Oleh: Dicky A. Sofyan
Jagad fatwa Nusantara kembali berguncang. Penyebabnya kali ini adalah “fatwa” tentang rebounding, foto pra wedding, dan keharaman ojek wanita. Seperti biasa, belum lagi ada penjelasan kompeherensif mengenai hal ini, media nasional langsung “menggarap” isu ini untuk dijadikan berita. Ironisnya, “fatwa” tersebut di-”lahap” mentah-mentah tanpa melihat latar belakang masalah, konsideran, dan argumentasi yang digunakan.
Keharaman beberapa hal di atas tercetus dalam Forum Musyawarah Pondok Pesantren Putri (FMP3) di Lirboyo Kediri. Sejatinya, forum ini hanya berisi dan dihadiri oleh para pelajar (santri) berjenis kelamin perempuan. Karenanya, istilah “fatwa” yang digunakan media massa untuk merujuk keputusan hasil diskusi dalam forum tersebut perlu ditinjau ulang agar tidak terjadi salah paham. Mereka yang terlibat dalam forum ini justru menggunakan istilah “keputusan” atau hasil diskusi. Sebagaimana diketahui, dalam istilah fikih “fatwa” jauh lebih mengikat dan berdampak luas dibanding ijtihad. Barangkali, forum ini hanya sebatas latihan ijtihad para pelajar putri dalam menyikapi fenomena teranyar masyarakat. Sesaat setelah digelarnya forum, hasil diskusi pelajar perempuan di Kediri itu segera mendapat respon yang beragam. Tentunya, mayoritas orang menyatakan ketidaksetujuannya. Ada yang menyampaikannya secara santun dan ada pula yang secara emosional. Bahkan, Majelis Ulama Indonesia (MUI) segera menyatakan akan mengkaji secara lebih mendalam hasil keputusan forum dari tersebut.
Prospek Ulama Perempuan
Terlepas dari perdebatan haram dan tidaknya rebounding, foto pra wedding, dan ojek wanita, keputusan hasil diskusi tersebut dapat dilihat dari sisi lain. Sisi lain yang dimaksud adalah upaya keterlibatan perempuan dalam merespon persoalan publik. Nampaknya, jika dilihat dari sisi tersebut, peristiwa di atas justru menunjukkan perkembangan dan fenomena yang luar biasa. Bagaimana tidak, selama ini tradisi bahtsul masail (forum diskusi keagamaan) yang kerap dilakukan di pesantren jarang melibatkan perempuan.
Berdasarkan konteks di atas, FMP3 sejatinya telah melakukan terobosan besar dengan melibatkan perempuan dalam membahas persoalan-persoalan keagamaan. Pelajar Perempuan dalam forum ini, dilatih untuk dapat berargumentasi, berlogika, berdebat, dan bahkan terlibat dalam pemecahan persoalan keagamaan yang berdampak pada publik. Harapannya, jika forum ini dan forum-forum serupa banyak dilaksanakan, optimisme tentang kelahiran banyak ulama perempuan di Indonesia akan cepat terwujud.
Karenanya, respon yang diberikan atas hal tersebut tidak lah perlu berlebihan. Toh, “fatwa” itu lahir dari santri perempuan yang masih dalam tahap belajar. Jika pun mereka dianggap salah dalam menyimpulkan hukum (istinbath al-Ahkam), maka hal itu bagian dari sebuah proses pembelajaran. Karenanya, penolakan berlebihan dan emosional dari sekelompok orang justru merupakan tindakan tidak rasional dan tidak bijaksana.
Siapa pun boleh tidak sepakat atas hasil diskusi tersebut, namun keterlibatan perempuan dalam forum ilmiyah perlu mendapat apresiasi lebih besar. Dan tentunya, semua orang akan berharap di masa yang akan datang para ulama perempuan akan semakin bijak dan arif dalam merespon isu-isu keagamaan dan sosial. Apalagi jika persoalan perempuan tersebut berkaitan dengan persoalan perempuan. Karena, sampai hari ini masih banyak persoalan besar perempuan, yang perlu dipecahkan secara serius dibanding persoalan rambut, foto, dan Dicky A. Sofyanojek. Wallahu a’lam.
Similar Posts:
- Diskusi Lingkar Baca Swara Rahima : Sang Pionir dari Jember
- Merancang Kembali Program Pengkaderan Ulama Perempuan
- Melahirkan Kembali Ulama Perempuan
- Silaturahmi Ulama Perempuan Simpul Rahima Madura, Ruang Perjumpaan Membincang Persoalan Perempuan dan Anak
- “MENEGASKAN EKSISTENSI ULAMA PEREMPUAN UNTUK KEMASLAHATAN MANUSIA”