Membahas konsep mahram, saya teringat dengan ”curhat” seorang kawan perempuan dari Saudi Arabia, namanya ’Arij. Pada suatu hari, ’Arij berbincang-bincang dengan kami (mahasiswi Muslim dari Indonesia) di Islamic Center selepas menunaikan shalat ’Iedul Fitri tahun 2009. ’Arij mengaku bahwa dirinya sering merasa cemburu (jealous) dengan para mahasiswi Muslim asal Indonesia yang sepertinya memiliki banyak kebebasan, terutama untuk menempuh studi di luar negeri. Sebaliknya, dia harus ditemani oleh seorang mahram (pendamping), dalam hal ini adik laki-lakinya yang sengaja dikirim oleh pemerintah Saudi untuk menjaganya selama menyelesaikan program Master di Ohio University, Amerika Serikat. ’Arij bukan tidak senang atas kehadiran sang adik yang dia sayangi, tetapi dia menyayangkan kebijakan pemerintah Saudi Arabia yang tidak membolehkan perempuan untuk pergi ke luar negeri tanpa disertai seorang mahram. Bagi ’Arij, Amerika Serikat adalah sebuah negara yang sangat aman dan menjamin keselamatan setiap individu sehingga mahram fisik tidak dibutuhkan lagi. Apalagi sebagai seorang perempuan yang sudah dewasa dan berpendidikan, ’Arij dapat menjaga diri dengan baik. Apa boleh buat, pemerintah Saudi Arabia tetap mempersyaratkan seorang mahram bagi warga perempuannya yang ingin bepergian jauh dari rumah, termasuk untuk menempuh studi ke luar negeri.

Kewajiban mahram ini juga ditetapkan oleh pemerintah Saudi Arabia di dalam aturan berhaji, dimana para perempuan Muslim yang ingin melakukan ibadah haji atau umroh wajib di dampingi seorang mahram. Karenanya, dalam konteks Indonesia, Departemen Agama (Depag) sebagai pihak penyelenggara haji, juga mensyaratkan perempuan untuk bepergian dengan mahram-nya. Bagi perempuan yang beribadah haji tetapi tidak disertai suami atau mahram-nya, maka ditunjuklah seorang laki-laki lain (ajnabi) sebagai mahram angkatnya, atau terlebih dahulu di percayakan oleh pihak keluarga kepada seorang laki-laki yang dipercaya1.  Alasan dibelakang persyaratan mahram ini tidak lain berasal dari penafsiran yang literal terhadap teks-teks Islam yang menyebutkan tentang wajibnya mahram dampingan bagi perempuan2.

Berbeda dengan konteks haji, pemerintah Saudi Arabia tidak mensyaratkan kepada calon buruh migran perempuan untuk di dampingi seorang mahram apabila hendak bekerja di negara tersebut.  Saat ini jutaan tenaga kerja Indonesia (TKI) bekerja di Saudi Arabia, dan mayoritas mereka adalah kaum perempuan yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga (PRT). Ironisnya, para pekerja di sektor domestik ini sangat rentan terhadap berbagai pelanggaran hak asasi manusia, kekerasan dan eksploitasi oleh para majikan. Hal ini disebabkan sektor domestik adalah wilayah privat yang sulit untuk diawasi dan dikontrol oleh publik. Terlebih lagi struktur sosial dan budaya di Arab yang sangat mendiskriminasi kaum perempuan.

Tengoklah berita-berita di media massa tentang nasib tenaga kerja wanita (TKW) asal Indonesia yang bekerja di Arab. Sebut saja Sumiati, seorang TKW asal Dompu, Nusa Tenggara Barat  (NTB) yang disiksa secara brutal oleh majikannya di Arab. Sumiati harus menjalani perawatan intensif di rumah sakit di Saudi Arabia untuk mengobati sejumlah luka di tubuhnya, termasuk bibirnya yang luka akibat bekas guntingan. Selain itu, sekujur tubuhnya juga terluka bakar parah. Dugaannya, akibat diseterika oleh sang majikan. Kekerasan yang dialami Sumiati beberapa waktu yang lalu mendapatkan perhatian yang luas dari masyarakat. Tak hanya dirasakan Sumiati. Kisah pedih dan duka mengenai nasib TKW yang mencari nafkah di Saudi Arabia, juga dialami seorang TKW asal Cianjur, Jawa Barat, Kikim Komalasari. Kikim bekerja di Kota Abha, Arab Saudi, bahkan nasibnya lebih memilukan. Tak hanya disiksa, namun juga diperkosa lalu kemudian dibunuh hingga jasadnya ditemukan di tong sampah3.

Kekerasan yang menimpa TKI di luar negeri bukan kali ini saja, tetapi seringkali diberitakan oleh media massa. Banyak kisah-kisah sedih para TKW kita yang menjadi korban kekerasan, penganiayaan, dan pelecehan seksual di negara-negara tujuan, seperti Hongkong, Malaysia, dan Saudi Arabia. Bahkan ada yang pulang tinggal nama. Sayangnya, pemerintah Indonesia terkesan tidak pernah belajar dari kasus-kasus yang lalu, dan selalu gagal untuk memberikan perlindungan terhadap warganya yang terpaksa mencari nafkah di negeri orang akibat kemiskinan, dan tidak tersedianya lapangan pekerjaan di negeri sendiri. Sumbangan devisa yang sangat besar yang diterima negara setiap tahun dari para buruh migran ini, tidak dibarengi dengan upaya-upaya perlindungan yang maksimal.4 Tak heran, banyak kritikan dari berbagai elemen masyarakat tentang ketidakmampuan dan ketidaktegasan pemerintah untuk menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran terhadap hak-hak para buruh migran.

Alih-alih membantu menyelesaikan masalah TKI, pada sekitar tahun 2005, Majelis Ulama Indonesia (MUI) justru mengeluarkan fatwa yang mengharamkan perempuan bekerja ke luar kota atau ke luar negeri tanpa disertai mahram-nya.5 Fatwa ini menuai banyak kecaman dari masyarakat, karena dianggap jauh dari konteks dan akar persoalan buruh migran. Melarang perempuan untuk bekerja ke luar kota atau ke luar negeri, justru menambah persoalan negara yang berkaitan dengan tingginya angka pengangguran, kemiskinan dan minimnya pendidikan. Fatwa semacam ini dinilai banyak pihak tidak menyelesaikan masalah dan tidak berempati kepada korban. Bekerja, adalah hak bagi setiap orang, laki-laki dan perempuan. Melarang bekerja merupakan pelanggaran terhadap hak yang dimiliki oleh orang tersebut. Fatwa semacam ini merupakan bentuk tidak adanya sensitifitas para ulama terhadap masalah yang ada di masyarakat. Seharusnya MUI mengeluarkan fatwa yang lebih relevan dan kontekstual, seperti mewajibkan negara untuk melindungi setiap perempuan baik yang bekerja di rumah, di luar rumah, ataupun di luar negeri.

Lalu, pertanyaannya adalah jikalau para TKW yang bekerja diluar negeri bekerja dan disertai oleh mahram-nya, adakah jaminan bahwa mereka akan terbebas dari tindak kekerasan dan pelecehan seksual? Mengapa persyaratan mahram ini seolah-olah hanya ditujukan kepada kaum perempuan? Apa sebenarnya makna mahram di dalam Islam? Bagaimana konteks sosial, alasan hukum, dan teks-teks Islam berbicara tentang mahram? Dan bagaimana implikasi konsep mahram terhadap penegakan hak-hak perempuan? Fokus kali ini mengajak para pembaca untuk meninjau ulang konsep mahram dalam kaitannya dengan berbagai isu kontemporer di Indonesia.

 

Baca Juga:

Fokus 2: Politisasi Konsep Mahram

Fokus 3: Menafsir Ulang Konsep Mahram

Similar Posts:

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here