“Ibu saya selalu menceritakan kisah tokoh-tokoh perempuan baik yang berasal dari dalam ataupun luar negeri di setiap suratnya kala itu….”

Itulah ungkapan Hindun Anisah, perempuan yang lahir di Yogyakarta 2 Mei 1974. Kepada penulis ia bertutur tentang cerita-cerita berkesan yang ditulis oleh sang ibu di dalam surat-suratnya ketika Hindun masih duduk di bangku sekolah dasar (SD). Surat berlembar-lembar yang dikirimkan secara rutin oleh ibunya berisi tentang kisah tokoh-tokoh perempuan, baik tokoh lokal ataupun internasional, agar Hindun kecil terinspirasi dan mencontoh apa yang dilakukan oleh para pejuang perempuan tersebut. Tak heran, ketika di bangku SD, Hindun kecil sudah mulai menghafalkan Alquran, yang kemudian ia lanjutkan sampai di jenjang Madrasah Aliyah.

Sewaktu kecil, Ning Hindun –begitulah dia biasa dipanggil– tinggal bersama kakek-neneknya dari pihak ayah. Mereka adalah pengasuh pondok pesantren Salafiyah Pasuruan. Karena hidup jauh dari anaknya, sang Ibu yang tinggal di Yogyakarta tepatnya di pesantren Ali Ma’shum Krapyak, rajin mengirimkan surat kepada Hindun kecil. Berawal dari surat-surat itulah, kesadaran tentang “kesetaraan gender” tertanam kuat di benaknya.

Pengalaman Ning Hindun tersebut cukup unik, mengingat selama ini pesantren dipandang kental dengan budaya patriarkhinya. Namun Ning Hindun sepertinya tidak mengalami nasib seperti tokoh Annisa dalam novel ‘Perempuan Berkalung Sorban’ yang ditulis oleh ‘Abidah el-Khalieqy (2001). Selama ini pesantren sering dianggap sebagai institusi yang  melanggengkan pemahaman keagamaan yang  sempit dan bias gender.  Namun, saat ini justru banyak para alumni dan pengasuh pesantren yang menjadi motor penggerak isu keadilan gender di dalam Islam.

Ning Hindun adalah salah satunya. Perempuan yang menikah dengan Nuruddin Amin (Gus Nung), pengasuh pesantren Hasyim Asy’ari Bangsri Jepara, saat ini aktif berkecimpung di berbagai lembaga seperti ELKPERA (Lembaga Kajian Perempuan dan Anak), LBH NU, LKK NU, dan menjadi koordinator Aliansi Perlindungan Perempuan dan Anak untuk wilayah Jepara. Di samping itu, Ning Hindun merupakan salah satu pengurus di pusat pelayanan terpadu untuk perlindungan perempuan korban KDRT di Kabupaten Jepara. Bersama-sama dengan pengurus lain, Ning Hindun aktif mendampingi para perempuan korban kekerasan.

Berbagai aktifitas yang Ning Hindun jalani saat ini tidak lain merupakan cerminan dari konsistensi dan komitmennya untuk memperjuangkan isu-isu perempuan. Semenjak kuliah di Fakultas Syari’ah Jurusan Perbandingan Madzab IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, ibu dari lima orang anak ini sering mengikuti berbagai kegiatan yang diselenggarakan oleh Yayasan Kesejahteraan Fatayat (YKF) NU dan langsung bergabung dengannya ketika lulus. Ning Hindun juga tercatat sebagai salah satu alumni pelatihan Fiqhun Nisa’; sebuah program yang dikelola P3M Jakarta pada tahun 1990-an yang mempopulerkan isu gender dalam konteks Islam.

Ning Hindun juga mengenyam pendidikan di universitas luar negeri. Berkat prestasinya, ia mendapatkan beasiswa dari Ford Foundation untuk melanjutkan S2 di Universitas Amsterdam Belanda, jurusan Anthropologi Kesehatan. Ning Hindun bercerita singkat kepada penulis tentang thesis S2-nya yang berjudul ”Madurese Muslims Ritual Prior to Sexual Intercourse”. Salah satu studi kasus yang dikaji adalah mengenai tradisi pemakaian ‘ramuan Madura’ oleh para isteri di pulau Madura. ”Asumsi umum yang mengatakan bahwa ’ramuan Madura’ itu untuk memuaskan suami, ternyata tidak sepenuhnya benar. Hasil riset saya melihat bahwa perempuan juga menggunakannya sebagai senjata agar para suami bertekuk lutut. Jadi, ini bukan hanya penyerahan penuh terhadap suami, tetapi juga perlawanan terhadap relasi yang patriarkhis ”, ungkapnya.

Terkait dengan kepemimpinan ulama perempuan, Ning Hindun berpendapat; ”Ulama bukan hanya orang yang mumpuni dan kompeten di bidang agama, tetapi dia harus bisa mendialogkan antara teks dengan realitas. Dengan kemampuan ini, maka ulama bisa dekat dan diterima oleh masyarakat. Ulama perempuan juga merupakan sebuah keharusan karena di dalam sejarah kita punya banyak sekali contohnya. Saya kira masyarakat Indonesia sangat terbuka untuk menerima kehadiran ulama perempuan”.

Pendapat Ning Hindun ini sebenarnya merupakan cerminan dari dirinya sebagai seorang ulama perempuan. Sebagai pengasuh pesantren, ibu dari Afa (11), Fay (9), Levi (7,5), Reva (22 bln) dan Alea (5 bln) ini tidak hanya sibuk dengan aktifitas mengaji dengan para santri, tetapi juga peduli terhadap realitas dan problem yang dihadapi oleh umat. Ning Hindun memilih untuk berfokus pada kegiatan advokasi terhadap perempuan yang mengalami kekerasan dan ketidakadilan baik di dalam masyarakat maupun di dalam keluarga. Ini penting, mengingat acapkali masyarakat justru cenderung menyalahkan perempuan korban.

Dalam kerangka penegakan terhadap hak-hak perempuan itulah, Ning Hindun berjibaku mendidik para santri putri agar menjadi perempuan yang tangguh seperti dirinya. Ia memperkenalkan materi tentang Fiqh perempuan (fiqhun nisa’) dan perspektif gender kepada para santrinya, baik putri maupun putra. Bahkan, Amina Wadud (aktivis perempuan terkemuka dari Amerika) pernah berkunjung ke pesantrennya  dan berdialog dengan para santri. Pesantren yang diasuh Ning Hindun juga berlangganan majalah Swara Rahima yang ditempatkan di perpustakaan pondok.

Belakangan ini, para santri Ning Hindun diajak berdemo untuk menentang pembangunan PLTN (Proyek Listrik Tenaga Nuklir) yang sedianya akan dibangun di wilayah Jepara, jaraknya 10 km dari pondok. Komunitas pesantren dan masyarakat luas menolak keras pembangunan proyek ini, karena akan sangat berbahaya bagi kehidupan warga di Jepara. Aksi semacam ini merupakan wujud dari kepedulian ulama perempuan terhadap masalah-masalah sosial yang dihadapi oleh masyarakat. Salut buat Ning Hindun![] Riri Khariroh

Similar Posts:

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here