Keterbatasan akses dan informasi mengenai seksualitas dan kesehatan reproduksi bagi remaja di Indonesia ’bisa dipahami’ karena masyarakat umumnya masih menganggap seksualitas sebagai sesuatu yang tabu dan tidak untuk dibicarakan secara terbuka. Orang tua biasanya enggan untuk memberikan penjelasan masalah-masalah seksualitas dan reproduksi kepada remajanya, dan anak pun cenderung malu bertanya secara terbuka kepada orang tuanya.[i] Kalaupun ada orang tua atau guru di sekolah yang ingin memberi penjelasan kepada anaknya, mereka seringkali kebingungan bagaimana caranya dan apa saja yang harus dijelaskan.
Kuatnya norma sosial yang menganggap seksualitas adalah tabu akan berdampak pada kuatnya penolakan terhadap usulan agar pendidikan seksualitas terintegrasikan ke dalam kurikulum pendidikan. Sekalipun sejak reformasi bergulir hal ini telah diupayakan oleh sejumlah pihak seperti organisasi-organisasi non pemerintah (NGO), dan juga pemerintah sendiri (khususnya Departemen Pendidikan Nasional), untuk memasukkan seksualitas dalam mata pelajaran ’Pendidikan Reproduksi Remaja’; namun hal ini belum sepenuhnya mampu mengatasi problem riil yang dihadapi remaja.[ii]
Faktanya, masalah terkait seksualitas dan kesehatan reproduksi masih banyak dihadapi oleh remaja. Masalah-masalah tersebut antara lain:
Pertama, perkosaan. Kejahatan perkosaan ini biasanya banyak sekali modusnya. Dan korbannya tidak hanya remaja perempuan, tetapi juga laki-laki (sodomi). Modus perkosaan ini biasanya korban akan diberi obat bius agar tidak sadarkan diri. Selain itu, korban biasanya juga diancam agar tidak berdaya; dianiaya terlebih dulu; dihipnotis agar mau melakukan apa yang diinginkan pemerkosa; dan atau diberi obat perangsang atau minuman keras agar korban menjadi birahi. Remaja perempuan rentan mengalami perkosaan oleh sang pacar, karena dibujuk dengan alasan untuk menunjukkan bukti cinta.
Kedua, free sex. Seks bebas ini dilakukan dengan pasangan atau pacar yang berganti-ganti. Seks bebas pada remaja ini (di bawah usia 17 tahun) secara medis selain dapat memperbesar kemungkinan terkena infeksi menular seksual dan virus HIV (Human Immuno Deficiency Virus), juga dapat merangsang tumbuhnya sel kanker pada rahim remaja perempuan. Sebab, pada remaja perempuan pada usia 12-17 tahun mengalami perubahan aktif pada sel dalam mulut rahimnya.[iii] Selain itu, seks bebas biasanya juga dibarengi dengan penggunaan obat-obatan terlarang di kalangan remaja. Sehingga hal ini akan semakin memperparah persoalan yang dihadapi remaja terkait kesehatan reproduksi ini.
Ketiga, Kehamilan Tidak Diinginkan (KTD). Hubungan seks pranikah di kalangan remaja didasari pula oleh mitos-mitos seputar masalah seksualitas. Misalnya saja, mitos berhubungan seksual dengan pacar merupakan bukti cinta. Atau, mitos bahwa berhubungan seksual hanya sekali tidak akan menyebabkan kehamilan. Padahal hubungan seks sekalipun hanya sekali juga dapat menyebabkan kehamilan selama si remaja perempuan dalam masa subur.[iv]
Keempat, Aborsi. Aborsi merupakan keluarnya embrio atau janin dalam kandungan sebelum waktunya. Aborsi pada remaja terkait KTD biasanya tergolong dalam kategori aborsi provokatus, atau pengguguran kandungan yang sengaja dilakukan. Namur begitu, ada juga yang keguguran terjadi secara alamiah atau aborsi spontan. Hal ini terjadi karena berbagai hal antara lain karena kondisi si remaja perempuan yang mengalami KTD umumnya tertekan secara psikologis, karena secara psikososial ia belum siap menjalani kehamilan. Kondisi psikologis yang tidak sehat ini akan berdampak pula pada kesehatan fisik yang tidak menunjang untuk melangsungkan kehamilan.[v]
Kelima, Perkawinan dan kehamilan dini. Nikah dini ini, khususnya terjadi di pedesaan. Di beberapa daerah, dominasi orang tua biasanya masih kuat dalam menentukan perkawinan anak dalam hal ini remaja perempuan. Sebagai contoh, kasus pernikahan di bawah umur atau pernikahan dini di Purwokerto, Jawa Tengah mengalami peningkatan mencolok. Data yang ada di Pengadilan Agama Purwokerto menunjukkan, jumlah pengantin dini antara Januari 2008 hingga Januari 2009 tercatat sebanyak 26 pasangan. Menurut Ketua Pengadilan Agama Puwokerto Muniroh, pasangan pernikahan dini rata-rata baru berusia 14-15 tahun untuk wanita dan 16-17 untuk laki-laki. Alasan terjadinya pernikahan dini adalah pergaulan bebas seperti hamil di luar pernikahan dan alasan ekonomi. [vi] Remaja yang menikah dini, baik secara fisik maupun biologis belum cukup matang untuk memiliki anak sehingga rentan menyebabkan kematian anak dan ibu pada saat melahirkan. Perempuan dengan usia kurang dari 20 tahun yang menjalani kehamilan sering mengalami kekurangan gizi dan anemia. Gejala ini berkaitan dengan distribusi makanan yang tidak merata, antara janin dan ibu yang masih dalam tahap proses pertumbuhan.
Keenam, IMS (Infeksi Menular Seksual) atau PMS (Penyakit Menular Seksual), dan HIV/AIDS. IMS ini sering disebut juga penyakit kelamin atau penyakit yang ditularkan melalui hubungan seksual. Sebab IMS dan HIV sebagian besar menular melalui hubungan seksual baik melalui vagina, mulut, maupun dubur. Untuk HIV sendiri bisa menular dengan transfusi darah dan dari ibu kepada janin yang dikandungnya. Dampak yang ditimbulkannya juga sangat besar sekali, mulai dari gangguan organ reproduksi, keguguran, kemandulan, kanker leher rahim, hingga cacat pada bayi dan kematian.[vii] Selain itu, bagi penderita HIV/AIDS juga akan menerima perlakuan diskriminasi dari lingkungan sosialnya, berupa dijauhi, dicela dan dikucilkan.
Beragam mitos tentang seksualitas juga menjadi masalah tersendiri bagi remaja. Seperti misalnya tadi, berhubungan seksual dengan pacar merupakan bukti cinta. Padahal itu bukan bukti kasih sayang, melainkan dorongan seksual yang tidak terkontrol dan keinginan mencoba-coba pada remaja. Mitos lain yang kerap dipercaya remaja kita adalah mitos melakukan hubungan seksual dengan senggama terputus berarti aman dari kehamilan. Padahal, dengan masuknya beberapa sel sperma saja telah memungkinkan terjadi pembuahan. Beberapa mitos lain seperti loncat-loncat; minum air lada; atau makan nanas muda aman untuk menggugurkan kandungan; berenang di pemandian umum akan menyebabkan kehamilan, dan sebagainya adalah contoh bahwa pemahaman yang keliru seperti ini akan semakin menyesatkan. Artinya, informasi yang keliru menyebabkan mereka tidak memiliki pengetahuan seputar seksualitas dan kesehatan reproduksi yang benar.
Baca Juga:
Fokus 1: Kesehatan Reproduksi Remaja (KRR): Perhatian Besar bagi Islam
Fokus 2: Kebutuhan Riil Remaja
Fokus 4: Problem KRR di Sekolah dan Komunitas Pesantren, Bagaimana Solusinya?
[i] Atas H. Habsjah, dkk, Peranan Ayah vis-a-vis Ibu dan Pranata Sosial Lainnya dalam Pendidikan Seks Remaja, Jakarta, The Population Council and The Atma Jaya Research Centre, 1995.
[ii] Koran Kompas, Edisi 29 Januari 2000.
[iii] dr. Ancah Caesarina N.M., Kespro Remaja, disampaikan pada Seminar Nasional Seksualitas dan Kespro Remaja di PP. Nuris, Jember-Jawa Timur, Juni 2009.
[iv] Tim Mitra Inti, Mitos Seputar Masalah Seksualitas dan Kesehatan Reproduksi, Yayasan Mitra Inti, Jakarta, 2009.
[v] Khisbiyah, dkk, Kehamilan tak Dikehendaki di Kalangan Remaja, Pusat Penelitian Kependudukan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 1996.
[vi] http://newspaper.pikiran-rakyat.com/prprint.php?mib=beritadetail&id=85651, diakses pada tanggal 2 Pebruari 2010, pk.16.25 WIB.
[vii] Atun, dkk, IMS atau Penyakit Kelamin, dalam Kesehatan Reproduksi Remaja, Kerjasama Jaringan Kaukus Kesehatan untuk Anak Jalanan Perempuan di Yogyakarta, bersama PKBI-DIY, dll, Yogyakarta, 2004.