Oleh : AD. Kusumaningtyas
Tiba-tiba, saya teringat sebuah pernyataan yang saya kutip dari laporan penelitian Nina von Edgmont, seorang mahasiswi S2 sebuah universitas di Belanda, setelah menyelesaikan internship program (kegiatan magang)-nya di Rahima. ”For muslim women, against the religion is not an option. But they struggle to claim their rights, through their own faith.” (Bagi perempuan muslim menentang agama bukanlah sebuah pilihan. Akan tetapi mereka berusaha untuk menuntut hak-hak mereka dengan bersumber dari keimanan mereka sendiri).
Apa yang dikemukakan oleh Nina tersebut juga pernah menjadi kegelisahan seorang Kartini, yang belajar agama dari KH. Saleh Darat di Jepara. Secara kritis, ia mempertanyakannya dalam salah satu surat yang ditulisnya untuk salah seorang sahabatnya, Stella..
“Bagaimana saya mencintai agama saya kalau saya tidak mengenalnya? Alquran terlalu suci untuk diterjemahkan, dalam bahasa apapun juga. Di sini tidak ada orang tahu bahasa Arab. Di sini orang diajari membaca Alquran tetapi tidak mengerti apa yang dibacanya. Saya menganggap itu pekerjaan gila; mengajar orang membaca tanpa mengajarkan makna yang dibacanya. ” (Soelastin Soetrisno, Surat-Surat Kartini, 1985 :18)
Sayangnya, agama yang dipandang sebagai otoritas wahyu yang mempengaruhi kehidupan seluruh manusia itu banyak disampaikan oleh kaum lelaki, yang tentu saja dengan perspektif yang ‘sangat laki-laki’. Oleh karenanya, mereka selalu mengekspos banyak hadis yang merendahkan perempuan. Sebagai contoh adalah ‘al-maratu naqiishatun fi diinin wa ‘aqlin’ (perempuan itu kurang dalam halam hak akal dan agamanya). Oleh karenanya, perempuan dianggap bahwa dia tidak mungkin jadi Ulama. Selain keulamaan ini merupakan priviledge kaum laki-laki, diperlukan juga syarat yang sangat ketat untuk menjadi seorang mujtahid. Antara lain menguasai tafsir, hadis, kitab kuning dan berbagai ilmu alat lainnya. Padahal, di beberapa pesantren dibedakan kitab-kitab yang akan dikaji oleh lelaki dan perempuan. Lelaki diberikan bekal untuk melakukan berbagai macam penafsiran, dari pendapat yang paling konservatif hingga yang paling progresif bahkan ‘liar’ sekalipun. Sementara perempuan, diajarkan kitab-kitab yang membuat mereka nantinya terampil dalam berbagai hal kerumahtanggaan. Ruang geraknya sedemikian dibatasi sehingga paling banter dia bisa menjadi seorang ibu Nyai (benar-benar dalam arti istri Kyai).
Ulama memang mendapatkan ruang yang istimewa di hati umat karena dia ditahbiskan sebagai pewaris para Nabi (al ‘ulama-u waratsatu al anbiya-i). Namun benarkah istilah ulama ini hanyalah monopoli kaum lelaki? Bukankah istilah Ulama yang merupakan jamak dari ‘alim tersebut bermakna sebagai orang yang berilmu, tanpa memandang apakah dia lelaki atau perempuan. Yang penting dia adalah seseorang yang memiliki ilmu (knowledge) yang luas, kepekaan membaca realitas sosial sehingga dia menjadi orang yang bijak (wisdom), memiliki keahlian sedemikian rupa untuk menggunakan dan memaknai teks-teks rujukan (experts), dan memiliki kesungguhan (passion) yang dalam untuk turut memecahkan persoalan umat, khususnya persoalan ketidakadilan sosial yang terjadi dalam kehidupan manusia; yang berasal dari kepercayaannya yang kuat pada Sang Pencipta. Sebagaimana telah ditegaskan dalam firman Allah pada QS.Ar Ra’du : 11. Allah akan meninggikan derajat orang-orang yang beriman dan berilmu di antara kamu dengan beberapa derajat. Lalu, mana mungkin Allah bersikap diskriminatif pada hamba-Nya, karena perbedaan jenis kelamin juga merupakan sunnatullah yang diciptakan-Nya ?
Mengkaji kembali kisah-kisah di masa lalu, membuat kita menemukan banyaknya dokumen sejarah tentang keulamaan perempuan. Aisyah ra., istri Baginda Rasulullah saw. juga dikenal sebagai periwayat ribuan hadis yang dipercaya. Rabiah al Adawiyah dalam dunia tasawuf dikenal sebagai guru para sufi. Di tanah air, kita dapati nama Fatimah, cucu Syekh Al Arsyad al-Banjari yang menuliskan kitab Perukunan Djamaluddin yang menginspirasi pandangan tentang ’harta gono-gini’; selain itu ada Rahmah el-Yunusiah, pendiri Diniyah Putri School Padang Panjang yang mendapatkan gelar Syaikhah dari Universitas Al Azhar, Kairo, Mesir.
Pada masa sebelum kemerdekaan Nyai Solichah Wahid Hasyim, istri dari tokoh besar Nahdlatul Ulama, mendirikan Muslimat NU. Nyai Walidah Ahmad Dahlan, istri pendiri Muhammadiyah juga mengajak perempuan belajar bersama dalam forum pengajian Sopo Tresno, yang menjadi cikal bakal Aisyiyah. Pada masa setelah kemerdekaan pada tahun 1950, Fatayat NU adalah sebuah organisasi perempuan yang bernaung di bawah ormas NU menyusul dilahirkan, dengan latar belakang adanya keinginan sejumlah santri perempuan untuk memperoleh akses terhadap pendidikan dan mengubah pembedaan proses pembelajaran bagi santri lelaki dan perempuan. Kehadiran organisasi-organisasi tersebut berangkat dari itikad baik untuk memberikan hak yang sama bagi lelaki dan perempuan di bidang pendidikan, sebagai manifestasi ajaran Nabi bahwa menuntut ilmu merupakan kewajiban bagi setiap muslim lelaki maupun perempuan.
Di kalangan pesantren, terdapat dua tokoh perempuan yang perlu dicatat keberadaannya. Kyai Hajjah Nonoh Hasanah (beliau disebut Kyai karena mendirikan pesantren) adalah tokoh di balik lahirnya Pesantren Putri Cintapada, Tasikmalaya. Sebelumnya, pesantren di daerah Jawa Barat hanyalah milik laki-laki dan bisa diakses oleh laki-laki saja. Setelah lahir pesantren putri ini, pesantren untuk perempuan tumbuh subur dan berkembang seperti sekarang. Selain Hj. Nonoh, juga penting dicatat adalah Hj. Suwa. Beliau adalah murid kesayangan Kyai Haji Ruhiyat dari Pesantren Cipasung, Tasikmalaya yang sempat ingin diperistrinya. Namun Hj. Suwa dengan sangat halus namun menolak keiginan gurunya, karena beliau menolak untuk dipoligami atau dijadikan istri kedua. Sikap tegas Hj.Suwa, mengingatkan akan kisah Sukaynah cicit Nabi yang tak mau mengalami perkawinan poligami. Kisah tentang Hj.Nonoh dan Hj. Suwa hanyalah sedikit dari beragam kisah perjuangan ulama perempuan di balik tembok pesantren, yang sayangnya tidak selalu terdokumentasikan dengan baik. Dengan lebih dalam menggali kisah keulamaan perempuan, nantinya mungkin bisa lebih banyak kita dapati kisah-kisah inspiratif dari perempuan yang lain.
Kini, perempuan telah banyak yang menunjukkan kapasitasnya sebagai orang yang berilmu yang layak dihormati karena ilmunya. Sudah banyak perempuan yang mendapatkan gelar akademis atau gelar sarjana bahkan doktor dalam berbagai bidang, termasuk di dalamnya tentang studi Islam. Banyak pula Majelis Taklim yang hadir dan dipimpin oleh perempuan, namun rupanya pengakuan akan ulama perempuan masih jauh dari harapan. Beberapa da’iyah juga telah mendapatkan tempat untuk mengisi rubrik keagamaan di media massa ataupun di televisi. Meskipun, terkadang masih ada yang kurang peka dan bersikap menyalahkan sesama perempuan sendiri.
Berbicara tentang keulamaan perempuan sesungguhnya adalah berbicara tentang berbagai hal yang sangat kompleks. Ia tidak saja berbicara tentang keahlian dalam memahami ribuan hadis ataupun menguasi berbagai penafsiran atas teks-teks klasik. Butuh keberpihakan pada kelompok yang dimarginalkan dan pada nasib perempuan yang acapkali menjadi pihak yang dirugikan. Berangkat dari kesadaran tadi, Rahima yang juga hadir untuk menciptakan banyak kader ulama perempuan memimpikan hal itu. Ulama perempuan dengan perspektif baru. {}AD.Kusumaningtyas