Sebuah keilmuan, baik itu bahasa atau yang lainnya, dalam proses pembentukannya sangat dipengaruhi oleh budaya dan konteks sosial yang berkembang pada saat itu. Pembakuan istilah ulama di Indonesia yang mengarah pada satu jenis kelamin tertentu juga tidak lepas dari pengaruh tersebut. Oleh karenanya, sulit untuk menunjuk perempuan di Indonesia yang disebut ulama. Meskipun secara kapasitas, akan banyak ditemukan nama-nama yang layak untuk menyandang predikat tersebut.

Bahkan di Arab yang merupakan asal dari kata ulama’ pun mengalami pergeseran makna yang sama. Bahkan mungkin lebih parah dibanding yang terjadi di Indonesia. Hal ini tidak lepas dari adanya pengaruh budaya setempat yang masih sangat misoginis dalam melihat perempuan. Terlepas dari fakta budaya di atas, tetaplah relevan untuk menelusuri kearifan-kearifan sejarah, terutama Islam, dalam memberikan kesempatan dan akses terhadap perempuan pada wilayah keilmuan.

Perhatian yang luar biasa di atas bisa kita telusuri dari lembaran-lembaran hadis yang ditulis oleh para muhadditsin (ulama ahli hadis). Di antara mereka adalah Imam Bukhari dan Muslim. Kedua ulama di atas banyak sekali menulis hadis yang menceriterakan tentang peran aktif perempuan dalam bidang keilmuan pada masa Rasulullah. Bahkan kita tidak asing beberapa di antara mereka juga terlibat aktif dalam meriwayatkan hadis, seperti Aisyah, Umm Salamah, Asma’ binti Abu Bakar, dan lain-lain. Dalam keilmuan hadis pun tidak ditemukan ada pemilahan kualitas hadis yang diriwayatkan oleh perempuan atas laki-laki. Kualitas secara pure ditentukan oleh kapasitas perawi dan sanadnya, bukan jenis kelaminnya. Al Syaukani dalam Nail al Authar menegaskan:

 

لم ينقل عن أحد من العلماء بأنه رد خبر امرأة لكونها امرأة. فكم من سنة قد تلقتها الأمة بالقبول من امرأة واحدة من الصحابة وهذا لا ينكره من له أدنى نصيب من علم السنة.[1]

 

(Tak ada satupun cerita dari salah seorang ulam’ yang menolak hadis dari perempuan, karena semata-mata ia perempuan. Banyak sekali hadis yang diterima oleh para ulama dari seorang sahabat perempuan. Hal itu tidak mungkin dipungkiri oleh orang yang awam tentang hadis sekalipun).

Al Dzahabi dalam Mukadimah Al Mizan bahkan menyatakan bahwa dari sekian perempuan yang meriwayatkan hadis, tak satupun yang dikenal pembohong.

Nabi sendiri pernah menyatakan; ‘Ambillah separo agamamu dari Humaira’ (HR. At Tirmidzi). Hal itu semakin menunjukkan bahwa perempuan dalam meriwayatkan hadis mempunyai kedudukan yang sama dengan laki-laki. Istri-istri Nabi banyak sekali yang mengajarkan ilmu yang ia ketahui dari Nabi secara langsung kepada para sahabat. Seperti apa yang dilakukan oleh Maimunah ketika menjelaskan sifat sujudnya Nabi dalam shalat.

 

عن ميمونة قالت : “كان رسول الله صلى الله عليه وسلم إذا سجد خوى بيديه يعني جنح حتى يرى وضح إبطيه من ورائه، وإذا قعد اطمأن على فخذه اليسرى”.[2]

 

Nabi sendiri mempunyai perhatian yang luar biasa terhadap pendidikan perempuan. Hal itu bisa kita lihat dari salah satu hadisnya yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Ibn Juraih:

 

عن جريح عن عطاء عن جابر بن عبد الله قال: قام النبي صلى الله عليه وسلم يوم الفطر فصلى فبدأ بالصلاة ثم خطب فلما فرغ نزل فأتى النساء فذكرهن وهو يتوكأ على يد بلال. وبلال باسط ثوبه يلقي فيه النساء الصدقة.[3]

 

(Dari Juraij, dari Atha’, dari Jabir bin Abdillah berkata: “Nabi berdiri kemudian memulai shalatnya, lalu berkhutbah. Setelah selesai khutbah beliau turun dan mendatangi jama’ah perempuan kemudian mengajar mereka tentang zakat sambil bersandar pada tangan Bilal. Sementara Bilal membentangkan bajunya.)

Hadis di atas, menjelaskan bahwa Nabi sengaja menghampiri jama’ah perempuan setelah turun dari mimbar untuk memberikan penjelasan secara khusus. Juraih, sang perawi hadis bertanya kepada ‘Atha’: “Apakah kamu tahu bahwa imam berkewajiban untuk mengajar mereka (jama’ah perempuan)?” Atha’ menjawab: “Sesungguhnya itu adalah keharusan para imam, tetapi mereka boleh saja tidak melakukannya.”

Dalam hadis lain Nabi merespon dengan baik keinginan salah seorang sahabat perempuan yang menghendaki ruang khusus untuk mendapatkan pengajaran dari Nabi sebagaimana laki-laki.

 

عن أبي سعيد قال: جاءت امرأة إلى رسول الله فقالت: يا رسول الله ذهب الرجال بحديثك. فاجعل لنا من نفسك يوما نأتيك فيه تعلمنا مما علمك الله. فقال: “اجتمعن في يوم كذا وكذا، في مكان كذا وكذا “. فاجتمعن فأتاهن رسول الله فعلمهن مما علمه الله ثم قال: ” ما منكن امرأة تقدم بين يديها من ولدها ثلاثة إلا كان لها حجابا من النار” الحديث…[4]

 

(Dari Abu Said berkata: “Salah seorang perempuan datang kepada Rasulullah dan berkata: “Wahai Rasulullah, para laki-laki itu pergi dengan membawa hadismu. Maka buatlah hari untuk kita dimana kita bisa mendatangimu dan kau ajarkan kepada kita apa yang telah diajarkan Allah kepadamu. Nabi menjawab: “Berkumpullah di hari ini, tempat ini.” Maka mereka pun berkumpul dan Nabi pun mendatangi mereka dan mengajarkan ilmu yang telah diajarkan Allah kepadanya. Lalu Nabi bersabda: “Tiada perempuan di antara kalian yang menghadiahkan 3 anaknya (anaknya meninggal dalam keadaan masih kecil), kecuali ia akan tertutupi dari api neraka).

Hadis-hadis di atas menunjukkan keterlibatan perempuan dalam dunia pendidikan pada zaman Rasul. Rasul sendiri pun memberikan perhatian kepada mereka. Masih dalam literatur yang sama kita juga akan bisa menemukan peranan aktif perempuan pada masa Rasulullah, baik dalam wilayah keilmuan, sosial, politik, dan yang lainnya.

Abu Syuqqah, salah seorang pemikir dari Mesir, dengan hati-hati melakukan penelitian tentang jejak rekam perempuan pada masa Rasulullah. Penelitian itu telah diterbitkan dalam sebuah kitab yang terdiri dari 6 jilid dengan judul ‘Tahrir al Mar’ah fi Ashr al Risalah’. Dalam mukadimahnya, ia menceritakan bahwa penelitian tersebut termotivasi ketika ia melakukan kajian hadis-hadis Bukhari Muslim bersama guru hadisnya, Nashiruddin al Albani, dan mendapati hadis-hadis yang menceritakan tentang peran aktif perempuan dalam banyak wilayah; pendidikan, sosial, ibadah, politik, dan rumah tangga, yang notabene berlawanan dengan cerita yang ia dengar dan yakini selama ini. Maka ia pun melakukan kajian dan penelitian serius pada dua kitab hadis yang sangat dikenal kesahehannya dalam bidang hadis, Shahih Bukhari dan Muslim, dan mengumpulkan semua hadis yang menceritakan tentang kehidupan perempuan pada zaman Rasul.

Hasilnya bisa kita lihat dalam kitab ‘Tahrir al Mar’ah’ di atas. Terdapat ribuan hadis yang merekam kehidupan perempuan dan peran aktifnya pada masa Rasul. Bahkan beberapa hadis menggambarkan pergaulan perempuan dengan laki-laki yang sangat cair, jauh dari penggambaran yang sering dilakukan oleh para dai di mimbar masjid. Beberapa di antaranya bisa kita lihat dalam hadis berikut ini:

 

عن قيس بن أبي حازم قال: (دخل أبو بكر على امرأة من أحمس يقال لها زينب بنت المهاجر. فرأها لا تكلم فقال: ما لها لا تكلم؟ قالوا: حجت مصمتة، قال لها: تكلمي فإن هذا لا يحل، هذا من عمل الجاهلية. فتكلمت فقالت: من أنت؟ قال: امرؤ من المهاجرين. قالت: أي المهاجرين؟ قال: من قريش. قالت: من أي قريش أنت؟ قال: إنك لسؤل، أنا أبو بكر. الحديث…

 

(Dari Qais bin Abi Hazim berkata: “Abu Bakar masuk pada seorang perempuan dari Ahmas, namanya Zainab binti al Muhajir. Ia melihat perempuan tersebut diam dan tidak berbicara sepatah katapun. Lalu ia bertanya: “Kenapa dia tidak berbicara?” Orang-orang menjawab: “Ia bernadzar haji dengan tidak berbicara.” Lalu Abu Bakar berkata pada perempuan tersebut: “Berbicaralah. Karena itu (nadzar diam dalam haji) tidak boleh, dan termasuk perbuatan orang jahiliyah.” Kemudian ia berbicara dan bertanya kepada Abu Bakar: “Siapakah engkau?” “Seseorang dari Muhajirin.” “Muhajirin yang mana.” “Dari Quraisy.” “Dari Quraisy mana engkau?” Dengan tidak sabar, Abu Bakar menjawab: “Sesungguhnya engkau senang bertanya. Saya Abu Bakar.”) Al Hadis…

Meneladani Sunnah Rasul

Hadis-hadis di atas menggambarkan secara jelas dan lugas tentang kehidupan perempuan yang natural dan manusiawi pada masa Rasulullah. Sayangnya, hadis-hadis semacam itu seringkali tertutupi oleh hadis lain yang hanya diucapkan sekali saja oleh Rasul dan dalam konteks tertentu atau bahkan hadis yang tingkat kesahehannya masih diragukan. Karena, terkadang sebuah hadis direproduksi dengan membawa motif tertentu. Sehingga hadis yang shahih dan memihak perempuan tidak popular. Sementara hadis yang memojokkan atau mendiskreditkan perempuan lebih popular dan didengungkan di setiap kesempatan, seperti hadis tentang kurangnya akal perempuan, terciptanya perempuan dari tulang rusuk yang bengkok, atau suara perempuan adalah aurat. Dan itulah yang terjadi paska Rasulullah. Kebebasan, penghargaan, dan kesetaraan yang dimiliki perempuan pada masa Rasul pelan-pelan terabaikan, bahkan hampir kembali pada zaman jahiliyah. Perempuan kembali mengalami diskriminasi dalam berbagai bidang, terpinggirkan, dan terabaikan hak-haknya. Praktek perbudakan, perseliran, pemasungan, pemingitan terhadap perempuan menjadi tradisi yang hampir dianggap maklum. Sehingga kesetaraan yang telah diperjuangkan oleh Muhammad melalui risalah nubuwah-nya benar-benar terabaikan.

Pada masa keemasan Islam, ilmu pengetahuan berkembang luas, peradaban mencapai titik puncaknya, tetapi perempuan tidak menemukan posisinya. Sehingga sulit sekali menemukan intelektual perempuan atau ulama perempuan dari sekian tokoh laki-laki yang menguasai ilmu pengetahuan. Hal itu bisa dimaklumi karena reproduksi pengetahuan dilakukan sepenuhnya oleh laki-laki. Dunia modern yang telah memperjuangkan hak-hak asasi manusia telah banyak melakukan pembongkaran terhadap kondisi sosial semacam itu dengan menjadikan Barat sebagai role modelnya. Sehingga cepat atau lambat posisi perempuan mulai terdongkrak. Upaya tersebut pun telah memengaruhi dunia Islam untuk melakukan pengkajian ulang terhadap kebijakan agama yang selama ini dipahami secara tidak seimbang. Munculnya tokoh-tokoh pembaharuan, baik yang secara spesifik konsen pada isu perempuan maupun yang tidak, telah menunjukkan adanya pengaruh tersebut.

Meski ada pengaruh Barat dalam banyak hal, tetapi bukan berarti perubahan itu harus kita lakukan dengan cara mengkiblat sepenuhnya. Tradisi-tradisi yang egaliter dari agama sendiri harus terus dimunculkan, terutama yang langsung berasal dari sumbernya, seperti Alqur’an dan al Sunnah. Dengan demikian, pembaharuan yang kita lakukan tidak tercerabut dari akarnya. Sehingga apa yang kita lakukan sebenarnya bukanlah pembaharuan sepenuhnya, tetapi lebih tepat disebut sebagai peneladanan sunnah Rasul. Peneladanan terhadap sunnah tidak semestinya dibatasi pada perilaku fisik, seperti menggunakan pakaian ala Arab (jubah), memanjangkan jenggot, menggunakan surban, dan semacamnya, tetapi lebih dari itu adalah akhlak dan budi pekerti Nabi yang selalu mengedepankan pada penghargaan terhadap orang lain, kesetaraan, dan keadilan harus terus kita junjung sebagai prinsip pembaharuan. Dengan demikian profil Nabi sebagai uswah (teladan) itu benar-benar bisa diejawentahkan dalam kehidupan umat. Wallahua’lam bisshawab.***

 

 

Baca Juga:

Dirasah Hadis 1: Ulama Perempuan Dalam Lembaran Hadis Nabi

 

[1] Al Syaukani, Nail al Authar, Juz 8, H. 122.

[2] Imam Muslim, Shahih Muslim, Hadis ke 766, Juz 3 Hal. 55

[3] Al Bukhari, Shahih Al Bukhari, Hadis ke 925 Juz 4, Hal. 51

[4] Lihat Shahih Bukhari, Hadis ke 6766, Juz 22, Hal. 184 (versi Maktabah Syamilah).

Similar Posts:

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here