Judul Buku          : Bebas Dari Patriarkhisme Islam
Penulis                : Syafiq Hasyim
Penerbit               : KataKita
Tahun Terbit        : 2010
Jumlah Halaman : 442 halaman

Salah satu kritik tajam dari para feminis adalah bahwa agama-agama Ibrahim (Abrahamic religions) berkontribusi besar terhadap berlangsungnya subordinasi dan marginalisasi kaum perempuan di dalam masyarakat. Agama disini dimaknai sebagai pemahaman-pemahaman keagamaan yang patriarkhis dan bias gender yang terkodifikasi dan terstrukturalisasi di dalam teks-teks Kitab Suci. Tak terkecuali Islam, sebagai sebuah agama besar yang muncul pada abad ke-7 Masehi di tengah-tengah budaya Arab yang patriarkhis, seringkali dituduh melanggengkan tradisi yang kurang ramah terhadap perempuan. Mungkinkah patriarkhisme yang sangat mapan di dalam Islam dapat hilang? Lalu bagaimana kita bisa membebaskan Islam dari patriarkhisme? Buku ini mengajak kita untuk mendiskusikan pertanyaan-pertanyaan tersebut.

Penulis buku ini adalah Syafiq Hasyim, salah satu dari sedikit intelektual Muslim (laki-laki) yang memiliki komitmen terhadap isu kesetaraan gender di dalam Islam. Di samping buku ini, Syafiq juga telah mempublikasikan beberapa karya yang membahas isu gender, antara lain; Hal-hal Tak terpikirkan tentang Isu-Isu Keperempuanan di Dalam Islam (Mizan, 2001), Menakar Harga Perempuan (Mizan, 1999), dan Women in Islam, the Indonesian Persepctive (Equinox, 2006). Dibesarkan oleh tradisi keilmuan dan keislaman di pesantren dan perguruan tinggi (dalam dan luar negeri), Syafiq  banyak membaca dan mengakrabi teks-teks Islam seperti tafsir, hadits, ulumul Qur’an, dan fiqh, utamanya yang membahas tentang diskursus gender.

Thesis penting dari buku ini adalah bahwa ”patriarkhisme merupakan suatu crafting di dalam Islam, karena tidak memiliki dasar dan pijakan yang kuat di dalam Islam. Karena patriarkhisme adalah crafting, maka ia bukan darah dan daging Islam, dan sangat mungkin untuk dihilangkan” (h. 24).  Yang dimaksud dengan patriarkhisme Islam disini adalah ”sebuah cara pemaknaan oleh kalangan tertentu, apakah itu karena akibat budaya, politik, peran sosial dan sejarah tertentu, yang menghasilkan pernyataan bahwa Islam itu agama yang memihak kepada ideologi patriarkhi”(h.21). Wujud kongkrit patriarkhisme Islam dapat dijumpai pada penafsiran-penafsiran atas teks-teks Islam (Al-qur’an dan Sunnah Nabi) yang menggabungkan cara baca literal dan asumsi sosial kultural tentang nilai-nilai pengutamaan laki-laki atas perempuan yang didasarkan pada jenis kelamin biologis, bukan didasarkan pada kapasitas non fisik yang dimiliki oleh kedua mahluk Tuhan.

Meskipun patriakhisme bukan bagian resmi dari ajaran Islam, tetapi mendapat tempat di dalam Islam karena dua hal; pertama, konteks sejarah dan budaya dimana Islam lahir dan berkembang yaitu di Arab, dimana sangat mengutamakan laki-laki, sehingga wajar jika penafsiran para ulama Islam zaman dulu sangat patriarkhis.  Kedua, secara tekstual Al-qur’an memang sangat memungkinkan untuk dibaca secara patriarkhis, karena secara gramatika, tatanan bahasa Arab memungkinkan kita untuk membaca Kitab Suci ini secara bias patrarkhi. Akan tetapi, memahami Al-qur’an tidak hanya dilihat dari aspek bahasanya saja, tetapi yang lebih penting adalah memahami konteks sosio-historisnya.  Islam pada prinsipnya adalah agama yang menjunjung tinggi keadilan, kesetaraan dan nilai-nilai luhur lainnya. Tetapi di dalam proses pembacaan terhadap kitab suci Al-qur’an dan Sunnah Nabi, berbagai faktor (baik dari dalam ataupun dari luar) mempengaruhi subjektifitas sang pembaca, termasuk budaya dominan yang ada disekitarnya.

Penulis buku ini memiliki obsesi untuk memurnikan Islam dari pengaruh patriarkhisme yang sudah lama dipahami oleh sebagian umat Islam sebagai bagian utuh dari Islam. Beberapa usulan yang ditawarkan untuk membebaskan Islam dari patriarkhisme adalah dengan cara; membedakan agama dari pemikiran agama, menyusun prinsip-prinsip keagamaan universal, dan melaksanakannya dalam konteks keseharian. Meminjam istilah Mohammad Arkoun yakni melakukan pembongkaran yang kemudian disertai dengan pembangunan kembali. Hal ini memang tidak mudah, mengingat mainstream pemahaman di kalangan masyarakat Muslim selama berpuluh-puluh abad sudah terlanjur mempercayai bahwa Islam memihak kepada laki-laki.

Dilihat dari content-nya, buku ini mencakup permasalahan-permasalahan yang sangat luas dan mengupas hampir seluruh isu-isu kesetaraan gender di dalam Islam, yang dibagi menjadi tiga bagian: Bagian I, yaitu Islam, Perempuan, dan Quo Vadis Gerakan. Tiga tema yang dibahas dalam bagian ini dalah Islam dan Kesetaraan Laki-Laki dan Perempuan, Gerakan Perempuan di Persimpangan Jalan, dan Gerakan Perempuan dan Civil Society di Indonesia. Pada bagian ini penulis meng-highlight pentingnya ijtihad di dalam membaca teks-teks Islam yang disesuaikan dengan kompleksitas zaman modern. Dalam hal ini, studi realitas menjadi sangat penting untuk memproduksi penafsiran-penafsiran yang lebih adil terhadap perempuan. Tetapi, penulis juga menyadari bahwa instrumen keagamaan saja tidak cukup untuk mewujudkan kesetaraan gender, tetapi juga harus didukung dengan instrumen-instrumen internasional dan nasional seperti dalam perundang-undangan. Gagasan-gagasan kesetaraan pada akhirnya termatrealisasikan di dalam gerakan perempuan Islam yang terus berupaya untuk mewujudkan kehidupan yang lebih adil dan setara. Dengan kata lain, gerakan perempuan Islam menjabarkan nilai-nilai universal Islam pada level yang lebih membumi dan kongkrit.

Bagian II dari buku ini adalah Perempuan Sebagai Korban Patriarkhisme Atas Nama Islam, memuat beberapa tema penting yaitu kekerasan terhadap perempuan, Keluarga Berencana (KB), seksualitas, kesehatan dan hak-hak reproduksi. Secara eksplisit, buku ini menyebutkan bahwa perempuan adalah korban dari patriarkhisme Islam. Sebagai contoh, pemahaman yang bias gender terhadap teks-teks keagamaan seringkali dijadikan legitimasi untuk melakukan kekerasan terhadap perempuan, domestifikasi, pernikahan paksa (ijbar), poligami, dan pengabaian terhadap hak-hak reproduksi perempuan. Dalam konteks ini posisi perempuan selalu menjadi korban dan dikorbankan, selalu menjadi lemah dan dilemahkan.

Bagian akhir dari buku ini adalah Perempuan dan Ruang Pembebasan, dimana tema-temanya adalah Politisasi Islam terkait Dengan Perempuan, Perempuan dan Pesantren, Tokoh-Tokoh Perempuan dan Peran Ulama Laki-Laki di dalam Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan.  Meskipun patriarkhisme Islam begitu kuat, akan tetapi banyak upaya-upaya yang dilakukan oleh kalangan Muslim sendiri untuk mewujudkan tradisi keagamaan yang lebih adil bagi perempuan. Upaya-upaya ini disebut sebagai pembebasan perempuan dari kungkungan patriarkhi. Yang dimaksud pembebasan disini adalah ”ketika perempuan memiliki diri mereka sendiri dan  memutuskan perkara atas kepentingan diri mereka sendiri” (h. 340). Dalam hal ini, partisipasi kaum laki-laki untuk memperjuangkan kesetaraan di dalam Islam menjadi penting, mengingat isu gender tidak hanya berbicara tentang perempuan, tetapi juga laki-laki .

The last but not least, buku ini dapat memperkaya kita tentang isu kesetaraan gender di dalam Islam, khususnya di Indonesia.  Akan tetapi, cakupan buku ini  terlalu luas sehingga beberapa temanya tidak tereksplorasi secara dalam. Ada baiknya jika masalah-masalah yang dibahas di dalam buku ini ditulis dalam beberapa buku dan dikupas secara mendalam, seperti  HIV/AIDS di dalam Islam,  Seksualitas di dalam Islam, dan sebagainya. Terlepas dari itu, buku ini sangat penting untuk melihat betapa kayanya tradisi penafsiran di dalam Islam. [] Riri Khariroh.

Similar Posts:

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here