“Ada beberapa pernyataan yang disampaikan Pak Imam Nakha’i yang membuat saya resah.”

Ungkapan tersebut adalah salah satu dari sekian suara yang disampaikan peserta Tadarus II. Acara yang berlangsung pada 30 Juli-2 Agustus 2009 di Kediri, Jawa Timur itu, mengangkat tema Metodologi Kajian Islam dan Penguatan Wacana HAM dalam Perspektif Islam. Kegiatan tersebut, merupakan lanjutan dari Tadarus sebelumnya, pada 30 April-3 Mei 2009 di Lamongan. Pesertanya sebagian besar adalah peserta Tadarus I. Mereka berasal dari kalangan pesantren, majelis taklim, kampus/sekolah Islam, dan organisasi kemasyarakatan Islam daerah.

Acara yang diikuti 22 peserta (15 orang perempuan dan 7 laki-laki) ini, adalah salah satu realisasi dari program Rahima bernama Penguatan Hak-hak Perempuan Melalui Pemimpin Keagamaan Lokal di wilayah Jombang, Lamongan dan Kediri. Program yang dimulai pada 2009-2010 ini, merupakan bagian dari ikhtiar Rahima dalam membangun sinergi dengan komunitas muslim lokal, baik di pesantren, organisasi perempuan, maupun organisasi masyarakat di tiga wilayah tersebut.

Pada Tadarus II itu acara dipandu oleh Nur Ahmad, Koordinator Program Rahima sekaligus Dosen Kajian Islam STIE Ahmad Dahlan, Jakarta. Sedang pada sesi pendalaman materi, hadir 2 narasumber ahli, yaitu Imam Nakha’i dan Masruchah.

Imam Nakha’i sendiri membahas materi Metodologi Kajian Islam Berperspektif Kesetaraan. Ia adalah salah satu staf pengajar di Ponpes Ma’had Ali Situbondo, Jawa Timur. Pada kesempatan itu, ia menjelaskan seputar visi Islam, Alquran dan sunnah; pengertian dan perbedaan syariah dan fiqh; perbedaan ibadah dan muamalah; metode pembacaan fiqh; prinsip-prinsip telaah dan memilih pendapat; prinsip penetapan hukum; dan beberapa pendekatan studi Islam, antara lain pendekatan teologis-normatif, historis, sosiologis, feminis, antropologis, dan ilmiah-rasional.

Materi yang disampaikan dari pukul 08.30 hingga 21.30 WIB tersebut berlangsung dinamis. Itu tidak terlepas dari peran narasumbur dalam menyampaikan materi, yang bagi sebagian besar peserta dinilai “baru”. Bahkan begitu mendengar penuturan dari Imam hampir sebagian besar terlihat kaget, lantaran peserta menganggap Imam “berani” mempertanyaakan beberapa hal yang selama ini dianggap sudah baku dalam proses berislam. Contohnya soal bermazhab. Selama ini, jika seseorang sudah menganut satu mazhab, biasanya tidak mau mengambil pendapat dari mazhab lain. Padahal menurut Imam, sebaiknya proses berislam tidak harus terkonsentrasi pada satu mazhab, ulama atau pendapat tertentu saja. “Kita perlu juga mempelajari mazhab-mazhab lain, dengan syarat pendapat itu sejalan dengan maqhashidu asy-syari’ah (hifzhu ad-din, an-nafs, an-nasl, al-‘irdu, al-aql, al-mal),” katanya. Pada sesi tersebut, banyak pertanyaan yang muncul dari peserta, seperti soal poligami, kepemimpinan perempuan, dan boleh tidaknya seseorang berijtihad.

Sementara, pembicara kedua adalah Masruchah, Sekjen dari LSM Koalisi Perempuan Indonesia. Ia menyampaikan dua tema besar, Hak Asasi Manusia dan Hak Asasi Perempuan dan Sejarah HAM; Instrumen HAM dan Realitas HAM di Indonesia. Di sela presentasinya, Masruchah mengajak peserta menonton film yang mengisahkan tentang perdagangan manusia. Film itu sengaja diputar sebagai contoh kasus pelanggaran hak asasi perempuan. Pada sesi tersebut, beragam pertanyaan juga muncul dari para peserta salah satunya, mengapa ada Hak Asasi Perempuan sedang konsep HAM, sudah ada? Sehingga di akhir sesi, Masruchah kembali menegaskan, sesungguhnya Hak Asasi Perempuan adalah bagian dari HAM yang menyangkut kebutuhan spesifik kaum perempuan yang harus dipenuhi agar lebih berkeadilan. Dan keduanya, tidaklah bertentangan dengan konsep Islam. [] Yohana F.  

Similar Posts:

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here