”Mudah-mudahan sekecil apapun langkah yang kita lakukan bisa turut berkontribusi untuk terwujudnya “Hayatun Tayyibah dan Hayatun ‘Adilah bagi kita semua, laki-laki dan perempuan. Amin”.
Itulah balasan Ibu Ida (begitulah kami memanggilnya) saat membalas komentar penulis di status facebooknya tentang acara lomba sholawat kesetaraan yang diadakan di Lingkungan Fatayat NU Kabupaten Tasikmalaya. Anak ke-dua dari pasangan KH. Moh. Ilyas Ruhiat dan Nyai Hj. Dedeh—pengasuh pondok pesantren Cipasung — sangat getol menyuarakan isu kesetaraan gender di komunitasnya. Meski tidak menyebut kata gender, akan tetapi isu kesetaraan menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam seabrek aktifitasnya, antara lain sebagai kepala sekolah di Madrasah Aliyah Negeri (MAN) Sukamanah, pengasuh asrama putri Pesantren Cipasung, penceramah di beberapa majlis taklim, dan aktivis Fatayat NU Cabang Tasikmalaya mapun di Fatayat Wilayah Jawa Barat.
Diakui oleh Ibu Ida bahwa semangat perjuangan untuk melakukan pemberdayaan di komunitasnya diilhami oleh semangat perjuangan yang dilakukan oleh kedua orangtuanya. Semenjak kecil Ibu Ida hidup di lingkungan keluarga pesantren. Akan tetapi, ia dibesarkan dalam tradisi yang sangat cair, demokratis, terbuka, dan fleksibel dalam menjalankan kehidupannya. Bahkan perempuan yang menyelesaikan pendidikan SD-SMA-nya di Cipasung ini tidak merasakan adanya kekangan-kekangan baik yang dilakukan oleh komunitas pesantren maupun oleh keluarganya.
Sebagai seorang anak perempuan dari seorang Ajengan, Ibu Ida mengakui bahwa ruang geraknya tidak dibatasi. Bahkan, sejak kecil ia melihat ibu dan juga neneknya sangat gigih melakukan aktifitas baik di dalam maupun di luar rumah untuk melakukan pendidikan di masyarakat. Ibu Ida menuturkan bahwa neneknya yang ada di pesantren Gentur– salah satu daerah yang tak jauh dari tempat ia tinggal di Cipasung– sangat aktif melakukan pendidikan untuk kaum perempuan. Setiap sore neneknya mengajari ibu-ibu yang sudah tua belajar mengaji dan belajar tata cara shalat melalui nadzom-nadzom (nyanyian-nyanyian) yang ia karang sendiri. Konon, masyarakat mempercayai bahwa kampung di sekitar Gentur itu diislamkan oleh neneknya. Demikian pula sang Ibu, kegiatan mendidik kaum perempuan juga bagian dari aktifitasnya sehari-hari. Kedua sosok perempuan inilah yang mendorong Ibu Ida untuk menjadi perempuan aktif.
Berjuang untuk Kesetaraan Gender
Ibu Ida yang saat ini mengasuh secara intens sekitar 100 santri (putera dan putri) dari jumlah total 4.500 santri yang belajar di pesantren Cipasung, pertama kali berkenalan dengan isu kesetaraan gender melalui program Fiqhun Nisa yang diadakan oleh P3M. Di forum ini Ibu Ida mengenal sosok seperti Lies Marcoes dan Masdar F. Mas’udi yang menjelaskan tentang bentuk-bentuk ketidakadilan gender di masyarakat. Namun, saat itu Ibu Ida menyadari bahwa ia hidup di dalam keluarga yang memiliki sensitifitas gender yang cukup. Ia merasa beruntung dibesarkan di dalam keluarganya, sebab orangtuanya memberikan kesempatan yang sama antara anak laki-laki dan perempuan. Persentuhannya dengan lembaga-lembaga lain seperti Rahima dan Puan Amal Hayati membuatnya semakin mengerti berbagai persoalan gender di dalam konteks Islam.
Lulusan Magister Kimia dari Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) tahun 2000 ini menyadari bahwa tidak semua perempuan bernasib baik seperti dirinya. Semenjak remaja Ibu Ida sering ikut ibunya mengisi ceramah di majlis-majlis ta’lim dan mengajar di sekolah. Dari situlah, Ibu Ida mulai mengenal bahwa banyak perempuan yang mengalami kekerasan berbasis gender, seperti pernikahan dini, nikah paksa, KDRT dan sebagainya.
Saat ini Ibu Ida merupakan salah satu pejuang kesetaraan gender di wilayah Tasikmalaya dan sekitarnya. Persinggungannya dengan berbagai komunitas, membuat perempuan yang pernah melanglang buana ke berbagai negara di Asia, Eropa dan bahkan Amerika ini, semakin melek melihat realitas kaum perempuan yang mengalami diskriminasi dan kekerasan. Ibu Ida menyaksikan di masyarakat banyak anak perempuan yang putus sekolah lantaran dinikahkan secara paksa oleh keluarganya. Begitu juga ia melihat berbagai kasus kekerasan yang menimpa perempuan bahkan salah satu saudara perempuannya juga menjadi korban. Menurutnya bahwa banyak perempuan sering diam terhadap kekerasan yang menimpanya sebab secara ekonomi sangat tergantung pada suaminya. Alasan lainnya adalah bahwa perlakuan kekerasan yang dilakukan oleh suami itu seolah-olah sudah mendapatkan legitimasi dari teks-teks keagamaan yang mengatakan bahwa laki-laki itu adalah kepala keluarga dan boleh “memukul” istrinya. Inferioritas dan subordinasi perempuan ini juga dikokohkan oleh budaya patriarkhi.
Saat ini Ibu dari empat orang anak (Moh Sabar Jamil, Ahmad Zamakhsary Sidik, Ajeng Sabarini Muslimah, dan Hauna Taslima) aktif melakukan upaya-upaya permberdayaan perempuan. Salah satu caranya adalah memberikan motivasi baik pada murid-muridnya, santri, dan para pengurus asrama agar memiliki pendidikan tinggi dan juga mandiri secara ekonomi. Ibu Ida tidak hanya mengintegrasikan isu gender di dalam berbagai kurikulum baik di sekolah maupun di pesantren, tetapi ia kerap mengajak anak-anak santrinya untuk berbincang-bincang santai seputar isu anak muda, misalnya soal pacaran. Ibu ida selalu berpesan kepada santrinya; “Jangan sekali-kali merasa cukup dengan tergantung pada suami, karena banyak terjadi kasus kekerasan itu salah satunya berawal karena ketergantungan ekonomi”.
Di forum-forum yang lain seperti majlis ta’lim dan Fatayat NU, Ibu Ida tidak hanya mengajar materi agama tetapi juga menjelaskan isu-isu kontemporer seperti HIV/AIDS, UU PKDRT, bahaya nikah dini, dan lain-lain. Akibatnya, Ibu Ida kerap kali menjadi tempat pengaduan para ibu-ibu yang menjadi korban KDRT.
Sebagai kepala sekolah, Ibu Ida juga mensosialisasikan isu kesetaraan gender kepada para guru baik melalui diskusi formal maupun informal. Mensosialisasikan isu gender tidak hanya lewat lisan, dan diskusi, tetapi Ibu Ida pun selalu melibatkan guru perempuan dalam berbagai kegiatan, misalnya melibatkan mereka sebagai ketua panitia atau bagian-bagian lain yang strategis. Bahkan saat ini Ibu Ida mengangkat seorang guru perempuan sebagai salah satu wakil kepala sekolah.
Perjuangan yang dilakukan oleh istri dari Drs. H. Abd. Khobir ini penuh liku dan tantangan. Ibu Ida merasa sangat kehilangan atas wafatnya Ibu Djudju’ Juwariyah, teman seperjuangannya di dalam memperjuangkan kesetaraan gender.”Saat ini suka duka saya tumpahkan pada adik saya, dan di sana saya bisa berbagi dan sharing untuk bisa membantu menghadapi kelompok-kelompok yang masih resisten dengan isu gender ini”, tutur Ibu Ida. Semoga cerita tentang Ibu Ida ini bisa menginspirasi kita semua dalam melakukan upaya-upaya pemberdayaan perempuan demi terwujudnya masyarakat yang adil dan sejahtera. Semoga![] Pera Sopariyati
Similar Posts:
- Kekerasan di Pesantren: dampak Kesetraan yang Tidak Diajarkan dalam Pendidikan Berbasis Agama
- Silaturahmi Ulama Perempuan Simpul Rahima Madura, Ruang Perjumpaan Membincang Persoalan Perempuan dan Anak
- HINDUN ANISAH: Tokoh Pesantren Yang Peduli Pada Perempuan Korban Kekerasan
- ELOIS : Ikhtiar Menuju Masa Depan Madrasah yang Lebih Berkeadilan
- Harapan Rahima Untuk Menag Baru Terkait Seksualitas di Pesantren