Kebanyakan ulama fiqh berpandangan bahwa perempuan tidak boleh bepergian sendirian tanpa di dampingi mahram-nya, yakni laki-laki yang diharamkan kawin dengannya. Bahkan di Saudi Arabia sekarang pun perempuan tidak boleh pergi ke pasar tanpa disertai mahram-nya. Ada juga larangan menyetir mobil bagi perempuan dengan alasan akan menggiring banyak kejahatan dan konsekwensi-konsekwensi negatif, termasuk dalam hal ini adalah pencampuran mereka dengan laki-laki yang bukan mahram.13

Menurut Asghar Ali Engineer, seorang aktivis hak-hak perempuan Islam dari India, bahwa anjuran tentang mahram dampingan seharusnya sudah hilang atau tidak berlaku lagi. Asghar mengutip pendapat Imam Syafi’i yang mengatakan bahwa tuntutan untuk bepergian disertai seorang mahram adalah demi perlindungan dan keamanan perempuan serta untuk memelihara kesuciannya. Jika keamanannya terjamin, tidak ada halangan bagi seorang perempuan untuk pergi seorang diri atau bersama orang lain, baik laki-laki ataupun perempuan. Di sini orang juga harus ingat bahwa pada masa dulu, orang yang bepergian menempuh perjalanan yang jauh jumlahnya sedikit, jalan tidak terjamin keamananya dan alat-alat komunikasi lambat.14

Ringkas kata, seorang perempuan yang bepergian pada waktu itu tidaklah seaman bepergian sekarang. Mengingat sudah majunya peradaban dan technologi transportasi dan regulasi negara, maka mahram hendaknya dimaknai sesuai dengan kondisi sosiologisnya. Kalau inti dari mahram ini adalah perlindungan dan keamanan, maka jika hal tersebut sudah terpenuhi, apakah mahram fisik masih dibutuhkan?

Syaikh Yusuf Qardhawi melakukan ijtihad terkait dengan konsep mahram ini. Menurutnya, perempuan saat ini tidak diwajibkan lagi didampingi mahram-nya meski bepergian jauh. Alasannya, karena perjalanan saat ini sudah aman.15 Sebagai contoh, dalam kehidupan sehari-hari di Indonesia, kaum perempuan terbiasa pergi sendiri kemana saja bahkan ke luar negeri tanpa didampingi mahram dan keamanannya  tetap terjaga.

Senada dengan hal di atas, Lies Marcoes Natsir menegaskan bahwa konteks mahram pada masa Nabi adalah dalam rangka melindungi kaum perempuan. Pelindungnya dalam hal ini adalah suami atau laki-laki di dalam keluarga. Jika pada masa itu, kewajiban perlindungan dibebankan atau diberikan kepada laki-laki di dalam keluarganya, maka untuk konteks sekarang, mahram harus dimaknai ulang, yaitu kewajiban negara untuk memberikan perlindungan melalui undang-undang, yang intinya adalah memungkinkan perempuan menjalani kehidupannya baik di dalam rumah atau di luar rumah. Jadi, konteksnya bukan melarang perempuan untuk bekerja, tetapi dimanapun dan kapanpun perempuan itu bekerja, negara wajib melindunginya dengan memberikan rasa aman.16

Terkait dengan masalah-masalah kekerasan yang menimpa para TKW di luar negeri, pandangan Kyai Husein Muhammad tentang mahram menarik untuk dicermati. Dengan perubahan kondisi, kata mahram yang umumnya diartikan sebagai kerabat dekat, dapat juga diperluas sebagai bentuk pelayanan keamanan oleh negara, baik berupa hadirnya aparat maupun undang-undangnya. Dengan kata lain, jaminan keamanan oleh negara yang disepakati melalui perundingan bilateral dengan negara tujuan, advokasi, dan pendampingan, bisa pula diartikan sebagai pemenuhan kehadiran mahram.

Pendapat Kyai Husein ini disandarkan pada pendapat yang berkembang di kalangan mazhab Syafi’i ketika membahas pengganti mahram bagi perempuan yang akan pergi haji. Misalnya, tersedianya pendapat yang membolehkan perempuan bisa berhaji sendirian jika jalan yang dilalui benar-benar aman sebagaimana tercantum dalam kitab Fath al-Bari. Kyai Husein juga mengutip Abu Zahra yang mengatakan, konsep mahram merupakan wasilah yang bersifat fleksibel dan temporal.17

Walhasil, dalam konteks modern dimana jaminan rasa aman baik dari negara ataupun peraturan-peraturan Internasional relatif terpenuhi, maka konsep mahram pun harus ditafsir ulang. Pelayanan keamanan oleh negara, baik berupa hadirnya aparat dan undang-undangnya, ataupun kultur masyarakat yang ramah terhadap perempuan dengan sendirinya akan menjadi mahram bagi perempuan kemanapun dan kapanpun mereka pergi. Lalu, bagaimana kalau negara ternyata tidak mampu menjadi mahram bagi warganya? Semua elemen masyarakat berkewajiban untuk mendorong pemerintah agar memenuhi tugasnya di dalam memberikan keamanan dan perlindungan bagi setiap warganya baik yang bekerja di dalam atau di luar negeri. Bukankan ada kaidah fiqhiyyah yang mengatakan bahwa ”tasharrufil imam ’ala al ra’iyyati manutun bil al mashlahah”; kebijakan seorang pemimpin terhadap rakyatnya bergantung pada maslahat. Wallahu a’lam. (Riri Khariroh)[]

 

Baca Juga:

Fokus 1: Membincang Isu-Isu Kontemporer Seputar Mahram

Fokus 2: Politisasi Konsep Mahram

____________________________________

1 Lihat di situs  (http://ibda.files.wordpress.com/2008/04/6-miqat-dan-mahram-jamaah-haji-indonesia.pdf). Di akses pada tanggal 22 November, 2010

2 Silahkan lihat pada rubrik Dirasah Hadis edisi ini oleh Faqihuddin Abdul Qadir.

3 Lihat di http://berita.liputan6.com/progsus/201012/309386/Kisah.Kelam.Buruh.Migran. di akses tanggal 2 Desember 2010.

4 Silahkan Lihat wawancara dengan Anis Hidayah dalam rubrik Opini di edisi ini.

5 Lihat di http://mui.or.id/index.php?option=com_content&view=article&id=347:apa-hukum-mengirim-tkw-ke-luar-negeri-m, di akses pada tanggal 1 Desember 2010. Fatwa pengharaman bagi  perempuan untuk bekerja di luar negeri tanpa disertai seorang mahram, sebenarnya sudah diputuskan pada pada Musyawarah Nasional VI MUI yang digelar di Jakarta pada 29 Juli 2000.

6 Penjelasan lebih detil tentang siapa saja mahram ini dapat di lihat di dalam Al-qur’an, surat An-Nisa’: 22-23.

7 Lihat di situs http://forum.detik.com/bupati-pamekasan-siapkan-perda-larangan-gadis-keluar-malam-t192755.html, diakses pada 15 Desember 2010.

8 Lihat di  (.http://www.tempointeraktif.com/hg/hukum/2010/08/02/brk,20100802-268000,id.html?page=5). Di akses pada tanggal 22 November, 2010.

9 Lihat di situs  http://www.femina-online.com/issue/issue_detail.asp?id=690&cid=2&views=54, diakses pada tanggal 8 Desember, 2010.

10 Lihat di situs http://forum.kompas.com/showthread.php?9404-Wapres-Perda-Syariat-Islam-Rendahkan-Derajat-Islam/page7, di akses pada tanggal 8 Desember, 2010.

11 Human Right Watch, Policing Morality: Abuses in the Application of Sharia in Aceh, Indonesia, (New York, 2010).

12 Lihat tulisan Faqihuddin Abdul Qadir dalam rubric  Dirasah Hadis di edisi ini.

13 Syafiq Hasyim, Bebas Dari Patriarkhisme Islam, Penerbit KataKita, Depok,  2010, h. 301-302.

14 Asghar Ali Engineer, Hak-Hak Perempuan Dalam Islam (terj). LSPPA, Yogyakarta, 2000. h. 139.

15 Faqihuddin Abdul Qodir, dkk, Fiqh Anti Trafficking, Fahmina Institute, Cirebon, 2006, h. 35.

16 Lihat di situs (http://groups.yahoo.com/group/indonesian-studies/message/3681). Diakses pada tanggal 9 Desember, 2010.

17 Lihat di situs http://ip4nu.wen9.com/rubrik/buruh.html. Di akses pada tanggal 9 Desember, 2010.

 

Similar Posts:

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here