Zahra sedang duduk menyendiri terlihat berkaca-kaca. Tiba-tiba temannya Fatimah temannya menyapa, “Aku perhatikan dari tadi kau tampak melamun saja. Ada apa, sih? Cerita dong. “ Pinta Fatimah kepada Zahra.

“Iya,  Fat. Aku sedang sedih sekali. Masak oleh Ria dan teman-teman di pesantren ini, aku digunjingin dibilang sudah tidak ‘gadis’ lagi. Katanya, ia yakin tentang hal itu dengan melihat cara berjalanku,” terang Zahra.

“Bagaimana bisa? Ada-ada saja anak-anak itu. “ 

***

Situasi yang kurang lebih sama dalam penggalan dialog tersebut, mungkin saja pernah terjadi pada teman di sekitar kita; pada putra-putri kita; atau bahkan pada diri kita sendiri saat masih remaja dulu. Mitos dan informasi yang kurang tepat mengenai seksualitas dan kesehatan reproduksi, acapkali terjadi karena ketidaktahuan mereka  tentang masalah-masalah tersebut.

Jika saja para remaja mendapatkan pengetahuan yang cukup sejak dini, tentang seksualitas dan sekaligus Kesehatan Reproduksi Remaja (KRR), tentu mereka tidak akan salah pengertian terhadap hal-hal tersebut. Sebab, sesungguhnya masalah ‘masih gadis’ atau ‘sudah tidak gadis’ bukanlah hal yang bisa dilihat dari bentuk pinggul atau cara berjalan seseorang. Hal ini hanya bisa diketahui dengan pemeriksaan khusus (medis) yang memungkinkan diketahuinya selaput dara (pada remaja perempuan) telah mengalami robek atau tidak serta berbagai kemungkinan penyebabnya. Selain itu, dengan mengetahui informasi yang benar seputar kesehatan reproduksi, diharapkan setiap remaja dapat berperilaku secara lebih sehat dan menjadi pribadi yang bertanggung jawab.

Problem-problem seputar seksualitas dan KRR ini bukan semata-mata masalah individu saja. Persoalan seputar seksualitas dan KRR ini, bisa dialami siapa saja, baik remaja terpelajar; yang memiliki dasar pengetahuan agama yang kuat; maupun remaja awam yang hidup “di tengah jalanan” di kota-kota besar. Lalu apa sesungguhnya KRR itu? Bagaimana membicarakannya secara terbuka? Dan bagaimana pula agama memandangnya?

Remaja, di Persimpangan Jalan

Remaja biasa didefinisikan sebagai masa peralihan dari kanan-kanak menuju masa dewasa. Remaja adalah fase persimpangan hidup seseorang atau individu yang tidak lagi kanak-kanak, namun juga belum bisa disebut dewasa. Prof. Dr. Zakiah Daradjat pernah berpendapat, masa remaja adalah masa peralihan di antara masa anak-anak dan masa dewasa; di mana masa anak-anak ini mengalami pertumbuhan cepat di segala bidang. Baik bentuk badan, sikap, cara berpikir dan bertindak. Tetapi remaja juga bukan orang dewasa yang telah matang.[i]

Remaja adalah sosok yang berada dalam fase perkembangan dimana emosi  mereka belum stabil. Mereka adalah satu kesatuan antara fisik dan psikis atau kesatuan antara jasmani dengan rohani yang sedang mengalami perkembangan dan perubahan menuju tahap kematangan diri. Dalam bahasa aslinya, Latin, remaja ini disebut dengan istilah adolescence. Artinya ”tumbuh atau tumbuh mencapai kematangan”. Remaja masih masuk dalam kategori anak, yang Dalam Undang-undang Perlindungan Anak  disebutkan  adalah mereka yang berusia di bawah 18 tahun.

Orang-orang zaman dahulu, memandang masa remaja ini tidak berbeda dengan periode lain dalam rentang kehidupan. Anak dianggap sudah dewasa bila sudah mampu mengadakan reproduksi. Di negara maju seperti Amerika sekalipun, masih menganggap seorang individu sudah dewasa apabila telah berumur 18 tahun.

Menurut BKKBN (Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional) Direktorat Remaja dan Perlindungan Hak Reproduksi, batasan usia remaja adalah 10-21 tahun.[ii] Lain halnya dalam pandangan Mappiare, rentang usia remaja ini dibagi menjadi dua bagian. Pertama, usia 12/13 tahun sampai dengan 17/18 tahun adalah masa remaja awal. Kedua, usia 17/18 tahun sampai dengan 21/22 tahun, yaitu masa remaja akhir.

Baik remaja awal maupun remaja akhir di setiap belahan dunia selalu ada dalam situasi penuh godaan dan ujian. Apalagi perkembangan teknologi dan komunikasi telah memberi berbagai informasi, hiburan, dan budaya yang beraneka ragam. Kondisi ini tidak mungkin dibendung hanya dengan mengurung remaja di dalam rumah; atau memberikan mereka segudang kesibukan seperti kursus dan les tambahan. Selain itu, menjejali mereka dengan mitos-mitos seputar tumbuh-kembang remaja yang cenderung membuat mereka terkekang dan salah informasi. Salah-salah, mereka akan lebih suka mencuri-curi kesempatan untuk mencoba hal-hal  baru yang justru rentan meusak kehidupan mereka. Seperti mencoba mengkonsumsi narkotika dan obat-obatan terlarang; atau malah mencoba melakukan hal-hal yang beresiko lainnya, yang selain berpotensi merusak kesehatan reproduksi mereka juga kesehatan mental dan spiritual mereka.

***

Ada beragam definisi tentang remaja, namun sulit untuk menemukan definisi yang seragam dan berlaku secara nasional karena kompleksitas persoalan sosial dan kultural. Meski demikian, umumnya yang digunakan sebagai batasan bagi usia remaja adalah antara 11-24 tahun, dan belum menikah. Alasannya adalah:

  1. Usia 11 tahun adalah usia dimana umumnya tanda-tanda seksual sekunder bagi seorang individu sudah mulai nampak (kriteria fisik).
  2. Usia 11 tahun juga sudah dianggap akil baligh, baik menurut adat maupun agama sehingga masyarakat tidak lagi ”memerlukan” mereka sebagai anak-anak (kriteria sosial).
  3. Usia 11-24 tahun telah mulai ada tanda-tanda penyempurnaan perkembangan jiwa seperti tercapainya identititas diri; tercapainya fase genital dari perkembangan psikoseksual; serta tercapainya puncak perkembangan moral (kriteria psikologistik).
  4. Usia 24 tahun dianggap sebagai batasan maksimal untuk memberi peluang bagi individu yang masih menggantungkan diri pada orang tua (secara adat atau tradisi).
  5. Status perkawinan; bagi masyarakat Indonesia status perkawinan sangat menentukan, sebab seseorang yang sudah menikah pada usia berapapun akan dianggap dan ”diperlakukan” sebagai orang dewasa secara penuh, baik secara hukum maupun kehidupan sosial dan keluarga.[iii]

Remaja sesungguhnya cenderung tidak punya tempat yang jelas; apakah masih sebagai anak-anak, atau sudah masuk ke dalam golongan dewasa? Oleh karena itu, remaja seringkali dikenal dengan fase mencari jati diri.

Masalahnya sekarang, kita tidak bisa berhenti hanya dengan definisi-definisi tersebut. Sebab kebutuhan riil tentang kesehatan reproduksi dan masalah-masalah yang menyangkut remaja kian hari kian bertambah. Berbagai media, mulai dari diskusi-diskusi kecil di ruang-ruang kelas sekolah; di kelompok-kelompok karang taruna remaja; sampai seminar-seminar umum; atau bahkan ceramah-ceramah keagamaan di lingkungan pesantren dibutuhkan untuk memberikan informasi yang tepat seputar Kesehatan Reproduksi bagi remaja.

 

Baca Juga:

Fokus 2: Kebutuhan Riil Remaja

Fokus 3: Masalah Riil KRR

Fokus 4: Problem KRR di Sekolah dan Komunitas Pesantren, Bagaimana Solusinya?

 

[i] Arif Subhan, Prof. Dr. Zakiah Daradjat: Pendidik dan Pemikir dalam Ulama Perempuan Indonesia, Jakarta, Gramedia Pustaka Utama, 2002.

[ii] Definisi Remaja Menurut Depkes RI, dalam http://ceria.bkkbn.go.id/referensi/substansi/detail/19

[iii] Remaja Menurut Masyarakat Indonesia dalam http://notok2000.blogspot.com/2007/08/

 

 

Similar Posts:

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here