”Peran ulama perempuan sangatlah strategis sebagai salah satu stakeholder dalam mendukung gerakan stop kekerasan terhadap perempuan atas nama agama. Sejatinya ulama perempuan dengan kekuatan ilmu agamanya mampu bersikap kritis dan mampu menganalisis setiap persoalan-persoalan perempuan yang bias sebagaimana ada dalam tradisi pesantren dan masyarakat sekitarnya” (Nyai Afwah Mumtazah)
”Fungsi ulama perempuan tidak hanya berdakwah tentang ilmu-ilmu agama, tetapi juga membantu masyarakat menyelesaikan berbagai permasalahan sosial sesuai dengan kemampuan dan peluang yang dimilikinya” (Ustadzah Kokom)
”Ulama perempuan harus memiliki kepedulian terhadap nasib buruh migran perempuan, sehingga perlu ada pendekatan baik secara individu atau kelompok untuk memberi gambaran kepada masyarakat tentang situasi kerja di luar negeri” (Nyai Ida Mahmudah).
Kutipan-kutipan di atas merupakan pendapat para narasumber tentang peran ulama perempuan yang terangkum di dalam kegiatan seminar dan lokakarya ”Masa Depan Kepemimpinan Ulama Perempuan” yang diselengarakan oleh Rahima beberapa waktu yang lalu. Perlu diketahui bahwa sejak lima tahun terakhir, Rahima aktif melakukan serangkaian pendidikan dan pengkaderan ulama perempuan di berbagai wilayah di pulau Jawa. Rahima menyadari bahwa para ulama perempuan memiliki peran yang sangat besar di dalam proses perubahan sosial. Sayangnya, kontribusi para ulama perempuan ini seringkali tidak terekspos secara luas, undercover, sebab mereka bekerja di komunitas-komunitas lokal dan grassroots.
Tengoklah apa yang dilakukan oleh Nyai Afwah Mumtazah dari pesantren Kempek Cirebon. Setiap hari, pintu rumahnya selalu terbuka selama 24 jam untuk menerima berbagai keluhan dari masyarakat baik menyangkut persoalan individu ataupun persoalan-persoalan sosial. Sebagai seorang Nyai dan ulama perempuan, dirinya dituntut untuk tidak hanya fasih berbicara tentang ilmu-ilmu agama tetapi juga memiliki kepedulian terhadap problem umat di sekitarnya. Sejak aktif mengikuti kegiatan-kegiatan yang diselenggarakan oleh Rahima, Nyai Afwah terus mensosialisasikan berbagai isu seputar kesehatan reproduksi, khitan perempuan dan perdagangan manusia (trafficking) kepada komunitas pesantren dan jama’ahnya di Majlis Taklim. Tentu saja isu-isu tersebut tidak mudah di terima oleh masyarakat Muslim ”tradisional”, dan bahkan cap sebagai kebarat-baratan kerapkali ia terima. Namun, Nyai Afwah pantang mundur, sebab isu-isu tersebut merupakan persoalan riil yang dihadapi oleh kaum perempuan di masyarakat.
Sosok ulama perempuan lainnya adalah Nyai Raihanah Faqih dari pesantren Darussalam Kediri. Di samping tugas utamanya berdakwah di pesantren dan di forum-forum pengajian, ”Nyai Rakyat” ini aktif melakukan kegiatan penyadaran terhadap hak-hak perempuan. Ketika mengaji Kitab Kuning, Nyai Raihanah selalu memasukkan penafsiran-penafsiran baru yang berperspektif keadilan gender. Namun, agar isu kesetaraan gender dapat diterima oleh jama’ahnya, maka kata ”gender” ia ganti dengan pemberdayaan perempuan.
Langkah praksis yang dilakukan oleh Nyai Raihanah untuk meningkatkan kesetaraan gender di pesantren adalah dengan memberikan akses yang sama antara santri putra dan putri untuk mempelajari Kitab Kuning. Sebelumnya, santri putri hanya boleh mengkaji ilmu-ilmu agama sebatas pada Fiqh yang selalu berhubungan dengan dunia perempuan, seperti bab-bab haid dan pernikahan. Kemudian Nyai Raihanah mengusulkan kepada para Kyai untuk memberikan kesempatan kepada santri putri untuk mengambil mata pelajaran yang selama ini menjadi wilayah santri putra. Nyai Raihanah melihat bahwa ini merupakan titik tolak dari proses pengkaderan para santri putri agar kelak bisa menjadi ulama. Bagaimana mungkin perempuan bisa memiliki kapasitas keulamaan, jika sejak awal di pesantren, mereka dikondisikan untuk hanya mempelajari bab-bab fiqh yang identik dengan persoalan perempuan, dan tidak diberikan akses untuk mengkaji kitab-kitab mu’tabarah? Hambatan-hambatan seperti inilah yang menyebabkan kesempatan kaum perempuan untuk menjadi ulama tidak selebar kaum laki-laki. Apakah dunia keulamaan memang diperuntukkan untuk laki-laki saja?
Baca Juga:
Fokus 2: Konsep Ulama di Dalam Islam
Fokus 3: Minimnya Kajian tentang Ulama Perempuan
Fokus 4: Ulama Perempuan: Her Story
Similar Posts:
- Umat Bertanya Ulama Menjawab
- Part Of Struggle: Nyai Hindun Anisah dan Perlawanan Budaya Patriarki di Lingkungan Pesantren
- Dari Forum Refleksi dan Evaluasi Program PUP IV Jateng-DIY: Saat Ulama Perempuan Dituntut Konkrit Berkiprah
- Menyemai Bibit Keulamaan Perempuan
- Ngaji Daring Ramadhan Bersama Ulama Perempuan