Aida Milasari, S.Si., perempuan kelahiran Balikpapan, 27 Juni 1970 ini telah memulai kiprahnya sebagai pekerja NGO sejak usai kuliah di Fakultas Biologi, Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, 1989-1996. Ia pernah menjadi Direktur Program pada Yayasan Tjoet Njak Dien, Yogyakarta, 1997-1999. Dirinya juga pernah menjadi Asisten Komisioner di Komnas HAM untuk program The National Inquiry of Human Rights Abuse di Timor Timur, 1999 – 2000. Sejumlah pertemuan dan seminar internasional telah seringkali diikuti. Selain itu, sejumlah penelitian tentang Pekerja Domestik dan Pekerja Domestik Anak pun kerap dikerjakannya. Kini selain sebagai Koordinator Pendidikan dan Penelitian di Yayasan Puan Amal Hayati sejak tahun 2001, ia juga Koordinator Rumpun Gema Perempuan (RGP). RGP adalah sebuah komunitas organiser yang memberi advokasi untuk Pekerja Domestik Perempuan. Dalam wawancara bersama Swara Rahima, ibu dari lima orang putra-putri, dan istri dari A. Haris Semendawai, SH.LLM., ini banyak menjelaskan seputar hak-hak dasar Pekerja Rumah Tangga (PRT). Untuk lebih jelasnya, simak petikan wawancaranya.   

Siapakah Pekerja Rumah Tangga (PRT) itu?

PRT adalah orang-orang yang bekerja di lingkup rumah tangga, baik yang bekerja full time atau penuh waktu maupun yang paruh waktu. Jadi, siapapun mereka baik laki-laki, perempuan, dewasa maupun anak-anak yang tinggal di rumah dan bekerja, mereka termasuk kateori PRT. Mereka ada yang PRT khusus memasak, menyetrika, menyuci baju, mengasuh anak, ada pula yang tukang kebun. Kalau menurut JALA PRT (Jaringan Nasional Advokasi Pekerja Rumah Tangga) Jakarta, supir juga termasuk kategori PRT, karena mereka digaji oleh pemilik rumah tangga meski supir kerjanya di luar atau mengantar pengguna jasanya. Selain itu, PRT juga ada yang mengerjakan seluruh pekerjaan rumah tangga, mulai dari cleaning, cooking, laundring, sampai babysitting.

Mengapa PRT identik dengan perempuan?

PRT identik dengan perempuan, karena 99 persen PRT adalah perempuan. Ini dilatarbelakangi oleh stereotip bahwa kerja-kerja domestik seperti mencuci, memasak, menjaga anak, itu merupakan jenis pekerjaan bagi perempuan. Sedang tukang kebun atau supir, merupakan stereotip jenis pekerjaan bagi laki-laki. Itu sebabnya, banyak perempuan dewasa dan anak-anak menjadi PRT di dalam maupun di luar negeri. Kalau laki-laki lebih banyak diterima kerja di pabrik-pabrik, bengkel, perkebunan, atau konstruksi. Sebab, tampaknya masih ada pembagian kerja berdasarkan gender atau jenis kelamin di dalam masyarakat.

Apakah PRT itu Profesi?

Dari sisi profesi, kerja PRT adalah kerja yang harusnya diakui sama dengan kerja-kerja formal lainnya. Sebab di dalam rumah mereka mengerjakan semua tugas-tugas. Di sana ada perintah kerja, ada pelaksanaan kerja, dan ada upah. Ketiga hal ini merupakan tanda adanya relasi atau hubungan kerja antara pengguna jasa dan pekerja atau PRT. PRT tidak bisa lagi dikatakan kerja secara kekeluargaan, atau tidak bisa juga dikatakan kerja hanya membantu saja. Sebab faktanya mereka bukan kerja membantu sebagian urusan rumah tangga, tapi semuanya.

Jadi, secara terminologi memang sudah kabur, ketika mengatakan mereka adalah ”Pembantu Rumah Tangga”. Apalagi kalau sampai menganggap atau menyamakan mereka dengan budak. Nanti bisa jadi perbudakan jaman modern. Sebab sudah tidak jelas lagi di mana pembelaan atau pemenuhan hak-hak dasarnya sebagai manusia sekaligus pekerja. Lalu kalau bukan ”Pembantu” apa istilahnya? Yang tepat Pekerja Rumah Tangga atau PRT.

Apakah PRT ini bukan kerja formal?

Kategori kerja formal itu ada atasan ada bawahan, ada gaji tetap, dan ada kontrak kerja. Sedangkan kerja PRT ini masih dianggap sektor informal, karena perekrutannya masih belum diatur, dan belum ada standar gaji tetap, sebagaimana kerja di pabrik yang memiliki standar gaji UMR yang ditetapkan pemerintah.

Lalu jenis pekerjaannya juga banyak sekali. Lama kerjanya juga tidak dibatasi. Inilah yang membuat sektor kerja PRT sangat tereksploitasi, karena belum ada regulasi yang mengatur. Regulasi ini harusnya berfungsi membatasi jumlah kerja PRT, jam kerja yang panjang, jenis kerja yang berat, mengatur waktu libur, dan sebagainya. Karena hal-hal tersebut belum diatur, maka kerja-kerja PRT ini bisa dikategorikan sebagai bagian dari kerja paksa. Apalagi PRT yang bekerja di luar negeri, tak jarang mereka ditahan identitasnya oleh pengguna jasa; tidak boleh keluar rumah dan berkomunikasi dengan keluarga.

Mengapa belum banyak yang mengakui PRT sebagai profesi?

Masyarakat Indonesia ini masih menganggap kerja PRT itu pekerjaan yang wajar-wajar saja. Padahal kalau diteliti, kerja PRT adalah salah satu kerja yang dari dulu bermasalah karena ada unsur kerja paksa. Kerja paksa itu kerja yang hanya di bawah persetujuan majikan. Kalau majikan tidak setuju, maka PRT akan dapat hukuman.

Padahal Indonesia sudah meratifikasi konvensi ILO, nomor 105 tentang Penghapusan Kerja Paksa. Tapi eksploitasi terhadap PRT masih terus saja terjadi. Dalihnya, kerja PRT adalah kerja dengan unsur kekeluargaan, karena Indonesia dianggap selalu hidup dalam kultur kekeluargaan. Mestinya kalau dianggap sebagai keluarga, dan PRT sudah bekerja dengan baik, mereka diperlakukan dengan baik pula. Misalnya, makanan atau pakaian PRT tidak dibedakan dari majikan, gaji mereka tidak sangat rendah, dan sebagainya.

Apa dampak perlakuan pembedaan itu?

Akan muncul unsur-unsur kekerasan, baik fisik, psikis, seksual, ekonomi maupun sosial. Misalnya, ada penahanan gaji berbulan-bulan, supaya PRT tidak pulang kecuali akhir tahun atau lebaran tiba. Lalu jam kerja yang panjang 14-16 jam setiap hari dengan beban kerja yang tinggi. PRT juga harus siap dipanggil kerja kapan pun mulai majikan bangun tidur sampai tidur kembali, baru ia berhenti kerja. Tapi sayangnya, setelah beban kerja itu, semua hak yang harusnya didapat PRT sebagi pekerja dan perempuan tidak didapatkan.

Misalnya, rata-rata kamar tidur PRT tidak berkunci. Kalau majikan perempuan keluar, ia rentan dilecehkan majikan laki-lakinya. Artinya jaminan keselamatan PRT sebagai perempuan tidak ada. Lalu hak-hak reproduksi mereka juga diabaikan. Seharusnya PRT berhak cuti kerja bila melahirkan atau menstruasi, dan pembalut disediakan majikan. Kemudian jaminan kesehatan juga tidak dapatkan. Apalagi jika PRT itu anak-anak, yang kategorinya di bawah usia 18 tahun, mereka banyak mengalami kekerasan dalam kerja domestik ini.

Bagaimana dengan kondisi PRT di luar negeri?

Kondisi PRT di luar negeri lebih mengenaskan. Bagaimana tidak, di dalam negeri sendiri mereka tidak mendapatkan jaminan hak-haknya, apalagi di luar negeri.

Apakah itu berarti PRT yang rentan terhadap kekerasan hanya dialami PRT di luar negeri?

Di dalam atau di luar negeri PRT Indonesia sama-sama berpotensi mendapat kekerasan. Tapi kalau di luar negeri resikonya lebih tinggi dan bentuk-bentuk kekerasan yang diterima lebih kompleks. Sebab banyak pihak yang bermain di sini. Misalnya, pertama ada perekrut di tingkat daerah-daerah, yaitu oleh calo-calo. Lalu calo-calo itu mengirimkan mereka pada perekrut yang ada di tingkat kota-kota besar yaitu agen-agen tenaga kerja. Para agen ini menyalurkan lagi ke agen-agen di negara tujuan. Baru kemudian agen di negara tujuan menyalurkan mereka ke para pengguna jasa atau majikan. Kompleksitasnya luar biasa, ada penipuan, ada pemerasan, ada penampungan di tempat-tempat agen yang memakan waktu cukup lama, dan sebagianya.

***

 

Bicara hak, apa saja sesungguhnya hak-hak PRT yang harus dilindungi?

Hak-hak PRT yang anak tentu berbeda dengan PRT yang dewasa. Sebab pada dasarnya anak tidak boleh bekerja, seperti bunyi konvensi ILO Nomer 182 tahun 2000, tentang Penghapusan Bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak. Tapi anak-anak yang terpaksa bekerja, dan tidak bisa ditarik dari tempat kerjanya, maka mereka boleh bekerja tapi dengan aturan-aturan yang ketat. Misalnya, ia harus mendapat pendidikan dan pelatihan dalam pekerjaan itu. Mereka harus diajari apa yang harus dikerjakan, dan apa yang tidak boleh dikerjakan. Mereka juga harus dilatih bagaimana menghindari bahaya, dengan misalnya, mereka tidak boleh kerja dengan benda-benda tajam, atau bahan-bahan kimia, atau tidak boleh naik ke genting, dan sebagainya. Lalu jam kerjanya maksimal 5 jam sehari. Ia juga dibolehkan sekolah, boleh berkomunikasi dengan orang tuanya, dan boleh mengikuti organisasi-organisasi kerja. Mereka berhak pula atas jaminan kesehatan, pendidikan, perlindungan untuk tidak mendapat kekerasan, dan hak bersosialisasi dan berpartisipasi.

Sedang bagi PRT dewasa, mereka juga mendapat empat macam jaminan tersebut, ditambah lagi jaminan untuk tidak dipotong gajinya, bisa berorganisasi, bersosialisasi, mendapat hari libur, jam kerja yang jelas, jumlah gaji yang jelas, kerja yang layak tanpa kekerasan, beban kerja dan jenis kerja yang jelas. Mereka juga dapat istirahat sekitar dua jam sehari; kalau malam mereka tahu kapan harus berhenti kerja; dan di akhir pekan mereka dapat menikmati satu hari libur. Kemudian mereka mendapatkan cuti 12 hari selama setahun. Kalau mereka haid atau melahirkan juga berhak cuti. Sebagai warga negara, PRT juga harus boleh ikut Pemilu, sebab kalau di luar negeri mereka rata-rata tidak bisa mengikuti hak politiknya karena dianggap sebagai budak.

Bagaimana dengan upaya penyusunan kontrak kerja antara PRT dengan pengguna jasa?

Kalau yang di luar negeri kontrak kerja itu tidak berlaku antar PRT dan majikan, tapi berlaku antar agen dengan agen dan pengguna jasa. Mereka biasanya menetapkan atuaran-aturan kontrak dengan bahasa yang tidak dimengerti PRT. Dalam kondisi di bawah tekanan PRT hanya diharuskan menandatanganinya tanpa tahu apa isi, arti, dan konsekuensi hukumnya. Ditambah lagi, biasanya penandatanganan itu terjadi saat PRT sudah hendak berangkat ke luar negeri, ketika pesawat sudah siap. Tiba-tiba mereka dipaksa tanda tangan tanpa tahu apa yang ditandatangani. Lalu tiba-tiba ketika mereka hendak kembali ke Indonesia, mereka tidak dapat pesangon dari majikannya, atau selama 7 bulan pertama gaji dipotong sebagai biaya pemberangkatan mereka dahulu.

Bagaimana peluangnya bagi PRT untuk membuat surat kontrak kerja ini?

Selama kerja mereka dianggap bukan profesi, hanya kerja kekeluargaan saja, kontrak kerja susah terwujud. Kecuali jika ada UU yang mengatur bahwa majikan harus mengeluarkan kontrak kerja. Sebab kalau tidak ada para pengguna jasa ini akan terus bertanya, dasarnya hukumnya apa.

Bagi para pengguna jasa kerja PRT masih dianggap kerja suka-rela saja. Sebab itu, saya rasa tidak efektif jika tidak ada UU yang mengatur dan mengikat tentang kontrak kerja. Apalagi, PRT sendiri kadang juga takut tanda tangan kontrak, karena mereka memang tidak mengerti tentang hukum. Tapi sesungguhnya, kontrak kerja tidak harus tertulis, bisa pula secara lisan dengan disaksikan sejumlah saksi. Tapi meski selama ini sudah ada upaya itu, praktiknya memang sangat sulit.

Bagaimana sesungguhnya posisi PRT dalam UU Ketenagakerjaan?

Dalam UU Ketenagakerjaan tidak ada pembahasan tentang PRT. Karena belum ada aturan, mestinya hal ini harus membuat Depnaker segera menginisiasi UU PRT. Memang RUU PRT sudah ada, dan sudah dibahas beberapa kali. Tapi masih macet karena kebijakan politik sekarang belum menganggap hal ini sebagai isu penting. Padahal jumlah PRT cukup besar sekitar 2,5 juta orang, tapi tidak pernah diperhatikan, sehingga tidak ada kebijakan, program, dan anggaran untuk membantu mereka.

Bagaimana dengan UU PKDRT?

Kalau yang dilindungi dalam UU PKDRT itu adalah masalah kekerasan. PRT dilindungi dari kekerasan. Tapi ini juga hanya terbatas pada PRT yang tinggal dalam lingkup keluarga, sedang PRT yang tidak tinggal atau yang kerja paruh waktu, tidak bisa dijamin dalam UU tersebut. Dalam UU ini juga tidak ada aturan tentang relasi dan hubungan industrial antara majikan dan PRT. Hak dan kewajiban antara PRT dan majikan tidak diatur dalam UU ini.

Bagaimana perkembangan RUU PRT sendiri saat ini?

Masih belum apa-apa. Baru didaftarkan ke Prolegnas (Program Legislasi Nasional). Namun masih harus melalui Departemen Hukum dan HAM (Dephukham), dari sini baru kemudian didaftarkan untuk dibahas di parlemen. Saya kira 5 tahun ke depan, RUU ini bisa saja belum disahkan. Apalagi dukungan dana yang sedikit, membuat program ini macet. Beda dengan trafficking, karena dunia Internasional sudah bilang trafficking dihapuskan, maka prosesnya cepet sekali.

Tampaknya RUU tersebut memang masih menggantung. Tapi secara pribadi saya menghargai upaya-upaya pemerintah untuk terus meningkatkan kualitas perlindungan PRT melalui RUU ini. Saya berharap Depnakertrans juga masih akan terus menjalankan proses RUU ini.

Kedepan apa yang harus diupayakan oleh pemerintah?

Pertama, presiden semestinya juga turut mendorong isu PRT, termasuk isu buruh migran. Kedua, RUU PRT ini harus dijadikan UU segera, dan itu harus ada kemauan politik dari pemerintah untuk melindungi PRT. Ketiga, UU ini nantinya harus dijalankan implementasinya. Jadi ketika UU ini keluar, seluruh masyarakat harus ikut terlibat dalam perlindungan PRT ini. Keempat, keaktifan atau peran dari teman-teman PRT sendiri untuk mencari informasi. Jadi kalau ada kekerasan, mereka tahu hak-haknya dan bisa membantu sesama teman-teman PRT sendiri.

Kelima, perlu peran serta masyarakat di sekitar PRT. Sehingga, bila ada kasus kekerasan, masyarakat berinisiatif turut melapor ke aparat, terutama apabila korbannya adalah PRT anak. Keenam, meningkatkan kapasitas PRT. Sebab selama ini skill mereka masih kurang. Ini adalah kewajiban pemerintah untuk memasukkan mereka dalam balai latihan kerja, diberi pendidikan gratis baik untuk PRT dewasa maupun PRT anak yang memiliki potensi, guna mencegah mereka memasuki sektor kerja terburuk ini.

Adakah contoh kasus soal keterlibatan masyarakat sekitar?

Ada contoh menarik dari masyarakat di Jatinegara, Jakarta Timur. Masyarakat ini pernah marah sekali karena ada seorang majikan yang berkali-kali melakukan kekerasan terhadap PRT-nya. Untuk kasus yang keempat kalinya, masyarakat akhirnya membuat petisi yang isinya jika si majikan melakukan kekerasan lagi terhadap PRT-nya, maka masyarakat tidak akan segan-segan mengusirnya dari kampung itu. Hal ini efektif, sehingga keluarga majikan itu jera.

Jadi tampaknya social punishment juga lebih ditakuti kaum majikan ketimbang jeratan hukum atau penjara. Cara ini efektif, karena pengawasan dari masyarakat itu tidak hanya kalau ada kasus, tapi juga untuk mencegah terjadinya kasus.

Apa yang dilakukan Rumpun Gema Perempuan (RGP) sendiri?

Mengenai RGP, data kami tidak punya banyak kasus. Jadi kalau untuk penanganan kasus langsung biasanya lebih banyak bisa diselesaikan di lapangan. Sebab kapasitas kami sangat terbatas. Kami lebih banyak menyediakan pelatihan mulai life skill, komputer, kerumahtanggaan, menjahit, dan sebagainya. Tergantung keinginan teman-teman PRT sendiri, yang nantinya kami fasilitasi. Semuanya bebas biaya kecuali alat tulisnya. Kami minta alat tulis ditanggung oleh PRT sendiri atau majikannya. Dengan demikian mereka akan sangat senang sekali, membawa buku ditenteng dan mereka belajar.

Sampai saat ini, ada sekitar 300 PRT yang sudah kami dampingi, dan sekitar 200 PRT sudah selesai pendidikannya. Sebagian besar dari mereka sudah alih profesi, dan ada yang sudah menikah, serta ada pula yang menjadi TKW ke luar negeri. Tapi setidaknya mereka rata-rata sudah memiliki kesadaran akan hak-haknya. Mereka juga ada yang memiliki cukup informasi dan wawasan, sehingga bisa bekerja di toko, pabrik, atau ada juga yang bekerja kantoran. Ini bagi mereka yang lulus Kejar Paket setingkat SMA. Bahkan beberapa dari mereka ada pula yang melanjutkan kuliah. Di sini mereka sangat termotivasi mengikuti pendidikan kesetaraan, Kejar Paket A-B-C. Untuk tiap paket, mereka masuk kelas 3 kali seminggu. Kalau mereka mau kursus komputer atau menjahit juga bisa, tapi harus memilih salah satu saja, agar mereka tetap punya waktu cukup untuk bekerja. Kadang ada juga majikan yang baik, sehingga mereka dipinjami sepeda motor untuk pergi kursus.

Terkait tanggungjawab pemerintah, apa kritik mendasar yang harus disampaikan menurut Anda?

Kritik yang harus saya sampaikan adalah pemerintah harus membuka mata, bahwa PRT adalah kelompok yang sangat berjasa tapi dimarjinalkan. Saya yakin semua orang, pemerintah, anggota DPR, pengusaha, kita sebagai masyarakat, pasti mempekerjakan PRT, karenanya kita semua pasti punya kepentingan. Karenanya, bagaimana kita bisa menghargai mereka, menaikkan harkat martabat mereka, sama seperti kita menghargai diri sendiri dan orang lain. Sebab PRT bukan pekerja perempuan yang subordinat. Kalau Indonesia sepakat tidak merendahkan warga negaranya, maka kita harus menghargai PRT, karena mereka adalah bagian dari warga negara juga.

Terakhir, apa harapan Anda terkait isu PRT?

Harapan saya, kalau PRT masih ada dan bekerja, maka dia harus diperlakukan seperti manusia. Sebab, sering kita melihat kalau majikan makan di restoran, kemudian PRT-nya hanya menunggui atau di mobil saja menjaga anaknya. Jadi, agar mereka tidak terdiskriminasi dan bekerja dalam situasi yang layak, maka marilah kita hargai hak-hak asasinya sebagai perempuan, anak, warga negara, maupun sebagai pekerja. [ ] Disarikan dari hasil wawancara oleh Hafidzoh Almawaliy

Similar Posts:

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here