Judul Buku : Kebangkitan Kaum Janda, Akar Teologis-Spiritual Kaum Papa
Penulis : Dr. Ahmad Munir, M.Ag
Penerbit : Pustaka Pelajar, Yogyakarta
Cetakan : Cetakan I, September 2009
Tebal : ix + 143 Hal.
Seberapa besarkah ketergantungan kaum perempuan terhadap peran suami? Benarkah, di era kini sudah tidak zamannya lagi untuk berkata, “lelaki adalah kepala keluarga?”
***
Buku ini bertutur bahwa perempuan adalah ciptaan tersendiri yang tak harus—dan tak butuh—untuk selalu didampingi. Dewasa ini, perempuan tak lagi hidup di era Siti Nurbaya yang selamanya mengikuti jejak suami. Acapkali kita saksikan, bahwa masih banyak masyarakat yang beranggapan bahwa perempuan sebagai sosok yang menduduki kasta nomor dua, tepat di bawah singgasana kaum adam. Asumsi semacam itu, seringkali dianggap wajar adanya. Mengingat pemaknaan atas “kodrat” perempuan dimana perempuan hanyalah dianggap sebagian kecil dari tubuh kaum adam. (Ingat, dikisahkan oleh agama bahwa perempuan terbuat dari tulang rusuk lelaki). Tak hanya itu, banyak pandangan yang beranggapan bahwa tampaknya Tuhan dalam Alqur’an telah memproklamirkan keberadaan perempuan sebagai kaum lemah, dengan melegitimasikan lelaki jauh lebih tangguh dibanding perempuan.
Berbeda dengan sebuah fenomena yang terjadi di Ponorogo Jawa Timur ini, kaum perempuan telah menunjukkan kekuatan heroiknya dengan berdirinya Himpunan Janda Muslimah (HJM) selepas mereka ditinggalkan oleh para suami. Kota ini menjadi tempat berproses para ibu dari kaum santri ini, dimana mereka tengah berusaha membangun paradigma baru mengenai kehidupan kaum janda di tengah tekanan sosial yang mengatakan bahwa lelaki sebagai kebutuhan pokok yang tak tergantikan.
Dan faktanya, bahtera rumah tangga zaman sekarang lebih cepat ‘survive’ ketika ditinggalkan oleh suami (entah karena mati atau perceraian pengadilan) ketimbang terpisah dari sosok ibu. Perempuan sekarang tidak lagi berupa sebatas makhluk dengan jenis kelamin perempuan. Namun mereka juga telah melakukan banyak peran dalam berbagai hal seperti yang banyak dilakukan oleh kaum adam. Di sektor perekonomian, perempuan telah banyak turut andil dalam memenuhi kebutuhan rumah tangga. Dan dalam sektor sosial, kredibilitas perempuan tak layak lagi disangsikan. Mereka mempunyai fleksibilitas dan ketelatenan dalam menjalani berbagai tugas. Dua hal tersebut, adalah dua potensi yang alam berikan jauh lebih mulia ketimbang sekedar prestise atau status sosial yang selama ini banyak dibanggakan oleh kaum laki-laki. Mengingat, kenyataannya tak banyak lelaki yang memiliki fleksibilitas serta ketelatenan tersebut. Kaum Adam lebih cenderung stagnan, dan konvensional dalam menempuh jalan hidupnya.
Barangkali, pendapat-pendapat yang melemahkan kaum perempuan itulah yang menjadi akar subordinasi mereka dari kaum lelaki. Mereka menciptakan ketergantungan dengan menghadirkan beragam peraturan yang harus dipatuhi kaum perempuan. Sehingga ketika sosok lelaki itu tiada, maka terasinglah kaum ibu-ibu itu. Padahal, bilamana subordinasi tersebut tidak ada, maka kaum perempuan adalah sosok mandiri yang sepenuhnya bisa mengembangkan dirinya.
Keberadaan HJM merupakan inspirasi bagi perempuan-perempuan lain yang mengalami nasib yang sama, yang menyandang predikat sebagi “janda”. Oleh masyarakat, janda seringkali dikategorikan sebagai kaum lemah (mustadh’afin) yang perlu disantuni. Namun, HJM adalah prototipe perempuan-perempuan janda yang tak merasa pincang sekalipun toh, telah ditinggalkan oleh suami. Organisasi ini memiliki misi penting untuk memberdayakan kehidupan mereka sendiri melalui pendampingan, pemberdayaan ekonomi melalui peminjaman dana, pembagian bahan-bahan pokok dan sebagainya (hal. 8). Spirit untuk “berdaya” inilah yang rupanya menjadi daya tarik bagi Dr.Ahmad Munir, MAg. Penulis buku ini untuk mengungkap latar belakang kehadiran HJM, kegiatan yang mereka lakukan maupun akar pemahaman teologis yang menjadi pijakan mereka (hal 9).
Bila meninjau program HJM, sekilas tampak tak jauh berbeda jauh dengan program kerja ibu-ibu PKK. Hanya saja, titik fokus HJM terletak pada pemupukan mental anggotanya untuk senantiasa berkarier sekalipun tanpa dampingan suami. Namun yang unik dari kegiatan mereka, di setiap pertemuan ketua himpunan senantiasa memandu anggotanya untuk mengirim doa kepada almarhum suami-suami mereka.
Dalam kata pengantarnya penulis menyatakan, “Budaya patriarki yang mendominasi masyarakat muslim, membuat posisi wanita kurang diuntungkan, terlebih ketika telah terpisah dan terputus dari tanggung jawab suami” (hal v). Hal ini berangkat dari pandangan yang menjadi rujukan di kalangan umat muslim sebagai pemaknaan atas teks arrijaalu qawwaamuuna ‘ala al-nisaai bimaa fadldlalallahu ba’dhuhum ‘ala ba’dhin wa bima anfaquu min amwaalihim (al-Nisa : 34) maka sah sudah predikat yang disandang lelaki (sebagai sosok yang berdiri di atas perempuan) dan lahirlah rentetan sugesti dalam kehidupan kaum lelaki untuk bertindak penuh kewenangan di hidup para istri.
Namun kenyataannya, dinamika hidup ini selalu menyuguhkan ceritera yang berbeda dari kurun zaman satu ke zaman selanjutnya. Dinamika itu, lama-lama mencitrakan kepahlawanan kaum hawa, dan semakin mengikis hegemoni maskulinitas. Hal tersebut nampak sangat jelas dimulai dari ketika penulis mencoba mengelaborasi istilah “janda” dalam tradisi Islam. Mereka dipandang sebagai komunitas lemah yang berhak dilindungi dan terbagi dalam 2 kelompok kategori yaitu a)janda perceraian dan b)janda kematian. Namun menurutnya “Apa pun posisi status wanita janda, karena perceraian atau kematian mereka berhak mendapatkan jaminan hidup (mata’) yang dapat menopang kesusahannya ketika mereka kehilangan jaminan kehidupan dari suami sebelumnya “ (hal. 46) sesuai dengan standar kelayakan yang disebut dengan istilah ma’ruf (hal. 47).
Apa yang dilakukan Dr. Ahmad Munir, M.Ag., alumnus Gontor maupun IAIN Ar-Raniry Banda Aceh ini patut diapresiasi. Melalui karyanya, kisah organisasi janda yang lahir dari kota kecil seperti Ponorogo ini, dapat menjadi inspirasi bagi berbagai organisasi perempuan kepala keluarga untuk berbagi suka-duka perjuangan mereka .[] Naqib Najah – Komunitas KUTUB, Yogyakarta