyai andil yang besar dalam meredakan dan mengurangi berbagai faktor yang dapat mengganggu ketahanan keluarga. Para suami dan remaja laki-laki yang biasanya emosional, karena kondisi keluarga sudah kembali tenang dan damai, sikap dan perilaku mereka pun berubah, tidak mudah lagi terpancing untuk terlibat dalam konflik yang berakibat pada tindak kekerasan. Kenyataan ini merupakan salah satu wujud nyata dari peran aktif kaum perempuan untuk merajut kembali kehidupan sosial yang telah terkoyak.

Berdasarkan pada fakta di atas, ketika mengkaji pengalaman perempuan dalam situasi konflik hendaknya harus dilihat dari berbagai sisi, misalnya perempuan sebagai korban; perempuan sebagai kombatan/pejuang; perempuan sebagai aktivis perdamaian; perempuan sebagai survivor; perempuan sebagai kepala rumah tangga, dan sebagainya.  Nah, tulisan ini mencoba melihat lebih jauh pengalaman perempuan sebagai agen perdamaian yang kiprahnya seringkali diabaikan, terutama oleh para penguasa.

Mengenal Isu Pembangunan Perdamaian (Peacebuilding)
Sebelum melihat lebih jauh peran perempuan di dalam membangun perdamaian, ada baiknya kita mengenal lebih dulu tentang isu ini. Apa sebenarnya makna dari “damai” itu?  Meskipun setiap orang boleh berbeda-beda memaknai kata damai atau dengan kata lain tidak ada definisi tunggal tentang kata “damai”, tetapi beberapa tokoh (scholars)  mendefinisikan kata damai sebagai berikut:

Menurut Reardon (1988) bahwa damai adalah ketiadaan kekerasan dalam berbagai bentuk, apakah itu bentuk fisik, sosial, psikologis, dan struktural. Bagi O’Kane pengertian Readon adalah pengertian yang menyederhanakan masalah, terlalu pasif dan tidak responsif terhadap cara bagaimana berdamai dengan masa lalu. Damai dalam pengertian di atas juga dapat berpotensi menyebabkan pengabaian terhadap perasaan ketidakpercayaan dan kecurigaan yang dimiliki oleh orang-orang yang terlibat dalam konflik (O’Kane, 1992).

Menurut Galtung (Woolman, 1985) damai memiliki dua wajah. Pertama, damai yang negatif. Damai yang negatif adalah ketidakadaan perang atau konflik langsung. Damai negatif membutuhkan kontrol kekerasan yang dilakukan oleh pemerintah melalui pengamanan dan perlindungan. Strateginya adalah melalui pemisahan, sehingga pihak-pihak yang berkonflik tidak bertemu satu dengan lain. Model ini dapat dilakukan dalam situasi konflik baru terjadi, tetapi untuk jangka waktu lama sebaiknya tidak dilakukan. Kedua, damai yang positif. Suasana dimana terdapat kesejahteraan, kebebasan, dan keadilan. Sebabnya, damai hanya dapat terjadi jika terdapat kesejahteraan, kebebasan, dan keadilan di dalam masyarakat. Tanpa itu tidak akan pernah terjadi kedamaian yang sesungguhnya di dalam masyarakat.

Selain tipe damai negatif dan damai positif, menurut Galtung, juga terdapat damai dingin (cold peace) dan damai panas (hot peace). Dalam damai dingin terdapat sedikit rasa kebencian diantara pihak-pihak yang bertikai tetapi juga kurangnya interaksi menguntungkan antar pihak yang dapat membangun kepercayaan, saling ketergantungan, dan kerjasama. Bagi damai panas, kerjasama aktif diperlukan untuk menjadi jembatan untuk memperbaiki masa lalu dan membangun masa depan. Hal ini membutuhkan titik temu (common ground) dan perhatian bersama terhadap masalah-masalah kemanusiaan yang dialami. Masalah-masalah kemanusiaan tersebut dapat berupa kemiskinan, hak asasi manusia, keterbelakangan pendidikan, persoalan kesehatan, diskriminasi, ketidakadilan, polusi tanah, air dan udara.

Berangkat dari pengertian damai diatas, istilah pembangunan perdamaian (peace building) sangat berbeda dengan pengertian pemeliharaan perdamaian (peace keeping). Upaya-upaya peace-keeping biasanya berhenti pada saat penghentian konflik senjata selesai atau penandatanganan sebuah perjanjian damai, dan tidak memikirkan upaya-upaya pembangunan perdamaian yang bersandarkan pada kemaslahatan manusia yakni hak asasi manusia.

Pembangunan perdamaian juga lebih dari sekedar kerja rekonstruksi dan rekonsiliasi paska-konflik. Tujuan membangun perdamaian tidak hanya semata-mata menghapuskan kekerasan, melainkan juga menghilangkan potensi-potensi yang dapat memicu konflik di masa yang akan datang. Oleh karena itu, pembangunan perdamaian menuntut sebuah transformasi nilai-nilai masyarakat secara keseluruhan yang menjamin adanya kondisi perdamaian dan keadilan, serta tegaknya martabat manusia. Untuk mencapainya, perlu dibangun aspek-aspek pembangunan perdamaian yang lebih luas seperti mengembangkan sikap saling menghargai, menerima perbedaan dan mendorong perubahan ke arah yang lebih positif dalam bidang sosial, politik dan ekonomi dan lainnya.

Walhasil, pembangunan perdamaian tidak dipisahkan dari upaya penegakan pemerintah yang baik (good governance). Di dalam upaya ini seringkali luput dibahas praktik-praktik diskriminatif kebijakan pemerintah terhadap perempuan. Di dalam pembangunan perdamaian perlu ada kesadaran tentang kesetaraan gender, dan negara melalui (desa/kelurahan, kecamatan, kabupaten kota) mempunyai tanggung jawab dalam mencegah dan menangani kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan. Meskipun sekarang ini di Indonesia tidak ditemui lagi perang dan permusuhan ataupun konflik senjata, akan tetapi kita dikepung oleh berbagai peraturan diskriminatif yang melanggar HAM serta tindakan-tindakan intoleransi kepada kelompok minoritas yang terus meningkat. Fenomena ini merupakan tantangan berat bagi proses pembangunan perdamaian saat ini.
Memang, pada akhirnya pembangunan perdamaian yang berkesinambungan sangat bergantung pada keterlibatan perempuan dan laki-laki. Perdamaian bukan saja berarti ketiadaan perang, kekerasan dan permusuhan, akan tetapi juga hak untuk menikmati kesejahteraan ekonomi dan keadilan sosial, kesetaraan serta meliputi seluruh ranah hak asasi manusia dan kebebasan secara hakiki di dalam masyarakat.

Baca Juga:

Fokus 2: Perempuan: Agen Perdamaian yang Ter/Di-lupakan

Fokus 3: Dimana Posisi Agama (Islam)?

Similar Posts:

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here