Ketika saya melaksanakan Umrah pada tahun 2006, pemerintah Arab Saudi menetapkan peraturan jika seorang perempuan yang melaksanakan Umrah belum berusia 40 tahun maka diharuskan bersama seorang laki-laki yang bertindak sebagai mahram dan dicatatkan di buku paspor. Sebelumnya, saya tidak mengerti akan peraturan tersebut (karena memang tidak pernah mendapatkan informasi sebelumnya tentang hal ini) dan baru mengetahuinya sesaat sebelum pesawat mendarat di Bandara King Abdul Aziz, Jeddah.
Fungsi mahram ketika melaksanakan ibadah Umrah hanyalah ketika kita akan masuk pintu pertama di bandara tersebut sembari menunjukkan paspor. Saya pun di-mahram-kan pada salah satu jemaah Umrah secara formalitas saja, apalagi saya tidak mengenal ’mahram saya’ sebelumnya. Dalam kondisi bersama mahram, saya masih saja mengalami pelecehan secara verbal melalui rayuan kata-kata oleh seorang petugas berwajah Arab yang memeriksa paspor saya. Dalam bahasa Arab, dia mengatakan kalimat yang artinya kurang lebih demikian. ”Kamu cantik. Kamu tinggal saja di sini bersama saya. Biar suamimu pulang sendiri”.
Saya jadi berfikir, mengapa dia sanggup melontarkan kata-kata yang tidak sopan dan tidak senonoh padahal dia tahu saya bepergian untuk tujuan suci ibadah? Ketika saya sedang bersama seorang mahram kenapa dia masih bisa mengganggu dan menggoda saya? Bukan hanya saya yang digodanya, bahkan beberapa teman saya pun juga digodanya. Lalu apa sebenarnya fungsi mahram yang diharuskannya sebagai peraturan?
Saya juga teringat pada saat seorang perempuan asal Jawa Barat ketika sendirian menunjukkan paspornya. Petugas langsung menyuruhnya ke belakang dan ia dibawa ke sebuah ruangan. Mungkin untuk diinterogasi oleh petugas yang berwenang.
Fenomena semacam ini sebenarnya sudah sejak lama terjadi. Hal ini justru juga menimbulkan interpretasi yang salah, bahwa mahram yang dimaksud harus menikah terlebih dahulu sebelum berangkat ke Makkah-Madinah. Sungguh prasangka ini tidaklah pasti benar adanya, karena saya dan perempuan lain dalam rombongan tidak melaksanakan pernikahan yang dipahami oleh sebagian masyarakat. Mahram yang dimaksud hanyalah formalitas belaka, sebagai tuntutan aturan yang berlaku di Arab Saudi. Mereka bahkan tidak berfungsi sama sekali untuk bisa melindungi, apalagi berfungsi sebagai suami. Peran mereka berakhir setelah melewati pintu pemeriksaan paspor, karena setelah itu kami pergi sendiri-sendiri sebab tidak terikat pada perjanjian dan kontrak apapun.
Kembali saya teringat pada konsep dan kajian fiqh yang banyak memperdebatkan soal mahram ini. Imam asy-Syuyuthi (al-Qaul fi Ahkam al-Untsa) mengatakan; “Seorang perempuan hanya boleh melakukan safar jika disertai dengan suami atau mahram. Hal ini juga disyaratkan ketika ia melaksanakan haji yang menjadi kewajibannya“.(Jalaluddin Abdurrahman asy-Syuyuthi, al-Asybah wa Nadhair fi al-Furu’,Beirut: Dar al-Fikr, tt, halaman 152).
Jika pandangan fuqaha lebih dominan seperti diatas, bagaimana dengan realitas yang ada disekitar kita? Bagaimana jika yang akan menunaikan ibadah haji adalah seorang janda atau belum bersuami? Apakah kewajiban berhaji karena tergolong mampu akan batal gara-gara tak punya mahram? Atau perempuan yang tak bermahram tak boleh melaksanakan ibadah umrah? Bila dipaksakan, keberadaan ’mahram formalitas’ tentu juga tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Lalu apa sebenarnya substansi mahram bagi perempuan dalam masyarakat yang berperadaban? Karena jika keamanan bisa dijamin oleh negara, maka masih perlukah perempuan yang melakukan safar untuk didampingi seorang mahram?[]