Anis Hidayah, lahir di Bojonegoro, Jawa Timur, pada tanggal 7 Nopember 1976. Ia memulai pendidikan formalnya  di Madrasah Ibtidaiyah (MI) Sidorejo, MTsN I Bojonegoro sembali  nyantri di pesantren al-Falah, dan meneruskan di MAN Denanyar Jombang sambil menjadi santri juga di pesantren Mamba’ul Ma’arif Denanyar. Kemudian dirinya melanjutkan studi di Fakultas Hukum Unversitas Jember. Sejak tahun 2001, ia tercatat sebagai mahasiswa Program Pasca Sarjana Hukum Internasional Universitas Gajah Mada Yogyakarta. Menikah dengan suami tercintanya, Teguh Prawiro, MA dan dikaruniai seorang putri cantik bernama Diya Orienta (5 tahun).
Terhitung sejak tahun 2004, ia menjabat sebagai Direktur Eksekutif Migran Care, sebuah lembaga yang peduli terhadap hak-hak para pekerja migran Indonesia. Kiprahnya sebagai aktivis pembela buruh migran tidak diragukan lagi. Hal ini terlihat dari keterlibatannya di forum-forum tentang buruh migran di level nasional, regional maupun internasional. Misalnya saja, dirinya pernah mengikuti sejumlah konferensi, forum, ataupun workshop di berbagai Negara,  seperti;  Regional Consultation on Colombo Process, Manila Philippines (June 2010), International Workshop on Legal Aid in Asia-Pacific and Cooperation in Providing Legal Aid to Migrant Workers, Vietnam (November 2008), Regional Consultation with Indonesia High Level Panel, Bali (November 2008), Regional Conference on The Role of Parliament in the protection of migrant workers, Bangkok (Mei, 2008), dan lain-lain.
Aktivitas sehari-harinya dipadati oleh berbagai kegiatan, diantaranya; melakukan riset dan kajian tentang migrasi; menjadi narasumber dalam berbagai seminar, workshop, dan training; menulis di berbagai media dan menjadi narasumber dan aktif dalam berbagai forum di tingkat ASEAN, Asia, dan internasional; serta peserta aktif dalam forum-forum PBB (UN Sessions). Yang membanggakan adalah pada tahun 2008, dirinya dinobatkan sebagai 100 Perempuan Inspiratif versi majalah Kartini. Kali ini, di edisi 33 Suara Rahima  dia akan memberikan pandangan-pandangannya tentang persoalan buruh migran Indonesia. Berikut hasil wawancara lengkapnya.


Bagaimana anda melihat isu Mahram terkait dengan Fatwa MUI tentang pelarangan pengiriman tenaga kerja perempuan (TKW) ke luar negeri?

Sebenarnya, yang harus dilihat dari fatwa mahram ini adalah sumber rujukan yang dipakai  oleh MUI yaitu fikih klasik. Sedangkan di dalam fikih klasik itu sendiri, corak patriarkhinya masih sangat kental karena disusun oleh para fuqaha yang semuanya laki-laki pada zaman dahulu. Tetapi, pada hakikatnya, fikih itu sifatnya dinamis, karena ada upaya-upaya ijtihad yang dilakukan oleh ulama Islam. Sebagai contoh, di Indonesia akhir-akhir ini muncul karya-karya semisal fikih aborsi dan fikih trafficking. Jadi, menurut saya fatwa  MUI ini sangat tidak kontekstual. Kalau untuk menyelesaikan kasus-kasus TKW di luar negeri dengan mewajibkan mahram, maka MUI mereduksi kewajiban negara untuk memproteksi pekerja migran perempuan. Bayangkan kalau pergi sendiri saja para TKW harus berhutang, bagaimana kalau suami atau saudaranya juga ikut? Ini justru menambah beban. Persoalan TKW ini sangat kompleks dan sistematis sehingga tidak bisa diselesaikan dengan fatwa mahram.

Bagaimana pendapat anda tentang banyaknya kekerasan seksual yang menimpa TKI terutama di Arab akibat pemahaman masyarakat di sana  tentang ”Mahram” ini?

Yang perlu ditekankan disini adalah apa yang dimaksud dengan mahram itu? Kalau yang dimaksudkan adalah suami atau saudara laki-laki, maka tidak ada jaminan bagi TKW untuk terbebas dari kasus-kasus kekerasan dan pelecehan seksual. Ada beberapa kasus yang mana pasangan suami-istri pergi ke Arab untuk menjadi TKI, karena memang ada kebutuhan majikan untuk tukang kebun dan PRT. Tetapi, hal ini sama-sekali tidak menjamin tidak adanya pelanggaran. Para TKW kita tetap tidak mengenal jam kerja (over-time), mereka tidak bisa keluar rumah, tidak punya hari libur, gaji yang rendah, dan sebagainya. Jadi, yang namanya kerja paksa (force labour) dan perbudakan (slavery) itu tetap terjadi di Arab, meskipun para TKW kerja bersama suaminya.

Menurut saya, sejarah perbudakan di negara-negara Timur-Tengah masih berkelanjutan. Kultur perbudakan ini tidak berhenti ketika Islam datang, tetapi yang berubah adalah wajahnya. Bagi orang Arab, mempekerjakan PRT sama dengan melakukan transaksi pembelian budak. Karena ketika mereka merekrut PRT, mereka harus membayar ke agen Penyalur Jasa Tenaga Kerja Indonesia (PJTKI) dengan sejumlah uang. Seorang PRT dianggap seperti properti. Dan majikan merasa berhak untuk mengontrol dan memperlakukan mereka secara semena-mena.  Terlebih lagi, sektor privat ini menyulitkan kita untuk melakukan pengawasan dan pengaturan.

Dalam perspektif gender, apa yang timpang menurut anda terkait dengan isu Mahram ini?
Pertama-tama, perlu saya tegaskan bahwa yang butuh perlindungan bukan hanya pekerja migran perempuan tetapi juga pekerja laki-laki. Mengapa? Karena memang daya tawar TKI kita sangat rendah di hadapan negara-negara tujuan.  Yang kedua, diakui atau tidak, bahwa ranah buruh migran kita adalah ranah domestik atau pekerja rumah tangga. Dan yang membuat mereka rentan (vulnerable) adalah karena sampai saat ini, di level internasional pun belum ada prinsip-prinsip yang menjami hak-hak PRT. Tetapi, memang ada negara yang memiliki regulasi akan hal itu, seperti Hongkong. Karena Hongkong memiliki regulasi tentang pekerja rumah tangga, maka pelanggaran akan hak-hak mereka dapat diminimalisir. Di Hongkong, pelanggaran masih saja terjadi, tetapi tidak seburuk di negara tujuan lainnya. Jadi, karena kebanyakan TKW kita bekerja di  sektor yang private, dan domestik, maka mereka dianggap berbeda dengan sektor yang lain. Nah, celakanya, untuk kasus Indonesia, pekerja rumah tangga ini menjadi sektor yang mayoritas, hampir 83 %  buruh migran kita adalah PRT.

Kepada pekerja migran perempuan khususnya di Timur-Tengah, hal-hal apa saja yang harus dipersiapkan agar tidak terjerat pada aturan seputar mahram ini?

Dalam konteks Timur-Tengah, khususnya di Saudi Arabia, yang dibutuhkan bukan seorang pendamping, tetapi lebih kepada proteksi hukum. Indonesia sejak sebelum tahun 70-an sudah mengirim TKI ke Arab, tetapi sampai saat ini belum ada satu pun instrumen bilateral yang menuju pada aspek perlindungan. Beberapa kali ada upaya-upaya pembuatan Memorandum Of Understanding (MOU) antara kedua negara tetapi selalu gagal. Sebenarnya ada upaya dari pemerintah dan parlemen Indonesia untuk membuat MOU perlindungan, sayangnya pemerintah Arab selalu tidak mau. Mengapa? Karena sampai sekarang pemerintah Saudi Arabia belum memiliki peraturan tentang pekerja rumah tangga (domestic workers). Padahal, hampir 99 % TKI kita ke Arab adalah sebagai Pekerja Rumah Tangga (PRT).  Sama dengan situasi di  Indonesia, dimana pekerja rumah tangga belum dianggap sebagai bagian dari pekerjaan atau profesi resmi.

Karena di Arab belum ada peraturannya, pekerja rumah tangga ini tidak dimasukkan di dalam undang-undang ketenagakerjaan, sehingga tidak mengenal jam kerja, aturan gaji, dan hak-hak lainnya. Akibatnya, para TKW kita  sangat rentan terhadap berbagai pelanggaran, baik itu pelanggaran hak-hak normatif maupun pelanggaran hak asasi manuasia (HAM), misalnya pelecehan seksual.

Apa dampak dari fatwa MUI terhadap pekerja migran perempuan?

Beberapa teman TKI mengeluh kepada kita dan resah terhadap munculnya fatwa ini.  Perlu diingat bahwa mereka menjadi TKI adalah karena kemiskinan dan persoalan ekonomi. Di samping itu mereka juga harus bernegosiaisi dengan keluarga untuk pergi ke luar negeri. Tidak bisa dibayangkan jika fatwa ini sifatnya implementatif, siapa yang akan mengurus anak-anak, bagaimana pendidikan mereka kalau bapak dan ibunya harus berangkat menjadi TKI.

Satu sisi, fatwa MUI kelihatannya ingin melindungi, tapi kalau kita lihat secara jeli, akan muncul dampak-dampak negatif yang tidak pernah dipikirkan oleh MUI. Saya melihat bahwa fatwa MUI ini tidak dilakukan lewat kajian yang mendalam tentang situasi migrasi, ketenagakerjaan, biaya sosial (social cost), dan sebagainya. Kalau mahram menjadi kewajiban bagi seorang perempuan yang akan bekerja jauh dari rumah, bagaimana dengan anak-anak dan keluarga yang ditinggal?

Apa yang dilakukan Migrant Care terkait dengan fatwa MUI ini?

Kita membuat siaran pers (press release) dan berdiskusi langsung dengan MUI pada tahun 2007. Yang kita serukan waktu itu adalah kalau MUI memang serius memiliki kepedulian terhadap buruh migran maka sebaiknya memproduksi  fatwa-fatwa yang relevan. Misalnya, bagiamana MUI bisa memfatwakan tentang upah, yang sudah jelas ada hadisnya;”Bayarlah  upah kepada pekerjamu sebelum keringatnya kering”, atau memfatwakan haram kepada majikan yang tidak memberikan upah. Hal ini juga sangat jelas disebutkan di dalam kitab-kitab fikih.

Selanjutnya, fatwa ini juga tidak mengikat bagi umat Islam dan pemerintah juga tidak perlu meresponnya untuk diintegrasikan di dalam aturan-aturan ketenagakerjaan, khususnya yang ke Timur-Tengah. Kita sendiri tidak terlalu serius menanggapi fatwa mahram ini, tetapi kita juga menghimbau kepada MUI supaya memproduksi fatwa yang lebih produktif dan lewat kajian yang mendalam.

Kasus-kasus apa saja yang dihadapi pekerja migran perempuan terkait isu Mahram?

Sekali lagi, mahram bagi saya adalah perlindungan yang seharusnya diberikan oleh negara kepada para buruh migran perempuan. Seperti yang sering diberitakan di media massa, banyak sekali kasus-kasus pelecehan seksual, pemerkosaan, penganiayaan dan lain-lain yang dialami oleh para TKW. Berdasarkan pengalaman Migran Care, kalau ada TKW yang dianiaya di Arab, kita tidak pernah berhasil untuk melakukan proses advokasi. Karena hukum pidana di Arab, tradisinya adalah kompensasi dan kriminalisasi. Kalau ada kasus majikan yang rentan terhadap pelanggaran buruh migran, mereka justru melakukan kriminalisasi. Misalnya; mereka tidak menggaji TKW selama 2 tahun, mereka melakukan penganiayaan, dan sebagainya. Beberapa kasus yang kita tangani, para majikan di Arab justru menuduh para TKI kita melakukan kriminalisasi. Mereka mencari titik hukum yang aman dari sangsi pidananya, seperti menuduh para TKI melakukan sihir. Sedangkan di Arab sendiri, sihir itu adalah pidana.

Contoh lain adalah kasus-kasus perkoasaan. Di Arab sulit sekali untuk melakukan advokasi karena hukum mereka mengatakan; jika kasus mau diproses, maka harus ada 4 orang saksi. Nah, ini sangat sulit sekali pembuktiannya. Hal ini juga diperburuk oleh sangsi hukum penempatan TKI dimana cenderung melanggengkan impunitas (kejatahan tanpa hukuman). Banyak kasus yang ditangani LSM untuk diadvokasi, tetapi keluarga buruh migran sudah dikondisikan untuk tidak melakukan proses hukum. Sebagai kompensasinya mereka diberi uang dalam jumlah yang cukup atau hadiah oleh majikan. Kasus-kasus  semacam ini sering kita jumpai.

Bagaimana pengalaman buruh migran dari negara-negara lain yang bekerja sebagai PRT di Timur-Tengah?

Satu contoh yang ingin saya kemukakan disini adalah Filipina. Pemerintah Filipina  sadar betul bahwa buruh migran mereka memberikan kontribusi besar buat negara, sehingga kebijakan migrasi ketenagakerjaan mereka sangat baik. Dan ini ditandai bahwa sejak tahun 1995, Filipina sudah meratifikasi  konvensi PBB tentang perlindungan buruh migran, dimana Indonesia sampai saat ini belum melakukannya. Ini menjadi acuan kebijakan pemerintah Filipina tentang ketenagakerjaan. Meraka memiliki undang-undang tentang proteksi dan  juga membangun persetujan dua negara (bilateral-agreement) hampir di seluruh negara-negara tujuan. Mereka juga meletakkan standarisasi, contohnya mereka tidak mau menempatkan PRT, kalau gajinya dibawah US $400, kalau tidak ada hari libur, kalau jam kerjanya tidak 8 jam. Dan mereka mendidik betul orang-orang yang akan bekerja di sektor domestik  itu.

Bagaimana kontribusi Migrant Care terhadap penyelesaian masalah TKI?

Migrant Care selama ini aktif melakukan advokasi kebijakan. Artinya, kita selalu mengawal dan mendorong kebijakan migrasi yang memiliki perspektif HAM dan gender baik di tingkat nasional, bilateral dan daerah. Satu tahun ini kita berkonsentrasi untuk mendorong DPR untuk melakukan revisi UU no. 39 tahun 2004 tentang penempatan dan perlindungan TKI. Undang-undang ini masuk program legeslasi nasional (prolegnas), tetapi sampai saat ini baru dibahas beberapa kali karena targetnya adalah tahun depan. Yang mengkhawatirkan adalah bahwa skema revisi ini sudah ada instruksi presiden (inpres)-nya yang dikeluarkan oleh presiden SBY. Salah satu isi dari inpres ini adalah soal ketenagakerjaan. Dalam hal ini Departemen tenaga kerja diharapkan mempermudah pendirian PJTKI dengan mengahapuskan balai latihan kerja (BLK) sebagai sebuah kewajiban. Jadi, ada indikasi untuk menghilangkan hambatan-hambatan supaya orang bisa bekerja ke luar negeri dengan mudah demi meningkatkan devisa, bukan dalam konteks perlindungan. Akan sangat berbahaya jika orang akan dengan mudah mendirikan PJTKI tanpa pendirian BLK. Kondisi TKI kita justru akan semakin buruk.

Migrant Care terus berupaya memasukkan aspek-aspek perlindungan untuk diintegrasikan pada revisi UU TKI ini. Modal kita adalah data, selain melakukan advokasi kebijakan, Migrant Care juga melakukan advokasi kasus dan bantuan hukum. Jadi, setiap tahun kita membikin laporan tentang betapa krusialnya permasalahan TKI ini. Di samping soal tenaga kerja, kita juga konsen pada aspek HAM-nya. Berdasarkan pengamatan Migrant Care selama 3 tahun terakhir ini, kematian buruh migran Indonesia paling tinggi di seluruh dunia. Satu tahun pemerintahan SBY ini, 908 TKI meninggal di berbagai negara dan mayoritas adalah mereka yang bekerja di Maysia. Ini masalah serius sekali dan kita harus selalu mendesakkan kebijakan-kebijakan tentang perlindungan terhadap TKI kita.

Menurut anda, apa yang harus dilakukan oleh pemerintah terhadap negara-negara yang sering melakukan kekerasan terhadap TKW kita?

Sikap Indonesia paling tinggi di dalam merespon pelanggaran oleh negara-negara tujuan adalah dengan moratorium (penghentian sementara). Moratorium ini pernah dilakukan di Arab tahun 2006, selama 3 bulan, kemudian di perpanjang menjadi 6 bulan, tetapi pengaruhnya tidak signifikan. Saat ini juga ada moratorium dengan Kuwait dan sudah berjalan hampir 6 bulan. Kemudian ada juga moratorium dengan Malaysia selama 1, 5 tahun. Jadi, sikap paling tinggi adalah moratorium.

Tetapi sebenarnya apakah Indonesia berhasil bernegosisiasi dengan negara tujuan atau tidak, tergantung dengan kebijakan di dalam negeri. Nah, saya melihat selama 5 tahun terakhir, Indonesia ada di posisi status quo, yaitu komodifisasi buruh migran. Dengan pengesahan UU N0. 39 tahun 2004, sampai tahun 2009, belum ada upaya perbaikan apapun. Baru tahun ini ada upaya untuk dimasukkan ke program legislasi nasional (prolegnas). Kalau di dalam negeri saja, warga negara kita ditempatkan sebagai komoditas, apalagi diluar negeri. Di Malaysia, kita berhasil membuat MOU pada Mei tahun 2006, tetapi secara substansial berpotensi melanggar HAM. Jadi di MOU yang ditandatangani oleh Indonesia-Malaysia tentang penempatan TKI, disitu disebutkan bahwa majikan boleh menyimpan pasport TKI. Nah, pasport adalah dokumen negara dan ini adalah hak setiap warga negara untuk memegang, menyimpan dan menggunakan dokumennya. Kalau ini dipegang sama majikan, dan seorang TKI ada masalah dengan majikan, kemudian melarikan diri, maka dia kemudian menjadi tidak berdokumen. Di Malaysia, orang tidak berdokumen, sangsinya sangat ketat karena mereka memakai akta imigrasi 154. Apabila seorang TKI tertangkap dan tidak berdokumen, mereka tidak mau tahu kalau dokumennya di sandera oleh majikan, TKI tersebut langsung di beri sangsi yaitu di denda, di penjara dan di deportasi.

Hal penting lain yang ingin saya kemukakan adalah tahun ini parlemen Arab sudah mengusulkan draft tentang pekerja rumah tangga karena desakan dari luar yaitu lembaga-lembaga  intenasional yang pernah melakukan study tentang pekerja rumah tangga di Arab, seperti Human Rights Watch dan Amnesti International.  Lembaga-lembaga ini mendesak dalam bahasa mereka adalah  ”mengakhiri perbudakan” dengan membikin sebuah regulasi yang bisa mengakhiri tradisi budak yang dialami oleh PRT di Arab. Sayangnya, pemerintah  kita tidak melihat itu sebagai peluang emas. Di Indonesia sendiri tahun ini RUU PRT masuk dalam prioritas DPR. Tetapi kemudian ditunda entah sampai kapan.

Apa yang semestinya dilakukan pemerintah untuk melindungi dan mengupayakan pemenuhan hak para TKI (terutama TKI perempuan) yang bekerja di luar negeri?

Pemerintah semestinya melakukan upaya-upaya perlindungan semaksimal mungkin kepada para buruh migran perempuan. Sayangnya, saya justru melihat bahwa meskipun setiap tahun pemerintah melakukan perubahan kebijakan, tetapi arahnya bukan untuk proteksi tetapi lebih untuk meningkatkan remitansi. Persepsinya tetap tidak berubah dimana menganggap TKI sebagai komoditas.

Selanjutnya, hal penting yang perlu terus kita dorong adalah bahwa revisi UU no. 39 nanti harus memasukkan gender sebagai perspektif, karena mayoritas TKI kita adalah perempuan. UU TKI yang kita miliki saat ini sama sekali tidak memiliki persepektif gender (gender blank). Kalau pemerintah sejak awal memasukkan aspek gender di dalam setiap regulasi, maka bisa diketahui, kerentannya seperti apa, dan bagaimana cara mengatasinya.

Indonesia seharusnya menggunakan konvensi CEDAW sebagai referensi, kerena kita sudah meratifikasinya selama 25 tahun. Hak untuk bekerja (rights to work) adalah satu hal yang dijamin di dalam CEDAW ini. Apalagi komite CEDAW memiliki General Recommendation 26 tentang buruh migran perempuan. Ini harus menjadi referensi bagi DPR yang sedang menggodok revisi UU TKI, dan  pemerintah harus juga proaktif. Pasal-pasal yang selama ini tidak berperspektif gender harus dilihat betul. Bahkan idealnya, para diplomat yang diletakkan di negara-negara tujuan juga memiliki perspektif gender. Karena mayoritas kekerasan ini berbasis gender, maka penanganannya harus melalui gender approach.

Apa harapan anda ke depan bagi Indonesia menyangkut isu buruh migran ini?

Meskipun ada banyak sekali persoalan yang menimpa para buruh migran kita di luar negeri, tetapi kita harus tetap optimis bahwa ke depan kondisi TKI akan menjadi lebih baik. Bekerja merupakan hak setiap orang, dan adalah kewajiban bagi pemerintah untuk memberikan perlindungan bagi setiap warganya yang bekerja di luar negeri.

Ada beberapa hal positif yang mengarah pada upaya-upaya perlindungan bagi para TKI. Misalnya ratifikasi konvensi buruh migran kembali menjadi agenda dalam dokumen Rencana Pemerintah Jangka Menengah. Ini adalah pekerjaan rumah pemerintah yang sempat tertunda. Jadi, kita semua harus terus mengawalnya. Dan kemarin saya melihat anggaran Depnaker yang sudah disetujui oleh DPR yang memasukkan ratifikasi konvensi buruh migran. Ini adalah kunci, jika pemerintah masih memiliki political will untuk meratifikasi konvensi buruh migran, maka ini akan menjadi era baru, babak HAM bagi penempatan TKI kita.

Optimisme yang lain adalah saya melihat gerakan buruh migran yang sangat luar biasa di beberapa negara. Saya melihat kekuatan di Hongkong, Malaysia, dan Singapura. Saya membayangkan kalau temen-temen buruh migran ini bisa membangun jaringan komunikasi di seluruh dunia, maka akan menjadi sebuah kekuatan yang luar biasa untuk mempengaruhi kebijakan pemerintah Indonesia.

Apa harapan anda terhadap organisasi-organisasi Islam di Indonesia terkait isu TKI ini?

NU dan Muhamamdiyah adalah ormas Islam yang sangat besar dan strukturnya sampai di tingkat bawah. NU, utamanya harus mengambil peran untuk menyelesaikan masalah-masalah TKI ini,  karena mayoritas buruh migran kita memiliki kultur yang kuat dengan NU. Beberapa waktu yang lalu NU punya bahtsul masa’il soal buruh migran, majlis tarjih Muhammadiyah juga melakukan hal yang sama. Harapan kita adalah harus  berlanjut sampai pada level aksi. Sebagai contoh adalah bagaimana pengurus cabang atau ranting menjadi pusat informasi seputar isu TKI di daerah-daerah. Kalau ranting di desa-desa juga menjadi pusat informasi soal migrasi, maka ini akan menjadi gerakan yang luar biasa.

Di luar itu, lembaga-lembaga tersebut juga bisa berkontribusi di negara-negara tujuan. Contohnya, NU memiliki pengurus cabang istimewa di Malaysia, Taiwan, di Arab, dan kita sering melakukan komunikasi dengan mereka. Tetapi sampai saat ini saya belum melihat perhatian mereka terhadap buruh migran. Atau misalnya dengan menggunakan ukhuwah Islamiyyah untuk melakukan perlindungan terhadap buruh migran.

Adakah urgensi Pesantren terhadap persoalan buruh migran ini?

Saya kira ada. Beberapa waktu yang lalu Migrant Care menemukan keterlibatan pesantren terhadap isu TKI ini. Jadi, selebaran tentang rekruitmen TKI itu tidak hanya disampaikan dari rumah ke rumah tapi juga lewat pesantren. Sebagai contoh, pesan sekian orang untuk diberangkatkan ke Arab. Ada banyak orang yang kerja ke Arab, selain karena semangat ekonomi juga ada semangat haji dan umroh. Dan ini sudah terjadi, di Jawa Barat, Jawa Timur dan Nusa Tenggara Barat. Modusnya adalah mereka menggunaakan visa haji, tapi kemudian menjadi TKI. Bagi kami  ini sudah masuk kategori trafficking (perdagangan manusia).

Merespon hal tersebut, Migrant Care pernah melakukan pelatihan counter trafficking tahun 2004 yang melibatkan kyai-kyai dan masyarakat pesantren di Jawa Timur. Saya sangat khawatir ketika pesantren terlibat pengiriman TKI ke luar negeri. Mengingat lembaga pesantren sangat dihormati dan dipercaya kredibilitasnya, maka santri tidak was-was kalau bernagkat ke luar negeri lewat pesantren.Untuk itu, kita melibatkan pesantren agar memiliki perspektif tentang ketenagakerjaan, trafficking dan sebagainya. Sepertinya pesantren memang membantu orang mencari pekerjaan, tetapi mereka seringkali tidak tahu konsekwensinya.*** (Disarikan dari hasil wawancara oleh Riri Khariroh).

 

Similar Posts:

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here