Pada paruh akhir dasawarsa ’90-an, sesungguhnya isu kesehatan reproduksi bagi remaja di Indonesia telah dipandang sebagai salah satu masalah yang butuh ditangani secara serius. Terlebih, selama ini remaja cenderung dianggap sebagai kelompok yang ”tidak bermasalah” sehingga mereka cenderung diabaikan dan kurang dipahami kebutuhannya; terutama terkait dengan kesehatan reproduksi dan seksualitas mereka. Padahal menurut WHO, remaja (usia 10-19 tahun) ini dalam struktur kependudukan menempati jumlah yang signifikan, yaitu sekitar 44 juta atau 21 persen dari populasi di Indonesia pada 1998-2000.[i] Data juga menunjukkan populasi remaja (usia 10-24 tahun) mencapai jumlah 64 juta atau 31 persen.[ii] Sementara, dalam Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia pada 1997, remaja dengan kategori usia 10-24 tahun mencapai angka 29 persen dari populasi; dan 32 persennya bertempat tinggal di perkotaan. Tetapi dengan melihat angka-angka tersebut, remaja tidak kunjung menjadi kelompok sasaran program-program pembangunan khususnya di bidang kesehatan. Mereka hanya menjadi kelompok sasaran program pendidikan, sehingga mereka bak ”masyarakat terasing” yang hampir tidak tersentuh sama-sekali oleh program-program kesehatan reproduksi, yang sesungguhnya sangat mereka butuhkan.[iii]

Kesehatan Reproduksi atau Kespro secara definitif adalah kesejahteraan fisik, mental dan sosial yang utuh, dan bukan hanya bebas dari penyakit atau kecacatan, dalam segala aspek yang berhubungan dengan sistem reproduksi, fungsi-fungsi reproduksi, serta proses-prosesnya. Definisi ini sesuai dengan pengertian Kespro menurut WHO. ”Reproductive health is a state of complete physical, mental, and social welling and not merely the absence of disease or infirmity, in all matters relating to reproductive system and to its functions processes”.[iv] Dalam definisi ini, tampaknya hampir seluruh aspek kehidupan telah tercakup dalam rangka membangun kesehatan reproduksi; termasuk di dalamnya adalah bagi setiap individu memperoleh informasi dan mempunyai akses terhadap pelayanan-pelayanan yang mendukung kesehatan dan kesejahteraan reproduksi. Baik itu melalui pencegahan maupun penyelesaian masalah-masalah kesehatan reproduksi bagi setiap individu, laki-laki dan perempuan, serta remaja.

Berbagai kajian telah menunjukkan, bahwa remaja sangat butuh akan informasi mengenai seksualitas dan reproduksi. Misalnya, sebuah penelitian yang digelar di Yogyakarta pada 1995, telah mengungkapkan bahwa 94 persen remaja menyatakan butuh nasehat mengenai seks dan kesehatan reproduksi.[v] Sebelum penelitian ini, di tahun 1993 kebutuhan yang sama bagi remaja juga telah terungkap dalam survei di 13 Propinsi lainnya di Indonesia. Sayangnya, remaja sering mendapatkan informasi yang tidak akurat tentang seks, ataupun seksualitas.

Pengetahuan tentang proses reproduksi yang didapat dari sekolah misalnya dari pelajaran biologi, juga kurang komprehensif atau sepotong-sepotong saja, bahkan campur aduk dengan pengetahuan popular atau mitos-mitos yang diperolehnya dari teman-teman sebaya, sumber-sumber lain seperti media massa; buku pornografis; atau bahkan blue movies. Padahal, secara mendasar misalnya, seks dan seksualitas sangat berbeda. Seks sendiri adalah alat kelamin; seksual adalah sesuatu yang berhubungan atau berkaitan dengan seks atau keterkaitan dengan seks; sedang seksualitas adalah hal-hal yang berkaitan dengan seks dan menyangkut berbagai dimensi yang luas seperti biologis, psikologis, sosial, perilaku dan kultural.

Kebutuhan riil remaja terkait hak mendapatkan informasi akurat tentang seksualitas dan kesehatan reproduksi ini kadang juga dibedakan berdasarkan variasi kelompok. Misalnya, kebutuhan remaja desa berbeda dengan remaja kota. Kerentanan terhadap Infeksi Menular Seksual (IMS) antara ’remaja jalanan’ (anak jalanan) dan remaja sekolah juga berbeda. Remaja yang bekerja sebagai buruh pabrik juga mempunyai karakteristik dan masalah-masalah yang berbeda dengan remaja yang bekerja di sektor informal, dan sebagainya. Sehingga, pemenuhan kebutuhan ini butuh disesuaikan dengan konteks sosial dan budaya yang dihadapi masing-masing remaja. Namun demikian, secara umum kebutuhan riil menyangkut hak dasar remaja akan informasi terkait seksualitas dan kesehatan reproduksi itu, antara lain sebagai berikut:

  1. Penyediaan layanan yang ramah dan mudah diakses bagi remaja, tanpa memandang usia, jenis kelamin, status pernikahan, dan situasi keuangan mereka.
  2. Adanya dukungan terpenuhinya hak setiap remaja untuk menikmati seks dan ekspresi seksualitas mereka dalam cara-cara yang mereka pilih sendiri.
  3. Penyediaan informasi dan pemberian hak mendapatkan pendidikan mengenai reproduksi dan seksualitas. Informasi dan pendidikan yang diberikan ini harus mendorong terjadinya independensi dan keyakinan diri remaja, dan memberikan pengetahuan agar mereka bisa membuat keputusan sendiri terkait reproduksi dan seksual mereka.
  4. Adanya jaminan kerahasiaan dalam relasi sosial dan seluruh aspek dari seksualitas mereka.
  5. Penyediaan informasi yang bisa diakses sesuai dengan perkembangan remaja.
  6. Setiap remaja yang aktif secara seksual atau tidak; dan yang memiliki keragaman orientasi seksual bisa mendapatkan informasi agar mereka merasa nyaman dengan tubuh dan seksualitas mereka sendiri.
  7. Setiap remaja mendapatkan persiapan untuk memiliki ketrampilan melakukan negosiasi dalam relasi sosialnya, termasuk dalam masa pacaran dan dalam melakukan tindakan seks yang lebih aman (bagi yang seksual aktif).[vi]

Selain kebutuhan-kebutuhan tersebut, remaja juga memiliki hak-hak mendasar terkait kesehatan reproduksinya. Hak-hak itu juga harus terpenuhi sebagai kebutuhan dasar mereka. Hak-hak itu adalah:[vii]

  1. Hak hidup. Ini adalah hak dasar setiap individu tidak terkecuali remaja, untuk terbebas dari resiko kematian karena kehamilan, khususnya bagi remaja perempuan.
  2. Hak atas pelayanan dan perlindungan kesehatan. Termasuk dalam hal ini adalah perlindungan privasi, martabat, kenyamanan, dan kesinambungan.
  3. Hak atas kerahasiaan pribadi. Artinya, pelayanan kesehatan reproduksi bagi remaja dan setiap individu harus menjaga kerahasiaan atas pilihan-pilihan mereka.
  4. Hak atas informasi dan pendidikan. Ini termasuk jaminan kesehatan dan kesejahteraan perorangan maupun keluarga dengan adanya informasi dan pendidikan kesehatan reproduksi yang memadai tersebut.
  5. Hak atas kebebasan berpikir. Ini termasuk hak kebebasan berpendapat, terbebas dari penafsiran ajaran yang sempit, kepercayaan, tradisi, mitos-mitos, dan filosofi yang dapat membatasi kebebasan berpikir tentang pelayanan kesehatan reproduksi dan seksual.
  6. Hak berkumpul dan berpartisipasi dalam politik. Hal ini termasuk mendesak pemerintah dan parlemen agar menempatkan masalah kesehatan reproduksi menjadi prioritas kebijakan negara.
  7. Hak terbebas dari penganiayaan dan perlakuan buruk. Hal ini terutama bagi anak-anak dan remaja untuk mendapatkan perlindungan dari eksploitasi, pelecehan, perkosaan, penyiksaan, dan kekerasan, seksual.
  8. Hak mendapatkan manfaat dari ilmu pengetahuan terbaru. Yaitu hak mendapatkan pelayan kesehatan reproduksi yang terbaru, aman, dan dapat diterima.
  9. Hak memutuskan kapan punya anak, dan punya anak atau tidak.
  10. Hak atas kesetaraan dan bebas dari segala bentuk diskriminasi. Ini berarti setiap individu dan juga remaja berhak bebas dari segala bentuk diskriminasi termasuk kehidupan keluarga, reproduksi, dan seksual.
  11. Hak untuk memilih bentuk keluarga. Artinya, mereka berhak merencanakan, membangun, dan memilih bentuk keluarga (hak untuk menikah atau tidak menikah).

Baca Juga:

Fokus 1: Kesehatan Reproduksi Remaja (KRR): Perhatian Besar bagi Islam

Fokus 3: Masalah Riil KRR

Fokus 4: Problem KRR di Sekolah dan Komunitas Pesantren, Bagaimana Solusinya?

Hak atas kebebasan dan keamanan. Remaja berhak mengatur kehidupan seksual dan reproduksinya, sehingga tidak seorang pun dapat memaksanya untuk hamil, aborsi, ber-KB dan sterilisasi.

[i] Data Statistik dengan Menggunakan Definisi WHO tentang Remaja Tahun 1998, dalam http://www.datastatistik-indonesia.com/

[ii] Data Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2000, dalam AD. Eridani, Seksualitas dan Kesehatan Reproduksi Remaja : Sebuah Temuan, disampaikan pada Seminar Nasional Seksualitas dan Kespro Remaja di PP. Nuris, Jember-Jawa Timur, Juni 2009.

[iii] Irwan M. Hidayana, Dari Menstruasi Hingga Kontrasepsi: Isu-isu Seksualitas Remaja Perempuan, dalam Benih Bertumbuh, Kelompok Perempuan Pejuang Perempuan Tertindas, Galang Press, Yogyakarta, 2000.

[iv] Definisi Kesehatan Reproduksi Menurut WHO, 1975.

[v] J. Djaelani, Kebijakan Pelayanan Kesehatan Reproduksi Remaja, dalam Seminar Nasional tentang Hak dan Kesehatan Reproduksi: Implikasi Pasal 7 Rencana Tindakan Kairo bagi Indonesia, Yogyakarta, Mei 1995.

[vi] Mukhatib MD, Problem Kesehatan Reproduksi Remaja: Tawaran Solusi, disampaikan pada Seminar Nasional Seksualitas dan Kespro Remaja di PP. Nuris, Jember-Jawa Timur, Juni 2009.

[vii] Linda Dwi Eriyani, Kesehatan Reproduksi Remaja: Menyoal Solusi, 2006, disampaikan pada Seminar Nasional Seksualitas dan Kespro Remaja di PP. Nuris, Jember-Jawa Timur, Juni 2009.

Similar Posts:

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here