Pada suatu malam, saya naik bus menuju ke kota Sukabumi. Di samping saya duduk seorang perempuan berusia sekitar 35 tahunan dengan berpakaian seperti seragam yang biasa digunakan oleh para buruh pabrik. Rupanya dia hendak menuju ke pabrik tekstil tempat ia mencari nafkah. Saya bertanya kepadanya,
“Teh,… bagian shift malam,ya?”.
”Ya, kang. Sekarang saya kebagian shift malam.” jawabnya.
Lalu saya bertanya lagi, ”Apa nggak takut kerja malam-malam seperti ini?”
Dia menjawab, ”Kenapa harus takut, Kang. Kan aman dan nyaman di tempat kerjanya juga. Selama ini saya merasa biasa saja, kok. Nggak ada yang perlu dicemaskan. Meskipun saya berangkat dan pulangnya sendirian, saya nyaman-nyaman aja.”
***
Memang fenomena di atas menjadi hal yang lumrah saat ini. Tidak sedikit perempuan yang keluar rumah seorang diri, tanpa didampingi oleh bapak, suami, kakak atau adik laki-lakinya, baik menuju ke sekolah, kantor, pasar, pabrik atau tempat-tempat lainnya, di waktu siang maupun malam. Mereka tidak khawatir atau takut untuk pergi seorang diri. Dalam pengamatan KH. Husein Muhammad, hal ini bukan hanya terjadi di kalangan umum, di kalangan pesantren pun para santri banyak melanggar ketentuan-ketentuan sebagaimana diajarkan dalam kitab-kitab yang biasa dibaca setiap hari oleh mereka.
Jika menurut kitab-kitab itu seorang perempuan yang bepergian jauh, misalnya, harus disertai “mahram”, maka kini mereka sudah biasa pulang pergi ke kampungnya baik sendirian maupun bersama temannya. Jika semula santri perempuan dilarang mengenakan celana panjang karena dianggap menyerupai laki-laki, maka sekarang sudah banyak santri putri yang mengenakannya.
Sebagian mereka juga aktif dalam berbagai kegiatan sosial, ekonomi, politik, keorganisasian dan sebagainya. Lebih jauh dari itu adalah bahwa dewasa ini kita menyaksikan ratusan ribu perempuan bekerja di luar negeri; Saudi Arabia, Kuwait, Bahrain, Malaysia, Korea, Hongkong dan lain-lain, tanpa disertai mahramnya. Sebagian dari mereka adalah pernah menjadi santri atau bahkan diminta orang tuanya berhenti dari pesantren untuk bekerja sebagai TKW. Sebelum berangkat, mereka juga meminta doa restu kyainya, dan kyai pun mendoakannya. Kini juga banyak anak-anak perempuan kyai/ulama yang belajar di negara-negara Barat; Inggris, Belanda, Jerman dan lain-lain juga tanpa didampingi keluarganya (mahram). Ini semua adalah fakta-fakta perubahan yang tidak dapat diingkari.
Majelis Ulama Indonesia pernah mengeluarkan fatwa haram perempuan bekerja di luar negeri, dengan alasan mereka pergi dengan tidak didampingi oleh mahramnya. Fatwa ini banyak menuai protes dari berbagai kalangan, karena sangat kelihatan bahwa dalam masalah ini MUI tidak memiliki keberpihakan terhadap perempuan pekerja. Ada indikasi bahwa fatwa seperti ini muncul sebagai ’fatwa pesanan’ untuk membendung derasnya arus buruh migran karena negara (baca: pemerintah) tak sanggup lagi memberikan proteksi.
Lies Marcoes berpandangan bahwa konsep ’mahram’ yang tentu saja dimaksudkan sebagai bentuk proteksi (perlindungan) sekarang sudah berubah dari proteksi/perlindungan yang bersifat personal ke proteksi/perlindungan yang bersifat kelompok atau negara. Dalam ibadah haji, konsep perlindungan kolektif atau negara tampaknya sudah lama dijalankan. Maka sesungguhnya terminologi mahram tidak lagi dimaknai secara tekstual, tetapi kontekstual. Menurut Lies Marcoes, seharusnya MUI mendesak pemerintah dengan fatwa bahwa Negara dalam hal ini pemerintah wajib hukumnya memberikan perlindungan para buruh migran dimana pun mereka berada. Namun kenyataannya begitu lemah proteksi pemerintah kita terhadap para pahlawan devisa tersebut.
Lalu timbul pertanyaan, masih perlukah konsep mahram diterapkan hari ini? Jawabannya perlu, namun pemaknaannya harus kontekstual. Dimanakah peran Negara? Wallahu a’lam. {}(Cecep Jaya Karama)
___________________________________
http://www.fahmina.or.id/index.php?view=article&catid=15&id=26%3Apesantren-dan-hak-hak-perempuan&format=pdf&option=com_content&Itemid=100012