“Mbak, kok saya to? Saya gak punya prestasi apa-apa lho. Apa sih yang mau dituliskan tentang saya?

Kalimat merendah bernada medhok Jawa itu terdengar dari ujung telpon, ketika penulis usai menjelaskan maksud dan tujuan mewawancarai perempuan bernama lengkap Fatati Nuryana itu. Sudah tentu penulis tak begitu saja mempercayai alasan tersebut, sejak mengenalnya pada 2005 lalu, Fatati selalu mempunyai cerita-cerita yang menarik yang diungkapkannya ketika kami bertemu pada beberapa kali kegiatan Rahima.

Ya, pertama kali penulis bertemu dengan mbak Fat – nama yang biasa penulis sebut untuk memanggilnya – pada sekitar Agustus 2005 ketika Rahima mengadakan seleksi untuk calon peserta program Pengkaderan Ulama Perempuan (PUP) wilayah Jawa Timur. Tindak tanduknya yang halus, tawadhu’, serta tutur bahasanya yang sangat njawani dari perempuan hitam manis itu sangat mengesankan penulis.

Singkat cerita, mbak Fat yang lahir pada 18 Agustus 1975 di Kediri ini, akhirnya berhasil masuk menjadi salah satu dari 15 peserta program PUP Rahima yang mensyaratkan semua peserta untuk mengikuti serangkaian tadarus (baca: forum belajar) dan beberapa halaqah. Pada tadarus pertama, tentang kesetaraan laki-laki dan perempuan, mbak Fat bertutur tentang telah terjadinya pembagian peran baik domestik maupun publik antara dirinya dengan sang suami, Ihya Ulumudin, satu-satunya generasi penerus pesantren Miftahul Huda, Papar, Kediri. Bagi penulis, penuturan itu sungguh menarik karena berasal dari keluarga pesantren, sebuah institusi yang lebih banyak dikenal dengan budaya patriarkhinya yang masih kuat.

 

*****

 

“Saya, berasal dari keluarga biasa. Ayah saya, H. Jaswadi, dosen di beberapa perguruan tinggi di Ponorogo dan Kediri. Ibu saya, Hj. Ummayah, ibu rumah tangga yang nyambi wiraswasta menjual es lilin. Di bawah asuhan kedua orang tua ini lah, saya dan 5 saudara kandung lahir dan dibesarkan,” terang perempuan yang ketika Aliyah nyantri di PP Tambak Beras, Jombang ini.

Selesai Aliyah, Fatati mondok lagi di PP Darul Huda, Ponorogo, sambil kuliah di jurusan Peradilan Agama Fakultas Syariah IAIN Sunan Ampel kelas Ponorogo. Ia lulus tahun 1995, dalam usia yang terbilang muda, 22 tahun. Keinginan Fatati untuk menimba ilmu sangat tinggi. Maka, meski kuliahnya sudah rampung, ia tetap menuntut ilmu dengan mengambil kursus bahasa Inggris. Belum lagi usai, Fatati dinikahkan dengan putra mahkota dari PP Miftahul Huda. Meskipun demikian, usai menikah, suami dan ayah mertua Fatati tetap mengijinkannya melanjutkan kursus hingga selesai.

 

****

 

Pilihan KH. Affandi Zubair untuk memilih Fatati menjadi menantu sangatlah tepat. Karena dalam perjalanannya, Fatati kemudian bisa ‘menghidupkan’ kembali Pesantren Miftahul Huda yang sebelumnya sempat ‘vakum’ selama beberapa waktu, terutama sepeninggalan Ibu Nyai utama, Ibu Mertua. Dengan keilmuan yang dimilikinya, Fatati juga berhasil meneruskan estafet kaderisasi di kalangan internal pesantren.

Di desa Papar, yang letaknya 18 km dari kota Kediri ke arah Surabaya itulah, Fatati memulai semuanya, dari menjadi inspirator hingga sebagai pengambil keputusan. Ia memilih untuk memulai dari tingkatan yang paling dasar, baik di bidang pendidikan formal maupun non formal. Di pendidikan formal, Fatati memulainya dari tingkat PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini), kelompok bermain (play group), RA (Raudhatul Athfal) dan MI (Madrasah Ibtidaiyah). Sementara pada pendidikan non formal, Fatati berkonsentrasi pada TPQ (Taman Pendidikan al-Quran), TPA (Taman Pendidikan Alquran) dan Madrasah Diniyah. Ketika ditanya mengapa Ibu Nyai yang memiliki tiga putra dan satu putri  ini lebih memilih pendidikan dasar? Beliau menjawab, ”Sesuai namanya, pendidikan dasar menjadi landasan bagi anak untuk menjalani kehidupan selanjutnya. Maka landasannya menjadi sangat penting dan harus dipersiapkan sedini mungkin. Terutama karena makin terbukanya informasi di jaman globalisasi ini.”

Untuk menciptakan landasan yang dimaksudkannya, Fatati mempersiapkan tim pengajarnya dengan menerapkan antara lain prinsip kesetaraan antara laki-laki dan perempuan, baik dari sisi jumlah SDM maupun kesempatan di berbagai bidang yang didasarkan pada kemampuan masing-masing individu. Tim pengajar ini juga lah yang kemudian mensosialisasikan nilai-nilai penghargaan kepada sesama dan kepada semua makhluk Allah swt., dan kesetaraan kepada para siswa.

Hasilnya, Pesantren Miftahul Huda melalui pendidikan formalnya terutama di tingkat MI menjadi pilihan pertama dari banyak orang tua ketika akan menyekolahkan anak-anak mereka. Untuk diketahui saat ini di Papar terdapat 35 MI dan SD. Jumlah siswa MI Miftahul Huda yang 150 siswa menunjukkan MI ini mejadi pilihan. Apa sih istimewanya sekolah di MI Miftahul Huda? “Dua tahun terakhir ini, MI kami menduduki posisi nomor dua terbaik hasil UASBN se- kecamatan. Mata pelajaran bahasa Arab-nya lebih tinggi dibandingkan MI yang lain. Ketika siswa duduk di kelas 5, mereka sudah hafal juz amma. Kegiatan ektra kurikuler (ekskul) berupa drum band, ternyata juga menjadi nilai plus tersendiri bagi para orang tua karena di ekskul tersebut selain siswa dapat belajar berekspresi juga belajar disiplin, “terang Bu Nyai dengan nada merendah ini.

Melihat keberhasilan Ibu Nyai muda ini, beberapa orang tua lalu menitipkan anak-anaknya untuk mondok di sana. Saat ini sudah ada 15 santri putri yang mondok. Usia mereka berkisar antara 10 – 17 tahun. Ke 15 santri ini ditambah beberapa santri kalong (tidak mondok, red) mengaji kepada Nyai Fatati dan juga kepada Kyai Sepuh. Pendidikan formal dan non formal pesantren diikuti oleh mereka. “Keinginan saya sederhana saja. Saya ingin pesantren ini mempunyai banyak santri seperti dulu,” ujar Nyai yang aktif mengelola beberapa majlis taklim baik di pesantrennya sendiri maupun di tingkat desa maupun kecamatan ini.

Ibu Nyai yang banyak tersenyum ini merasa aktivitasnya yang padat tidak akan sesukses itu jika tidak mendapat dukungan penuh dari suami dan anak-anak tercinta. “Suami mengambil peran domestik yang lumayan banyak ketika saya menjalankan peran publik saya. Alhamdulillah, sejauh ini kami bisa sama-sama saling mendukung. Mudah-mudahan ke depan pun demikian,” terang Ibu dari A. Haya’ul Fata (13), A. Izzul Milla Naufal (10), A, Fasihul Minan (7) dan Aisyah NM (3 thn) ini.

Pilihan Nyai Fatati untuk mengembangkan pendidikan baik formal maupun non formal pada level dasar ini, rasanya sangat tepat untuk mempersiapkan generasi mendatang yang akan menghadapi banyak tantangan terutama dengan semakin terbukanya era keterbukaan seperti sekarang ini. Teruslah berkreasi untuk mengembangkan generasi masa depan bangsa yang lebih handal Bu Nyai Fat! { } AD. Eridani

Similar Posts:

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here