Oleh: Nur Achmad
Cah angon cah angon, penekno belimbing kuwi
Lunyu-lunyu yo penekno, kanggo mbasuh dodot iro
Cuplikan bait tembang Ilir-ilir tersebut adalah warisan hikmah dari para wali Allah swt. di Nusantara. Tembang itu menegaskan pentingnya cah angon (anak gembala) dalam upaya meraih cita-cita buah belimbing yang berbentuk lima sudut. Buah belimbing dalam konteks Islam, bisa berarti rukun Islam atau daruriyat al-khams (perlindungan agama, nyawa, akal, kehormatan dan keturunan, serta hak milik). Dalam konteks Indonesia, bisa diartikan lima dasar Negara Indonesia, Pancasila.
Kader dambaan yang dibahasakan sebagai cah angon (bocah angon; anak gembala) adalah kader yang berjiwa mengasuh. Peran angon (ra’iya-yar’aa-ri’ayatan) adalah gawe para calon nabi di saat muda, seperti Nabi Musa as. dan Muhammad saw. Melalui media “angon” kambing atau domba, para calon nabi belajar langsung dari lapangan untuk bersiap secara fisik, mental, dan ketelatenan dalam membimbing umat manusia. Nabi menegaskan, “Kullukum ra’in wa kullukum mas’ulun ‘an ra’iyyatihi…” (Setiap anda adalah penggembala dan setiap anda dimintai tanggung jawab atas gembalaannya…).
Mentalitas angon adalah sikap hidup untuk selalu menjaga, merawat, mengamankan, melindungi, mengayomi, memberi, melayani, mengembangkan dan membangun. Masyarakat butuh sikap pemimpin yang ngemong, bertindak jelas, penyayang, tegas, bijaksana, dan bisa jadi teladan bagi mereka. Mental demikianlah yang sepatutnya dimiliki para kader. Sebab, tanpa mental gembala, suatu masyarakat dan bangsa akan sulit mencapai cita-citanya.
***
Imamul-qaumi khadimuhum. Pemimpin suatu kaum adalah pelayan mereka. Terbukti, para tokoh ulama yang menguasai ilmu keagamaan dan memiliki kapasitas menyampaikan bimbingan, telah berperan banyak di masyarakat. Banyak di antara mereka yang mendampingi dan menggerakkan masyarakat dalam meraih kemaslahatan umum. Salah satunya, melakukan pembelaan terhadap kelompok-kelompok yang selama ini terpinggirkan, secara ekonomi-sosial-politik.
Peran pembelaan dan pendampingan tersebut merupakan tugas kenabian yang dibahasakan Kitab Suci sebagai peran pembebasan dari gelap menuju terang (li tukhrijannas minaz-zulumat ilan-nur). Gelap adalah semua kondisi yang tidak baik, tidak adil, timpang, dan merugikan manusia dan lingkungannya. Terang adalah kondisi ketika nilai-nilai keterbaikan tumbuh subur membuahkan kemaslahatan bagi masyarakat banyak (QS. Ibrahim: 1 dan 5). Peran ini pula yang dibahasakan sebagai upaya meruntuhkan beban dan belenggu yang menjerat dan merendahkan harkat kemanusiaan. Wa yadha’u ‘anhum ishrahum wal-aglal al-lati kanat ‘alaihim (QS. Al-A’raf: 157). Beban dan belenggu tersebut mewujud ke berbagai bentuk, seperti maraknya kekerasan, ketidakadilan, diskriminasi, perdagangan manusia, perbudakan dan pelanggaran hak-hak dasar manusia lainnya.
Para ulama seperti Nyai Djudju Zubaidah (Tasikmalaya); Nyai Hj. Raihanah Faqih (Kediri); Nyai Hj. Ruqayyah Ma’shum (Bondowoso); Nyai Hj. Sinto Nabilah (Magelang); atau KH. Ali Yafie; KH. Husein Muhammad (Cirebon); KH. Muhyiddin ‘Abdusshomad (Jember); dan lainnya, telah memberi contoh nyata dalam melakukan peran “gembala” tersebut. Mereka adalah pewaris nabi, khadimul-ummah di masyarakat, yang masing-masing aktif melakukan penguatan hak-hak manusia, laki-laki dan perempuan. Mereka telah banyak melakukan pencerahan bagi masyarakat untuk dapat bangkit bersuara dan menolak semua ketidakadilan.
***
Ke depan, kader yang perlu terus dikembangkan dan dibutuhkan masyarakat adalah kader yang memiliki mental gembala seperti mereka; kader yang paham dan mau membela yang terpinggirkan, serta ulet mendampingi masyarakat meraih kehidupan sejahtera fid-dini wad-dunya wal-akhirah. Terlebih, jika mereka memiliki kapasitas keilmuan yang baik, ditambah dengan ketrampilan analisis kondisi masyarakat dan komunikasi antarpribadi yang baik pula.
Bila demikian yang terjadi, maka peran kenabian, menghapus kegelapan dan menyalakan cahaya terang bagi kehidupan, dapat terus dikembangkan dan dilestarikan. Semoga. []