Beranda Ulama Perempuan Pemikiran Mahram dalam Perspektif Islam sebagai Rahmatan Lil ’Alamin

Mahram dalam Perspektif Islam sebagai Rahmatan Lil ’Alamin

0
2518

Dr. Nur Rofi’ah adalah seorang aktivis dan peneliti isu-isu women’s rights di dalam Islam. Selama ini, ia mengkaji penafsiran-penafsiran yang bias jender di dalam teks-teks Al-qur’an dan hadits dan melakukan upaya rekonstruksi demi pemahaman keagamaan yang lebih adil bagi perempuan. Mba Nur (panggilan akrabnya), sejak tahun 2005 merupakan dosen bidang tafsir Program Pascasarjana Institut PTIQ Jakarta. Selain itu, ia tercatat sebagai dosen tidak tetap Jurusan Tafsir Hadis dan Program Ekstensi FUF UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Ia juga pernah  menjadi dosen tamu Pogram Kajian Wanita UI Jakarta pada tahun 2003.
Di sela-sela kesibukan mengajarnya, Ibu dari Muhammad Gandhi dan Sevghi Ahinsa, aktif di PP Fatayat NU dan menjabat sebagai salah satu Ketua untuk periode 2010-2015. Narasumber dan juga fasilitator di berbagai pelatihan dan seminar ini, mendapat gelar S2 dan S3-nya di Ankara Turki. Sejumlah karya yang sudah dipublikasikan antara lain Pandangan Islam atas Perkosaan dalam Perkawinan (2007), Urgensi Kesehatan Reproduksi untuk Calon Pengantin (Fatayat NU-2008), Islam dan Perlunya Pendidikan Anak Usia Dini (Fatayat NU-2009), Islam sebagai Rahmat bagi Alam Semesta (Depag-2010), Hak Buruh Migran Indonesia sebagai Warga Negara, Pekerja, Perempuan, dan Muslim (Fatayat NU-2010), dan Agama Mendengar Suara Perempuan Korban Kekerasan Demi Keadilan (2010-Komnas Perempuan).
Dalam kesempatan wawancara bersama Suara Rahima kali ini, ia akan membeberkan seputar konsep mahram dalam Islam dan bagaimana aplikasinya dalam kehidupan modern. Berikut wawancara selengkapnya.

Menurut anda, apa arti Mahram dalam Islam?

Mahram secara bahasa (Arab) mengandung arti yang diharamkan. Secara istilah, Mahram mengandung arti orang-orang yang haram dinikahi. Ibnu Qudamah dalam al-Mughni misalnya mengartikan Mahram dengan semua orang yang haram untuk dinikahi selama-lamanya karena sebab nasab (keturunan), persusuan, atau pernikahan. Istilah Muhrim juga kerap digunakan untuk arti mahram. Namun secara bahasa Muhrim mengandung arti yang berbeda sekali, yaitu orang yang ihram baik ketika haji maupun umroh.

Lalu, dimana letak perbincangan isu ”mahram” ini dalam fiqh klasik ?

Di dalam fiqh klasik, isu mahram tidak hanya muncul dalam topik munakahat (pernikahan), tetapi juga dalam topik lain seperti thaharah (bersuci) yakni bahwa laki-laki dan perempuan yang mahram jika bersentuhan kulit tidak membatalkan wudlu, dan safar (bepergian) yakni bahwa laki-laki harus menyertai dan menjaga perempuan yang menjadi mahramnya ketika bepergian, musafaha (berjabat tangan) yakni bahwa laki-laki dan perempuan mahram boleh berjabat tangan, khalwat (menyendiri) yakni laki-laki dan perempuan mahram boleh berduaan di tempat sepi.

Dalam konteks apa isu ”mahram” ini muncul ?

Pada umumnya mahram ini muncul dalam konteks membedakan antara laki-laki dan perempuan asing dengan yang bukan. Mereka yang tidak termasuk dalam kategori mahram dianggap sebagai orang asing yang harus dijaga “jarak aman”nya sehingga mempunyai etika relasi yang berbeda dengan mahram. Misalnya boleh menikahi, membatalkan wudlu, tidak berhak mendampingi perempuan ketika bepergian, tidak boleh berjabat tangan, dan tidak boleh berduaan.

Bagaimana pendapat-pendapat Mazhab tentang  konsep Mahram?

Dalam konteks pernikahan, tidak ditemukan perbedaan pendapat bahwa laki-laki dan perempuan mahram tidak boleh menikah. Hal ini disebabkan dalilnya cukup jelas dalam al-Qur’an (Qs. An-Nisa/4:22-23). Namun dalam hal bepergian, khalwat, wudhu, dan jabat tangan, para ulama berbeda pendapat. Contohnya adalah dalam konteks wudhu di mana kata kuncinya adalah lamastum an-nisa (al-Maidah/6:6). Imam Hanafi berpendapat bahwa istilah tersebut berarti bersetubuh sebagaimana digunakan al-Qur’an di al-Baqarah/2:236: “Jika kalian mencerai sebelum menyentuh (bersetubuh dengan) mereka….artinya menyentuh laki-laki bukan mahram tidak batal wudhunya“. Imam Syafi’i berpendapat menyentuh (anggota badan manapun) perempuan yang bukan mahram adalah batal, sedangkan Imam Malik berada di antara keduanya dengan berpendapat bahwa bersentuhan dengan perempuan disertai syahwatlah yang membatalkan wudhu. Perbedaan pendapat di kalangan Madzhab juga terjadi dalam membicarakan mahram di konteks lainnya.

Bagaimana isu Mahram ini diperbincangkan dalam konteks kehidupan masa Rasulullah saw. dan para sahabat dulu?

Kesepakatan ulama dalam membicarakan mahram pada konteks pernikahan dan perbedaan pendapat yang cukup tajam dalam topik lainnya sebetulnya mengindikasikan bahwa penerapan mahram sebagai dasar etika relasi laki-laki dan perempuan itu dinamis, yakni diatur menurut perkembangan yang terjadi. Pada prinsipnya relasi itu harus didasarkan dan berdampak pada kemaslahatan laki-laki dan perempuan sebagai pribadi, anggota keluarga, maupun anggota masyarakat.

Adakah contoh-contoh peristiwa yang terjadi seputar isu Mahram pada zaman Nabi saw.?

Tentu karena konsep ulama tentang mahram ini juga didasarkan pada ayat dan hadis. Hanya saja kita tahu ada 6000 lebih ayat di dalam al-Qur’an dan jumlah hadis tentu saja jauh lebih banyak lagi. Perbedaan dalam memilih ayat dan hadis dan dalam memahami ayat dan hadis yang sama menyebabkan para ulama berbeda pendapat.

Misalnya mahram dalam konteks safar (bepergian). Ada banyak hadis yang berbicara tentang perlu tidaknya perempuan didampingi mahramnya dalam bepergian. Hadis-hadis tersebut antara lain adalah sebagai berikut:

‘Tidak halal bagi wanita muslim bepergian lebih dari tiga hari kecuali bersama mahramnya`. (HR Muttafaq ‘alaihi), ‘Tidak halal bagi seorang wanita yang beriman kepada Allah dan hari kiamat untuk bepergian lebih dari tiga hari, kecuali bersama mahramnya atau suaminya’. (HR. Muttafaq ‘alaihi), (Dari Ibnu Abbas ra berkata bahwa Rasulullah SAW berkhutbah,“Dan janganlah seorang wanita bepergian kecuali bersama mahramnya”. Ada seorang bertanya,`Ya Rasulullah SAW, aku tercatat untuk ikut pergi dalam peperangan tertentu namun istriku bermaksud pergi haji. Rasulullah SAW bersabda,`Pergilah haji bersama istrimu`. (HR. Bukhari, Muslim dan Ahmad.), `Wahai Adi, Pernahkah kamu ke Hirah? Aku menjawab, belum tapi hanya mendengar tentangnya. Beliau bersabda,”Apabila umurmu panjang, kamu akan melihat wanita bepergian dari kota Hirah hingga tawaf di Ka`bah tidak merasa takut kecuali hanya kepada Allah saja`. Adi berkata,”Maka akhirnya aku menyaksikan wanita bepergian dari Hirah hingga tawaf di ka’bah tanpa takut kecuali hanya kepada Allah (HR. Bukhari).

Hadis-hadis tersebut menunjukkan bahwa ada saat-saat di mana ketika itu laki-laki diperintahkan untuk mendampingi perempuan bepergian, misalnya haji atau bepergian lebih dari tiga hari, dan ada saat-saat di mana mereka tidak memerlukannya. Laki-laki diperintahkan untuk mendampingi perempuan Mahramnya dalam bepergian yang memerlukan jaminan keselamatan. Sebaliknya, jika jaminan tersebut tidak diperlukan, maka tidak perlu pendampingan. Oleh karena itu, isu utamanya bukanlah boleh tidaknya perempuan bepergian tanpa Mahram, melainkan jaminan keselamatan dalam bepergian.

Menurut Islam, apakah hakikat Mahram memang harus berupaya untuk mengekang ruang gerak perempuan?

Tentu tidak. Pada prinsipnya Islam mendorong laki-laki dan perempuan untuk mengembangkan potensi diri semaksimal mungkin. Tentu perlu situasi yang kondusif baik di dalam maupun di luar rumah agar keduanya dapat menjadi tim yang solid, saling menjaga, saling support sebagaimana firman Allah Swt pada Qs. at-Taubah/9:71: laki-laki dan perempuan mu’min adalah penjaga (auliya) satu sama lain, mereka saling memerintahkah yang ma’ruf dan saling mencegah yang munkar…Untuk menciptakan situasi yang kondusif untuk berkembang ini kemudian diperlukan jaminan keselamatan ketika berada di ruang publik, baik bagi laki-laki maupun perempuan.

Lalu bagaimana menurut Anda isu mahram dalam kontes kehidupan zaman sekarang?

Spirit konsep Mahram dalam relasi lai-laki dan perempuan, yakni jaminan keselamatan dengan membedakan bentuk relasi antara orang asing dan bukan menjadi sebuah kebutuhan dalam pertahanan sebuah kelompok sosial. Hanya saja pengaturan relasi ini tetap harus dilakukan secara proporsional, supportif, dan adil bagi kedua belah pihak, serta mempertimbangkan faktor lain yang lebih strategis seperti peran negara sebagai penjamin keselamatan laki-laki dan perempuan.

Akan selalu relevankah, atau ada pandangan-pandangan yang berbeda?

Pada prinsipnya yakni perlunya pengaturan dalam relasi laki-laki dan perempuan yang asing dan bukan menurut saya tetap perlu sepanjang masa, hanya cara pengaturan ini yang mungkin akan terus melahirkan perbedaan. Bahkan perbedaan pengaturan ini sebetulnya kan sudah terjadi pada masa Rasulullah Saw karena perubahan situasi hingga masa ulama Madzhab (ulama klasik). Sekarang pengaturan ini menjadi perlu untuk mempertimbangkan peran negara untuk mengambil alih fungsi Mahram dalam berbagai konteks.

Bagaimana seharusnya isu Mahram diimplementasikan saat ini?

Tidak sedikit Muslim laki-laki dan perempuan di Indonesia yang mengharamkan jabat tangan, khalwat, membatalkan wudlu karena sentuhan, tetapi membiarkan perempuan mereka keluar sendiri tanpa mahram dalam berbagai skala ya….mulai dari sekedar ke warung sebelah untuk beli terasi, membiarkan anak perempuan mereka kos dan kuliah sendiri, naik bis malam seorang diri keluar kota, sampai keluar negeri berhari-hari. Saya sering melihat perempuan bercadar yang dibiarkan jalan sendiri keluar rumah.

Sebaliknya, anak laki-laki yang sudah baligh tetap ditemani ayah, ibu, atau kerabat lainnya ketika bepergian ke tempat-tempat tertentu seperti pertama kali ke kampus, ke sebuah kota, keluar negeri atau tempat lainnya. Hal ini menunjukkan adanya sebuah common sense (semacam kesepakatan umum) bahwa laki-laki dan perempuan perlu pendamping dalam bepergian yang dikhawatirkan memberikan mudlarat pada mereka ketika sendirian. Sebaliknya keduanya tidak perlu pendamping dalam bepergian yang diyakini aman. Memang menciptakan situasi aman inilah yang menjadi isu utama dalam mahram. Dalam konteks kekinian, situasi aman di publik ini lebih baik diciptakan dengan cara melarang orang jahat baik laki-laki maupun perempuan untuk keluar rumah sebagaimana konsep penjara.

Terkait isu Mahram apa pendapat Anda tentang masalah pelarangan terhadap Tenaga Kerja Perempuan ke luar negeri yang pernah difatwakan MUI?

Problem yang dihadapi Tenaga Kerja Perempuan di luar negeri memang menunjukkan pentingnya perlindungan yang menjadi spirit dari Mahram ini. Namun mahram personal sebagaimana dimaksudkan oleh MUI jelas tidak mencukupi karena persoalan yang mereka hadapi itu melibatkan banyak pihak di negara pengirim (Indonesia) maupun negara penerima (Malaysia, Singapura, Hong Kong, Taiwan, Saudi Arabia dan negara lainnya). Dalam hubungan kerja lintas negara ini, maka perlindungan paling efektif hanya bisa dilakukan oleh Negara melalui berbagai kebajikan yang terkait dari hulu ke hilir, kebijakan di dalam negeri maupun diplomasi dengan negara lain. Kerajaan Saudi Arabia sendiri tidak mensyaratkan Mahram bagi perempuan yang mau bekerja di sana padahal mereka mensyaratkannya pada perempuan yang akan umrah atau haji. Padahal siapakah di antara perempuan yang mau bekerja dan umroh/haji yang lebih terancam keselamatannya sehingga lebih membutuhkan perlindungan?

Apa pendapat Anda tentang hukum haram atas pekerjaan ”ojeg” yang dilakoni perempuan terkait isu Mahram?

Maksud fatwa ini pastinya baik karena ingin melindungi perempuan dari sesuatu yang membahayakan dirinya. Namun ketika “ngojeg”nya perempuan itu menjadi satu-satunya sumber nafkah sebuah keluarga karena tidak punya satu pun laki-laki yang memenuhi nafkah sebagai kewajibannya, maka yang harus diharamkan adalah perilaku (laki-laki) yang membahayakan perempuan ketika menjadi tukang ojek, bukan pekerjaan “ojeg” bagi perempuan yang sedang menafkahi keluarganya.

Mahram juga sering dimaknai sebagai ”keluarga terdekat” yang memiliki tugas sebagai pelindung (proteksi), namun mengapa masih saja terjadi kasus incest atau hubungan seksual sedarah atau kekerasan (termasuk kekerasan seksual) yang justru dilakukan oleh  mereka yang  berstatus sebagai Mahram ini?

Laki-laki yang menjadi Mahram perempuan adalah laki-laki pilihan Allah yang diberi amanat secara khusus untuk melindungi perempuan. KDRT dan perkosaan incest menunjukkan bahwa amanat ini seringkali dikhianati. Hal ini menunjukkan bahwa bahkan dalam rumah sendiri pun Mahram personal dapat bermasalah sehingga perlu “Mahram” lain berupa Negara untuk mencegah kejahatan yang dilakukan oleh para laki-laki Mahram ini. UU PKDRT (Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga) dapat dipahami sebagai salah satu wujud pengambil alihan fungsi Mahram personal oleh “Mahram Struktural” (Negara) sebagai penjamin keselamatan di ruang domestik.

Bagaimana menurut Anda tentang perangkat-perangkat hukum dan juga konvensi internasional yang dapat diposisikan sebagai ’mahram’ untuk konteks pergaulan internasional saat ini?

Tentu sangat strategis untuk memanfaatkan semua perangkat hukum internasional sebagai cara untuk memberikan perlindungan menyeluruh. Ajaran Islam meskipun ditujukan pada semua manusia namun dalam realitasnya hanya mempunyai otoritas di kalangan Muslim sehingga perangkat hukum internasional dapat dipandang sebagai “kalimatun sawa” bagi warga dunia apa pun agamanya. Namun demikian, kita tetap perlu mengkritisi perspektif,  perumusan, maupun impelementasinya agar kepentingan tertentu tidak mengorbankan perlindungan kelompok yang dilemahkan sebagai spiritnya. Sikap yang sama juga diperlukan dalam memahami perspektif, perumusan, dan implementasi ajaran Islam agar perlindungan mustadl’afin yang menjadi spiritnya juga tidak dikorban demi kepentingan tertentu.

Apa harapan Anda  untuk memaknai Mahram secara lebih progresif dan benar-benar melindungi hak-hak perempuan ?

Perlindungan yang menjadi spirit Mahram haruslah mempertimbangkan perspektif perempuan sebagai pihak yang dilindungi. Jika tidak, maka perlindungan akan segera berubah menjadi kontrol laki-laki atas perempuan secara sepihak. Spirit Mahram yang bersifat personal menjadi penting untuk dikembangkan dalam konteks yang lebih luas tanpa mengabaikan perspektif perempuan. Kebijakan negara maupun fatwa agama yang berkaitan dengan perempuan sudah semestinya didasarkan pada kondisi obyektif perempuan yang mengalaminya, bukan kondisi sebagaimana yang mereka bayangkan. Perlindungan tidak hanya diperlukan dalam keluarga sebagaimana konsep Mahram, tetapi dalam kehidupan sosial, negara, bahkan dunia. Oleh karena itu, perlu dipertimbangkan “mahram” masyarakat, negara, dan dunia internasional melalui sistem perundangan dan penerapannya.** (Disarikan dari hasil wawancara, Riri Khariroh)
___________________________

 

Similar Posts:

TIDAK ADA KOMENTAR

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here