Al-qur’an sebagai kitab suci umat Islam merupakan sumber nilai dan ajaran serta pedoman hidup setiap orang Islam, kapan pun dan dimana pun ia berada. Umat Islam meyakini bahwa keseluruhan isi Al-qur’an adalah benar adanya. Hanya saja penafsiran dari para mufassir yang perlu kita perhatikan, apakah penafsirannya sesuai dengan spirit Islam sebagai rahmatan lil ’alamin yang menjunjung tinggi nilai kesetaraan dan keadilan atau justru sebaliknya.

Kalau kita membaca penafsiran para mufassir baik dari kalangan salaf maupun khalaf, baik dengan corak bil-ma’tsur maupun bi al-ra’yi banyak sekali bias gender di dalamnya. Bahkan tidak sedikit para mufassir tersebut memberikan penafsiran suatu ayat secara misoginis. Sementara, selama berabad-abad penafsiran Al-qur’an  sangat berpengaruh dalam membentuk  mindset masyarakat  dan berbagai kehidupan sosialnya.  Undang-undang, kebijakan pemerintah, norma-norma keagamaan maupun pranata sosial banyak yang berpijak serta dilandasi oleh corak penafsiran dari mufassir yang terkenal pada zamannya masing-masing.

Belakangan, banyak pemikir Islam kontemporer yang memiliki kesadaran akan sebuah keharusan untuk memberikan nuansa baru sekaligus kritik terhadap pemikiran para pendahulunya. Salah satunya adalah Amin al-Khuli. Kritikan beliau dialamatkan pada polemik di antara mufassir-mufassir klasik yang melakukan klaim kebenaran (truth claim) atas pendapat masing-masing, terlebih bila di dalamnya terkandung nuansa ideologi. Tawaran yang beliau ajukan adalah bagaimana pemahaman terhadap Alqur’an tersebut dapat sepadan meskipun dari latar belakang yang berbeda-beda. Meskipun beliau hanya sebatas penggagas dan pencetus ide yang tidak memiliki karya tafsir tersendiri, namun kita bisa melihat banyak sekali pengaruh metodologi yang beliau tawarkan ini. Di antara murid-murid beliau yang tenar di dunia Islam kontemporer adalah Aisyah Bint al-Syathi’ dan Nasr Hamid Abu Zaid.

Nama lengkap Amin al-Khuli adalah Amin Ibn Ibrahim Abdul Baqi’ Ibn Amir Ibn Ismail Ibn Yusuf al-Khuli. Keluarganya adalah keluarga pendekar Arab yang gagah pemberani dan kental nuansa keagamaannya. Kakek Amin al-Khuli dari pihak ibunya (Fatimah) ini adalah Syekh Ali Amir al-Khuli yang terkenal dengan sebutan al-Sibhi seorang alumni al-Azhar,dengan speialisasi Qira’at. Dia lahir pada awal bulan mei 1895 M. Pada usia tujuh tahun Amin tinggal bersama pamannya dan digembleng dangan pendidikan agama yang sangat ketat seperti meng hafal al-qur’an, menghafal tajwid al-tuhfah dan al-jazariah, fiqh, dan nahwu. Adapun kitab yang wajib di hafal adalah al-Syamsiah, al-Kanz, al-Jurumiah dan Matan al-Alfiah. Dalam penghafalan itu dia diberi keistimewaan, yakni di usia yang ke sepuluh tahun dia sudah hafal Al-qur’an, khususnya Qira’at Hafs dalam waktu singkat ”18 bulan”.

Pada tahun 1917 dia menulis tesis dengan titel al-Jundiyah al-Islamiyah wa Nadmuha yang diterbitkan tahun 1960 dengan judul al-jundiyah wa silmu waqi’ wa nissal dan artikel yang ditulis al-Madinah al-Jundiyah fi fiqhiyah, al-Aslihah al-Nariyah fil Juyusy al-Islamiyah dan al-jundiyah fi al-Islam. Mulanya ia mengkaji bahasa dan sastra Arab sebagai upaya untuk membongkar kebuntuan persepsi tentang kesakralan Al-Quran. Kedua bukunya, Fi Adabil Masyri’ dan Fannul Qaul (1947) adalah dua karya penting dalam menapaki pendekatan sastrawi atas Alqur’an.

Al-Khuli mengawalinya dengan mendekonstruksi wacana sastra Arab. Dekontruksi itu dilakukan melalui dua cara. Pertama, kritik ekstrinsik (an-naqdul khariji) yang diarahkan pada ”kritik sumber”. Kedua, kritik intrinsik (an-naqdul dakhili), yang diarahkan pada teks sastra itu sendiri. Dalam karya-karyanya Al-Khuli mulai meletakkan pondasi penafsiran yang lebih berkeadilan dan menghargai kesetaraan. Sebenarnya beliau belum terlalu menukik kepada masalah kesataraan gender dalam karya tulisnya. Akan tetapi tak dapat disangkal lagi bahwa metodologi yang beliau bangun sangat berguna dan menjadi inspirasi bagi para pemikir Islam kontemporer, salah satunya adalah Aisyah bint as-Syathi, sang isteri tercinta yang sangat peduli terhadap masalah-masalah perempuan dan banyak menghasilkan tulisan yang mengangkat issu-issu perempuan dan keadilan sosial.

Metodologi penafsiran yang dibawa oleh Amin al-Khuli mengindikasikan perhatiannya yang lebih terhadap keadaan sosial. Cerminan ini dia angkat sebagai prioritas utama dalam penafsiran yang memang pada mulanya hal ini berangkat dari kepeduliannya mengangkat tafsir bi al-ra’yi yang tersisihkan dari zaman Alqur’an diturunkan.  Konsep yang dia anggap sebagai model pembaharuan dalam tafsir betul-betul diterapkannya. Terlebih lagi dalam masalah pembaharuan sosial kemasyarakatan yang harus dimulainya dengan menginjakkan langkah pertama dengan memperbaharui metode penafsiran yang sudah ada. Selanjutnya aplikasi yang dia inginkan adalah mempertanyakan: “Apakah Islam sebagai solusi itu benar adanya?”. Dia menilai banyak penafsiran dan pemahaman dari teks-teks Alqur’an maupun as-Sunnah yang tidak sejalan dengan ruh Islam sebagai agama yang menjunjung keadilan dan kesetaraan.

Dia merasa khawatir dengan banyaknya penafsiran yang misoginis yang telah mengakar di masyarakat karena sudah termaktub dalam kitab-kitab para ulama secara berabad-abad yang dijadikan pegangan oleh masyarakat yang biasanya menerima penafsiran itu tanpa adanya kritik sama sekali. Imbasnya tidak sedikit kebijakan penguasa, fatwa para mufti atau aturan-aturan kenegaraan yang merugikan kaum perempuan. Seperti pembatasan ruang gerak di ranah publik (public sphere), domestifikasi perempuan, kontrol tubuh dan hak seksual perempuan, diskriminasi terhadap perempuan dan lain sebagainya yang jelas-jelas melanggar hak asasi perempuan sebagai seorang manusia.

Amin al-Khuli menggarisbawahi bahwa problematika di atas semakin mengarah pada jauhnya pemahaman arti Islam terhadap kehidupan sosial kemasyarakatan. Sedangkan sebagai agama, kalau tetap berdiri seperti ini, Islam tidak ditemukan dan tidak dapat dirasakan oleh umat dalam kehidupan sosial. Dia menilai bahwa keadaan seperti ini merupakan sebuah kemunduran dalam sejarah Islam, khususnya yang terkait dengan masalah perempuan. Pada zaman Rasulullah saw. kaum perempuan diperlakukan secara setara dengan kaum laki-laki, baik dalam hal ihwal ibadah, jihad, keilmuan, ekonomi dan sebagainya. Hal ini tidak dibiarkan saja oleh Amin al-Khuli. Keinginannya yang sangat kuat terhadap pemaknaan Islam dalam kehidupan sosial membawanya untuk menarik penafsiran Alqur’an melalui metode ini. Sehingga tujuan akhirnya adalah mendeklarasikan  berbagai upaya untuk menunaikan konsep hidup bahagia dunia akhirat. Secara langsung, upaya ini mendukung adanya Alqur’an yang menjajarkan keselarasan umat dalam kehidupan. Dan pada akhirnya nanti akan terwujudlah keshalihan masyarakat secara global bukan hanya keshalihan pribadi semata.

Ia telah banyak mengenyam berbagai aktivitas intelektual maupun sosial politik dengan penuh semangat dan tanggung jawab demi kemajuan agama, negara dan bangsa. Namun segala suka dukanya yang kesemuanya kental dengan nuansa seni-seni dan sastra, harus berakhir  pada usianya yang ke 71  karena mujtahid ini tutup usia.  Rabu 6 Maret 1966 Pendekar Sastra dan Pembaharu ini menuju tempat peristirahatan terakhirnya.  (Cecep Jaya Krama- dari berbagai sumber).

Similar Posts:

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here